Di ibu kota Parahyangan itu, dia bertemu dengan Kurt Schlosser, seorang Jerman yang mempunyai toko kacamata di bilangan Jalan Braga. Pertemuannya dengan Kurt membuka pikirannya akan pentingnya industri kacamata kelak bila Indonesia sudah merdeka.
Sejak itu, Kasoem mengambil keputusan untuk mengembangkan industri kacamata di Tanah Air. Seluruh tenaga dan pikirannya dicurahkan untuk mencapai tujuan itu. Ia memulainya dengan menjajakan kacamata yang di percayakan Schlosser kepadanya.
Tak tanggung-tanggung, ia menjajakannya dari pintu ke pintu. Ikhtiarnya berjalan mulus. Ia kemudian mampu membuka toko sendiri di Jalan Pungkur.
Ketika Perang Pasifik meletus, Schlosser terpaksa meninggalkan tokonya dan kembali ke Jerman. Kasoem pun memikirkan untuk menggantikannya. Berkat dukungan Ki Hajar Dewantara (yang mempunyai pengaruh terhadap pimpinan militer Jepang), akhirnya keinginan Kasoem terwujud.
Toko bekas pengusaha kacamata asal Jerman itu dibuka kembali pada Mei 1943. Jadilah Kasoem “orang pribumi” pertama yang membuka toko di Jalan Braga. Pada masa itu, kawasan ini dikenal sebagai pusat perniagaan di Bandung.
Namun, kerana kembalinya orang Belanda tahun 1945 dan timbulnya kekacauan “Revolusi Fisik”, Kasoem menutup tokonya. Ia hijrah ke Tasikmalaya, dan sempat melanjutkan perdagangannya selama beberapa bulan.
Semangat berdikarinya dalam ekonomi membuat Mohammad Hatta kepincut. Wakil presiden Republik Indonesia yang juga seorang ekonom itu kemudian mengajak Kasoem untuk datang dan menetap di Yogya, tempat pemerintahan sementara.
Tak pelak, dukungan Bung Hatta ini menjamin sukes Kasoem. Selama tiga tahun dia memasok kebutuhan kacamata bagi semua orang terkemuka di Republik yang baru berdiri ini. Bung Karno pun tak luput menjadi pelanggannya. Untuk mengatasi kesulitan pasokan barang, Kasoem membuka bengkel pengasahan kecil di Klaten.
Pada tahun 1949, Revolusi Fisik berakhir dan pemerintahan kembali ke Jakarta. Kasoem pun memutuskan pulang ke Bandung. Namun, beberapa orang Cina telah memanfaatkan kepergiannya untuk menempati bekas toko Schlosser. Sesudah berperkara di pengadilan yang alot dan memakan waktu lama, Kasoem akhirnya berhasil mengusir mereka.
Usaha kacamata Kasoem terus berkembang. Beberapa cabang baru dibukanya. Selain di Yogya dan Tasik, ia membuka cabang baru di Cirebon, dan tidak kurang dari empat cabang di Jakarta. Namun, bahan pokok industri kacamatanya ini masih dipasok dari luar negeri. Karena itu, Kasoem kembali berpikir keras agar bisa membuat kacamata sendiri.
Belajar ke Jerman
Tahun 1960, boleh jadi, merupakan tonggak baru bagi perkembangan usaha Kasoem. Ia pergi ke Jerman untuk pendidikan tambahan. Di sana, ia belajar pada salah satu pabrik kacamata terbesar yang di pimpin oleh Herman Gebbest.
Penulis | : | Rusman Nurjaman |
Editor | : | Rusman Nurjaman |
KOMENTAR