Intisari-Online.com - Braga! Salah satu kawasan terkenal di Bandung ini memiliki puluhan bangunan khas Belanda yang memiliki nilai sejarah tinggi. Ketika Belanda masih berkuasa di Indonesia, ruas Jalan Braga inilah yang dulu digunakan sebagai pusat pertokoan. Barang-barang yang dijual merupakan barang impor berkualitas. Tak heran, bila dulu orang-orang menyebut kawasan ini sebagai kawasan elite.
Jalan Braga yang melintasi kawasan Braga ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu di pertigaan Jalan Asia Afrika-Jalan Braga, perempatan Jalan Naripan-Jalan Braga, dan di ujung utara, di persimpangan Jalan Braga-Jalan Wastukencana-Jalan Perintis Kemerdekaan. Pembangunan Jalan Braga ini terkait dengan pembangunan Jalan Anyer-Panarukan oleh Daendels (1808-1811) dan Politik Tanam Paksa (1830-1870).
Jalan Braga muncul pada awal abad ke-19. Sejak 1810, yaitu pada saat Kota Bandung berdiri sampai pertengahan abad ke-19, Jalan Braga menjadi jalan utama di kota itu. Awalnya, jalan ini hanyalah jalan setapak berlumpur yang sering dilalui pedati.
Seorang tuan kebun Priangan atau dulu disebut preangerplanter bernama Andries de Wilde menguasai hampir seluruh bagian Bandung Utara. Andries memanfaatkan lahan yang ia miliki untuk usaha perkebunan kopi. Untuk mendistribusikan hasil perkebunan itu, Andries de Wilde membangun jalur baru yang menghubungkan gudang kopi miliknya dengan Jalan Raya Pos.
Karena merupakan penghubung yang penting, semakin hari, jalan ini menjadi semakin ramai. Pada 1870-an, usaha perkebunan berkembang pesat. Banyak orang melalui jalan tersebut. Pedati menjadi alat angkut yang paling banyak digunakan di Jalan Braga. Oleh karena itu, orang-orang pun menyebutnya dengan Jalan Pedati atau Karrenweg.
Penggunaan kata Karrenweg dirasa lebih pantas ketika itu, dibandingkan dengan istilah Jalan Pedati. Awalnya, tidak semua orang bisa mengakses jalan tersebut. Dulu, Jalan Braga bisa diakses pribumi setelah menjadi Jalan Kolonial, artinya bukan pada masa Karrenweg, setelah Societeit Concordia muncul. Ada juga yang mengatakan bahwa pribumi bisa ke Jalan Braga dengan cara memakai pakaian tertentu.
Berubahnya nama Jalan Pedati menjadi Jalan Braga pun memiliki banyak versi. Dalam buku Braga, Jantung Parijs Van Java (2008) karya Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha, dikatakan ada tiga versi. Pertama, ada yang mengaitkan dengan nama minuman khas Rumania yang biasa disajikan di Societeit Concordia. Kedua, kata Braga berasal dari bahasa Sunda, yaitu baraga atau ngabaraga (konon yang berarti berjalan menyusuri sungai). Ketiga, pada 1882, muncul sebuah kelompok tonil dan musik bernama Toneelvereeniging Braga yang cukup populer dan menyebabkan jalan ini dikenal sebagai Bragaweg.
Di samping kanan dan kiri Jalan Braga (Bragaweg) terdapat bangunan-bangunan kuno berarsitektur art deco. Art Deco itu sendiri merupakan sebuah gerakan desain seni internasional yang populer pada 1925 hingga 1940-an, yang memengaruhi seni dekoratif, seperti arsitektur, desain interior, dan desain industri, atau seni visual seperti fashion, lukisan, seni grafis, dan film. Nama Braga itu sendiri ternyata sama dengan nama sebuah kota di bagian utara Portugal yang sampai sekarang masih ada.
Nilai sejarah dan artistik bangunan inilah yang membuat kawasan Braga menjadi daerah warisan (heritage) budaya Kota Bandung. Boleh dibilang, Braga itu termasuk kawasan budaya.
Tempat Berkumpulnya Pengusaha
Pada 1910-an, Jalan Braga ini merupakan ruas jalan yang sejuk. Di samping kanan-kiri jalan terdapat pepohonan yang rimbun. Kemudian, pada awal 1920-an, suasana itu berubah. Jalan Braga menjadi ramai dan pepohonan yang memberikan kesejukan telah diganti dengan sederetan bangunan toko. Setidaknya ada dua bangunan di Jalan Braga yang menjadi titik tolak perubahan Jalan Braga, yaitu Toko de Vries dan Gedung Societeit Concordia. Munculnya Societeit Concordia membuat Jalan Braga menjadi ramai karena di tempat itulah orang-orang Eropa dan pengusaha berkumpul.
Toko de Vries terletak di bagian ujung selatan Jalan Braga, bersebelahan dengan Hotel Savoy Homann. Meskipun bangunan ini terletak di Jalan Asia-Afrika, bangunan ini sudah menjadi penanda bagian selatan Jalan Braga sejak dulu. Toko de Vries merupakan toko serba ada yang pertama, terbesar, dan terlengkap di Bandung hingga dekade pertama abad ke-20.
Perkembangan kota yang pesat menyebabkan banyaknya toko-toko baru bermunculan membuat de Vries harus bersaing dengan mereka. Toko de Vries merupakan pemicu munculnya toko-toko di sepanjang Jalan Braga dan itulah salah satu cikal bakal ramainya Jalan Braga. Pada dekade selanjutnya, de Vries bukan lagi menjadi satu-satunya toko yang menyediakan berbagai kebutuhan.
Societeit Concordia atau sekarang bernama Gedung Merdeka (sayap kiri Gedung Merdeka) terletak di persimpangan Jalan Asia-Afrika dan Jalan Braga. Dulu, pada masa kolonial, bangunan ini digunakan sebagai tempat perkumpulan orang-orang Eropa dari kalangan elite Societeit Concordia. Perkumpulan ini dengan segala aktivitasnya membuat Jalan Braga semakin ramai.
Perkumpulan yang resmi berdiri pada 1879 dengan nama Societeit Concordia dan mendapatkan status badan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda ini muncul karena pesatnya perkembangan perkebunan di sekitar Kota Bandung. Perkumpulan ini dulu sempat berada di bangunan yang menjadi Toko de Vries, kemudian pindah ke gedung yang sekarang dikenal sebagai Gedung Merdeka.
Jalan Braga memang menjadi pusat perbelanjaan di Kota Bandung pada zaman dulu. Di sepanjang jalan ini, tersedia berbagai macam barang, pakaian, salon kelas satu, hingga mobil mewah. Braga pada 1920-an hingga awal 1940-an terkenal sebagai pusat mode, yang dibuktikan dengan keberadaan toko mode Au Bon Marche milik orang Prancis. Julukan sebagai pusat mode ini toh sama dengan Paris di Prancis. Faktanya, sejak akhir abad ke-19, dunia mode Belanda berkiblat pada Prancis.
Menurut Haryonto Kunto dalam bukunya, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), dikutip dari Braga, Jantung Parijs Van Java, istilah “Parijs Van Java” kemungkinan menjadi sangat populer di luar Bandung, yaitu setelah digunakan oleh seorang bernama Roth untuk mempromosikan dagangannya di pasar malam tahunan Jaarbeurs pada 1920 (sekarang menjadi Gedung Kodiklat TNI AD, Jalan Aceh, Bandung). Keramaian dan kegermelapan Jaarbeurs inilah yang semakin membuat keramaian di Bandung disebut mirip dengan Paris.
Hingga 1970-an, Braga menjadi kawasan wisata yang sering dikunjungi turis lokal dan mancanegara. Mereka yang berbelanja di Braga, akan dipandang sebagai orang yang berselera tinggi karena dulu Braga merupakan kawasan elite yang menjual barang-barang impor berkualitas. Kawasan Braga pun menjadi kompleks pertokoan modern yang menjadi daya tarik bagi orang-orang Eropa.
Munculnya seniman lukis di jalan tersebut juga membuat Braga memiliki ciri khas tersendiri. Seniman lukis yang sudah ada sejak 1970-an, menghiasi keramaian Braga ketika itu. Banyak pengunjung, baik lokal maupun mancanegara tidak menyia-nyiakan kesempatan berkunjung ke tempat seniman lukis. Bahkan, turis mancanegara yang dari Belanda dulu mengatakan bahwa belum dikatakan ke Indonesia kalau belum ke Jalan Braga. Berbagai kelebihan yang dimiliki Braga pun menjadikan Braga sebagai simbol Kota Bandung.
Dulu, para seniman lukis tersebut bertempat di pinggiran toko di sepanjang Jalan Braga, kemudian pindah ke Sarinah. Pada tahun 2007, pemerintah mengalokasikan para seniman tersebut ke satu tempat yang sekarang dikenal dengan Jalu (Jajanan Lukisan). Adanya seniman lukis ini sudah ada sejak dulu, secara turun temurun. Ini juga menjadi ikon Braga. Sudah tertarik ingin berkunjung ke Braga? :)