Intisari-Online.com - Apa yang bisa diperoleh dari masa lalu? Selain kenangan tentulah cermin bagi kita untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Begitulah yang bisa didapat ketika mengikuti tur wisata Heritage Walks di Bandung.
Pagi itu mendung ditingkahi gerimis. Jarum jam masih menunjuk ke angka tujuh lewat sedikit. Di pelataran Hotel Grand Preanger (lama) telah berkumpul seratusan orang.
Mereka sedang bersiap-siap melakukan jalan pagi menyusuri tempat wisata budaya yang bersejarah di Bandung dalam acara peluncuran paket wisata budaya yang diberi label Heritage Walks akhir tahun lalu.
”Yang baru datang harap segera registrasi dan masuk ke grupnya masing-masing,” begitu teriakan salah seorang panitia. Satu grup terdiri atas 11 orang dengan seorang pemandu. Setelah grup terbentuk, mereka langsung berangkat menyusuri jalur Heritage Walks.
Mendung masih menggelayut, tapi gerimis mulai berhenti. Grup demi grup peserta segera meninggalkan pelataran hotel yang dulunya merupakan guest-house bergaya Indische Empire Stijl dan dianggap salah satu hotel paling eksotik dari masa kolonial di Indonesia. Cuaca benar-benar bersahabat mengingat Bandung sekarang berbeda dengan Bandung 10 tahun silam.
Deandels memindahkan ibukota
Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung telah mendaftar lebih dari 400 objek budaya. Dari jumlah itu, Heritage Walks mengidentifikasi ada 160 lebih yang layak kunjung dan terbagi dalam sembilan jalur. Pada peluncuran kali itu hanya di-tengok 47 tempat yang tercakup dalam tiga jalur (Bandung Awal, Zaman Keemasan, dan Kawasan Taman). Saat peluncuran, peserta mengambil jalur Jln. Asia-Afrika menyusuri alun-alun, dilanjutkan ke Braga dan menembus ke Taman Dewi Sartika, melewati kawasan militer di seputaran GOR Saparua, sebelum akhirnya berhenti di Gedung Sate.
Jln. Asia-Afrika (dulunya Jln. Raya Pos) merupakan awal berdirinya Kota Bandung. Di sinilah tahun 1810 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels, menancapkan tongkat di suatu titik di sisi De Groote Postweg. Titik itu kemudian dikenal dengan nama Kilometer 0.
Daendels pun membujuk Bupati Bandung ke-6, Raden Wiranatakusumah II, untuk memindahkan ibukota Bandung dari Karapyak (16 km selatan Bandung) ke lokasi alun-alun sekarang ini. Kilometer 0 letaknya tak jauh dari pelataran Hotel Grand Preanger. Titik ini menjadi awal bagi kami untuk memulai jalan-jalan wisata budaya.
”Brakk ...,” tiba-tiba saja perjalanan yang baru beberapa langkah itu dikejutkan suara bentur-an kendaraan bermotor. Oh la la, di depan Savoy Homann Hotel ada motor menabrak mobil bak terbuka. Pengendaranya melaju kencang dan tidak menyadari mobil di depannya berhenti mendadak. Untung ada polwan di sekitar itu dan lalu lintas pagi masih sepi. Apalagi hari itu hari Sabtu.
Savoy Homann Hotel sendiri merupakan hotel pertama di Bandung. Hotel ini awalnya dimiliki dan dijalankan oleh keluarga Homann dari Jerman. Bermula dari bangunan bambu, hotel itu kemudian direkonstruksi ke gaya neogothik romantik yang sedang populer kala itu. Tahun 1939, A.F. Aalbers ditugaskan mendesain ulang ke gaya streamline art deco.
”Tahu Charlie Chaplin ’kan? Nah, ia pernah tinggal di hotel ini,” tutur Anik, pemandu kami. Hotel ini juga menjadi tempat penginapan pemimpin Asia dan Afrika kala Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan di Bandung tahun 1955.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR