Intisari-Online.com -Para penggemarnya menyebut makanan kecil ini perkedel bondon. Kata "bondon" sendiri dalam bahasa Sunda berarti, maaf, wanita penghibur.
Tapi perkedel ini sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerja seks bayaran itu. Konon, julukan bondon diberikan karena perkedel ini hanya dijual tengah malam, bersamaan dengan jam kerja bondon.
(Baca juga: Angklung, Angkot Premium dari Bandung yang Dilengkapi TV, Wi-Fi, AC dan Pengangkut Sepeda)
Warung yang menjual perkedel ini berada di Terminal Hall, dekat Stasiun Kereta Api Hall. Namanya Warung M. Unus. Dilihat sekilas, warung ini tak ada bedanya dengan warung kelas terminal lainnya.
Kecil dan sederhana. Warung ini sebetulnya warung makan biasa. Konsumennya para sopir angkutan kota. Menunya standar warung terminal. Ada nasi, telur, dadar, tempe, tahu, oncom, ikan, dan lauk lainnya.
Saat siang hari warung ini tak beda dengan warung lainnya. Tapi coba datanglah ke sini menjelang tengah malam, sekitar pukul sebelas. Dijamin, kita bakal tidak kebagian tempat duduk.
(Baca juga: Dulu Lautan Api, Kini Bandung Lautan Kuliner)
Pembeli berjubel. Jumlahnya belasan hingga puluhan. Saking banyaknya pembeli, mereka harus mengambil nomor antrean. Antrean ini tetap terus mengalir hingga menjelang pukul dua dinihari.
Jumlah kursi hanya bisa menampung sekitar 25 orang. Sebagian duduk di kursi plastik tanpa meja. Sebagian lainnya harus rela berdiri, menunggu giliran sambil terus menunggu nomor antreannya dipanggil. Yang mereka tunggu tak lain adalah si "bondon".
Sementara para pembeli antre, di dapur warung, tiga orang sibuk menggoreng perkedel dengan dua wajan besar di atas tungku yang membara. Tungku yang dipakai bukan kompor minyak tanah, tapi tungku tradisional yang menggunakan arang sebagai bahan bakar.
Bahan dan bumbu perkedel ini tak beda dengan perkedel yang biasa kita makan di warung-warung. Bahan utamanya kentang dan telur. Salah satu ciri khasnya, perkedel di sini bentuknya cenderung bulat-bulat lonjong.
Tidak pipih-pipih seperti yang biasa kita jumpai di warung makan. Ciri khas lain, kulit luarnya kering dan renyah. Bagian dalamnya lembut. Gabungan antar gurih dan renyah ini membuat si "bondon" enak dimakan sebagai camilan.
Selain karena rasanya memang enak, ada unsur lain di luar masalah resep yang membuat perkedel terasa makin enak. Pertama, perjuangan selama menunggu antrean. Kedua, hawa dingin Bandung malam hari.
Rata-rata seorang pengantre harus menunggu beberapa puluh menit hingga satu jam sebelum nomornya mendapat giliran. Cukup lama untuk ukuran antre makanan kecil macam perkedel. Karena itu, begitu pembeli dapat giliran, perkedel itu akan terasa lain.
Tidak sekadar perkedel biasa, tapi perkedel perjuangan. Rasa perkedel menjadi semakin enak karena lokasi warung berada di tempat terbuka, sebagian tanpa atap. Udara dingin Bandung malam hari membuat hangat kentang dan gurih telur menjadi makin terasa.
Harga per biji relatif murah. Hanya Rp750,-. Murah meriah. Biasanya pembeli datang tidak sendirian. Kebanyakan datang bersama pasangan mereka. Yang lain datang beramai-ramai, tiga atau empat orang.
Sebagian membeli perkedel untuk dibawa pulang. Tapi sebagian besar membeli "bondon" untuk dinikmati di tempat. Yang kebagian meja bisa menikmati perkedel sambil menonton sinetron lepas malam. Yang tidak kebagian meja harus bersedia menikmati perkedel dengan duduk berjongkok.
Kebanyakan pembeli makan perkedel tanpa nasi. Bukan hal aneh di sini jika 25 atau 30 buah perkedel habis digarap oleh hanya tiga orang. Artinya, satu orang bisa menghabiskan delapan hingga sepuluh buah "bondon".
Selain karena renyah, yang membuat perkedel ini enak dimakan dalam jumlah banyak adalah sambalnya. Rasanya tidak terlalu pedas. Gabungan antara tomat dan terasi. Ini juga merupakan ciri khas perkedel bondon. Tidak dinikmati sebagai perkedel saja, tetapi dicocolkan ke sambal terasi. Nyam nyam.
(Sumber: Wisata Jajan Bandung, Intisari. Foto: bandunglife.com)