Intisari-Online.com - “Maqom Mahmud”, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung. Demikian tulisan yang terdapat pada plang nama kampung di atas mulut jalan masuk menuju Kampung Mahmud. Dari plang itu sudah terasa ada sesuatu yang lain dalam kampung ini. Pemandangan fisik dari luar memang semua tampak seperti biasa saja, tidak ada bangunan rumah tradisional yang mencolok atau orang-orang dengan pakaian khas yang biasanya bisa kita temui di kampung-kampung adat.
Kampung Adat Mahmud, adalah sebuah kampung kecil di sisi sungai Citarum. Sebuah kampung adat yang menyimpan nilai historis perkembangan dan persebaran agama Islam di Kota Bandung. Sebuah kampung sederhana yang ternyata memiliki peranan sangat besar di masa lalu.
Di tengah teriknya sorotan matahari siang hari, kampung ini begitu biasa tanpa ada sesuatu yang menandakan kalau tempat ini merupakan tempat peziarahan kaum muslim. Dari jembatan Citarum Baru tidak terlihat sesuatu yang membedakan Kampung Mahmud dengan kampung-kampung lainnya di pinggiran Kota Bandung.
Setelah melintasi jembatan Citarum Baru, di sebelah kiri terdapat terminal angkutan umum jurusan Mahmud-Tegallega. Seperti terminal di pinggiran kota, jumlah angkutan umum tersebut dapat kita hitung dengan cepat, begitu lengang tanpa ada aktivitas seperti layaknya sebuah terminal. Lurus dari jembatan terdapat sebuah mulut jalan dengan plang bernuansa khas Islam yang sejuk berwarna hijau penanda gerbang Kampung Mahmud. Tertulis “Maqom Mahmud”, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung. Plang nama kampung yang sekaligus juga menandakan adanya situs keramat di dalamnya.
Jalanan utama Kampung Mahmud tampak lenggang berdebu. Sejumlah warung yang menyediakan jajanan berupa makanan kecil dan minuman-minuman dingin tersebar di sudut-sudut kampung. Juga rumah-rumah yang memproduksi meubelair berupa kursi, kayu, dan lemari dengan ukiran yang sederhana namun unik.
Kawasan yang hampir dikelilingi oleh aliran Sungai Citarum ini, memiliki kebun-kebun bambu yang tinggi menjulang dan rindang. Penghuninya kurang lebih 400 KK, yang di dalamnya terdapat 1 RW dan 4 RT. Sebagian besar mata pencaharian warga adalah petani, pengrajin dan pengusaha meubel, sebagian kecil pedagang, dan sisanya pekerja.
Sekarang ini penduduk Kampung Mahmud merupakan masyarakat asli kampung dan sebagian lagi pendatang dari kawasan Jawa Barat dan sekitarnya. Menurut keterangan Lilis, warga pendatang yang berprofesi sebagai pedagang (warung), “Tahun 1984 kampung ini masih sepi. Banyak kebun bambu yang lebat dan suka ditinggali oleh berbagai jenis ular. Aliran sungai yang besar juga masih jernih, jadi warga tidak pernah kesulitan air bersih.”
Meskipun sedikit terpencil di pinggiran kota Bandung, Kampung Mahmud dapat dijangkau dari berbagai arah. Baik itu dari Kota Bandung maupun dari arah Soreang. Dari arah Bandung pengunjung bisa menggunakan angkot jurusan Tegalega-Mahmud, sedangkan dari Soreang, harus menggunakan angkot yang menuju Cilampeni dan melanjutkan dengan ojek menuju Kampung Pameuntasan yang berseberangan dengan Kampung Mahmud. Namun perlu diperhatikan, jam operasional angkot dari dan menuju kampung ini hanya sampai pukul 18.00. Selewat itu maka transportasi umum hanya dapat menggunakan ojek.
Dari sekepal tanah menjadi Kampung Mahmud
Berbicara tentang Kampung Mahmud, sejarah, serta peranannya di masa lalu tidak dapat lepas dari nama besar Eyang Dalem Abdul Manaf. Penduduk menyebutnya sebagai waliyullah. Beliau adalah putra dari Eyang Dalem Nayaderga (dimakamkan di Sentak Dulang, Ujungberung) dan merupakan keturunan ketujuh dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Menurut cerita, Eyang Dalem Abdul Manaf adalah penyebar Islam pertama di kawasan Bandung (Priangan). Beliau pernah singgah di Kampung Mahmud di Mekkah, dan dari sana membawa sekepal tanah yang kemudian ditebarnya di daerah rawa-rawa pinggiran Sungai Citarum yang kelak menjadi Kampung Mahmud. Lokasi ini dipilih karena letaknya yang terpencil dan agak tersembunyi. Konon lokasi seperti ini sangat cocok sebagai pusat perjuangan dalam menyebarkan Islam.
Satu sumber lain, H. Deden Abdullah Natapraja dari Cigondewah, yang ditemui saat berziarah di salah satu makam, mengatakan kalau asal muasal nama Kampung Mahmud adalah dari kata mahmudah atau “akhlakul mahmudah” yang berarti akhlak yang terpuji. Hal tersebut muncul karena sikap dan perilaku masyarakat kampung yang terpuji, karena mereka jujur, rajin beribadah, dan amanah.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR