Intisari-Online.com - Perubahan wajah kota Bandung yang begitu cepat setelah tol Cipularang selesai seolah tidak bisa dielakkan. Khususnya terkait dengan pembangunan tempat-tempat wisata beserta akomodasinya.
Banyak lokasi di berbagai sudut kota berjuluk Paris van Java ini yang menjadi sentra jajanan. Tentunya dengan berbagai menu hidangan dan penyajian yang unik.
Ambil contoh, kawasan Dago atau Jalan Setiabudi. Kita akan mendapati pemandangan serupa. Hanya saja, jajanan kulinernya lebih didominasi kafe-kafe berdesain modern. Beberapa di antaranya menempati bangunan berasitektur klasik peninggalan kolonial Belanda.
Contoh, Kafe Rumah Ugi di Jalan Sawunggaling No. 2. Kafe ini menempati sebuah rumah yang dulu dirancang dan ditempati oleh C.P. Wolff Schoemaker, arsitek Belanda yang juga mengarsiteki Gedung Merdeka Bandung.
Ada juga yang tetap setia dengan makanan lokal sebagai menu andalan. Misalnya, Ikan Pesmol Cianjur atau Sapu Lidi di bilangan Jalan Setiabudi dan Jalan Sersan Bajuri. Kedua tempat makan ini bersetia dengan menu tradisi masyarakat Sunda.
Demikian juga saat menyusuri Jalan Cihampelas. Kawasan yang dulu banyak dipadati toko jeans di kanan kiri jalan itu telah berubah. Sebagai gantinya, kini lebih banyak berdiri hotel, penginapan, kafe, dan rumah makan.
Titik yang paling ramai di kawasan ini adalah Cihampelas Walk (Ciwalk) dan Parijs van Java di Jalan Sukajadi. Tempatnya menyerupai mal, banyak gerai yang menyajikan santapan. Tapi konsepnya agak lain lantaran ada semacam ruang publik di tengahtengahnya. Belakangan tempat ini paling banyak digemari oleh warga Bandung dan pelancong luar kota.
Beranjak lebih mendekati pusat kota, kita juga bakal menemui lebih banyak kafe dan tempat makan. Beberapa titik di sekitar Jalan Riau-Jalan Trunojoyo-Jalan Progo kini tampak lebih ramai dengan kafe-kafe cantik dan restoran. Bayangkan saja, di Jalan Progo yang panjangnya tak lebih dari 100 m itu sekarang terdapat delapan kafe.
Rata-rata kafe di sini baru muncul dalam kurun tiga tahun terakhir. Salah satunya adalah kafe Kopi Progo yang berdiri pada 2009. Tiap hari selalu padat pengunjung, terutama setelah lewat pukul 17.00 WIB. Apalagi ketika akhir pekan menjelang. Tempat ini makin ramai karena dipadati oleh pelancong luar kota.
Harus diakui, wajah Kota Bandung saat ini mengalami perubahan drastis. Sentra-sentra kuliner banyak bermunculan, terutama di kawasan Bandung Atas. Dalam soal kuliner, Bandung bisa dibilang punya segalanya.
Hal tersebut diakui Pratiwi, mojang asal Solo yang sudah tiga tahun menetap di Bandung. Menurut dia, makanan khas Bandung, selain punya cita rasa yang unik juga lebih variatif. Beberapa makanan tradisional pun dimodifikasi sedemikian rupa, baik dari segi bentuk, bahan, dan rasa sehingga terkesan modern. Sebut saja, Batagor Riri, Yoghurt Cisangkuy, Cendol Elizabeth, brownies kukus, dan cireng keju “Pegiat usaha kuliner Bandung tampaknya terus berinovasi dalam makanan,” kata Tiwi.
Tentunya hal ini membuat para pelancong tak perlu khawatir dengan isi perut. Sebab ada banyak pilihan menu dan varian harga. Untuk bermalam pun tak perlu linglung. Kini hotel, wisma (guest house), dan tempat penginapan lain banyak bertebaran.