Intisari-Online.com - Dalam Nusa Jawa Silang Budaya, Denys Lombard menyinggung biografi beberapa tokoh terkenal di Jawa. Salah satunya adalah Acum Kasoem, pencipta industri kacamata pertama di Indonesia.
Sejarahwan Prancis itu menyebut Kasoem sebagai tokoh pribumi di bidang ekonomi yang keberhasilannya luar biasa.
Kasoem, di mata Lombard, adalah profil kewirausahaan pribumi yang gigih dan pantang menyerah. Kasoem juga digambarkannya sebagai sosok pengusaha yang mempunyai visi jelas, yaitu nasionalisme ekonomi.
Visi itu tampak terang berderang dalam semangat kewirausahaan Kasoem untuk “berdiri di atas kaki sendiri” atau berdikari. Sebuah semangat mulia yang perlahan tak lagi begitu bergema di alam Indonesia masa kini.
Siapakah Kasoem sebenarnya?
(Baca juga: Lorong Masa: Tan Malaka, Tokoh Sunyi di Balik Proklamasi)
(Baca juga: Tokoh Kartun Hewan Berbahaya untuk Pembelajaran Anak?)
Bermula di Jalan Braga
Acum Kasoem lahir di Priangan Timur pada 1918. Ia berasal dari keluarga kaya yang tinggal di Leles, Garut, sebuah daerah di kaki Gunung Haruman.
Seorang pamannya lulusan sekolah pendidikan guru (Kweekschool) bekerja sebagai guru. Semua sepupunya yang lain juga pernah mendapatkan pendidikan Belanda.
Kasoem mencoba mencontoh mereka. Ia masuk sebuah schakelschool, sekolah tambahan untuk mengejar kekurangan pelajaran.
Kemudian meneruskan ke Taman Siswa. Di sekolah yang didirikan Ki Hajar Dewantara ini ia dapat merasakan nilai-nilai tradisional. Akhirnya ia mendapat kesempatan mengikuti kuliah di sebuah sekolah dagang di Bandung.
Di ibu kota Parahyangan itu, dia bertemu dengan Kurt Schlosser, seorang Jerman yang mempunyai toko kacamata di bilangan Jalan Braga. Pertemuannya dengan Kurt membuka pikirannya akan pentingnya industri kacamata kelak bila Indonesia sudah merdeka.
Sejak itu, Kasoem mengambil keputusan untuk mengembangkan industri kacamata di Tanah Air. Seluruh tenaga dan pikirannya dicurahkan untuk mencapai tujuan itu. Ia memulainya dengan menjajakan kacamata yang di percayakan Schlosser kepadanya.
Tak tanggung-tanggung, ia menjajakannya dari pintu ke pintu. Ikhtiarnya berjalan mulus. Ia kemudian mampu membuka toko sendiri di Jalan Pungkur.
Ketika Perang Pasifik meletus, Schlosser terpaksa meninggalkan tokonya dan kembali ke Jerman. Kasoem pun memikirkan untuk menggantikannya. Berkat dukungan Ki Hajar Dewantara (yang mempunyai pengaruh terhadap pimpinan militer Jepang), akhirnya keinginan Kasoem terwujud.
Toko bekas pengusaha kacamata asal Jerman itu dibuka kembali pada Mei 1943. Jadilah Kasoem “orang pribumi” pertama yang membuka toko di Jalan Braga. Pada masa itu, kawasan ini dikenal sebagai pusat perniagaan di Bandung.
Namun, kerana kembalinya orang Belanda tahun 1945 dan timbulnya kekacauan “Revolusi Fisik”, Kasoem menutup tokonya. Ia hijrah ke Tasikmalaya, dan sempat melanjutkan perdagangannya selama beberapa bulan.
Semangat berdikarinya dalam ekonomi membuat Mohammad Hatta kepincut. Wakil presiden Republik Indonesia yang juga seorang ekonom itu kemudian mengajak Kasoem untuk datang dan menetap di Yogya, tempat pemerintahan sementara.
Tak pelak, dukungan Bung Hatta ini menjamin sukes Kasoem. Selama tiga tahun dia memasok kebutuhan kacamata bagi semua orang terkemuka di Republik yang baru berdiri ini. Bung Karno pun tak luput menjadi pelanggannya. Untuk mengatasi kesulitan pasokan barang, Kasoem membuka bengkel pengasahan kecil di Klaten.
Pada tahun 1949, Revolusi Fisik berakhir dan pemerintahan kembali ke Jakarta. Kasoem pun memutuskan pulang ke Bandung. Namun, beberapa orang Cina telah memanfaatkan kepergiannya untuk menempati bekas toko Schlosser. Sesudah berperkara di pengadilan yang alot dan memakan waktu lama, Kasoem akhirnya berhasil mengusir mereka.
Usaha kacamata Kasoem terus berkembang. Beberapa cabang baru dibukanya. Selain di Yogya dan Tasik, ia membuka cabang baru di Cirebon, dan tidak kurang dari empat cabang di Jakarta. Namun, bahan pokok industri kacamatanya ini masih dipasok dari luar negeri. Karena itu, Kasoem kembali berpikir keras agar bisa membuat kacamata sendiri.
Belajar ke Jerman
Tahun 1960, boleh jadi, merupakan tonggak baru bagi perkembangan usaha Kasoem. Ia pergi ke Jerman untuk pendidikan tambahan. Di sana, ia belajar pada salah satu pabrik kacamata terbesar yang di pimpin oleh Herman Gebbest.
Dengan berbekal dukungan teknik Jerman ditambah modalnya sendiri sebesar Rp 69 juta serta pinjaman dari Bank Negara, Kasoem mulai membangun sebuah pabrik modern.
Letaknya di desa kelahirannya, Kadungora, Leles (Garut). Di bulan September 1974, pabrik itu diresmikan. Sri Sultan Hamengku Buwono, yang waktu itu menjabat Wakil Presiden RI, turut hadir. Sri Sultan tak lain adalah kenalan lamanya semasa di Yogya.
Dengan dibangunnya pabrik tersebut, Kasoem tak hanya bermaksud membuat kaca untuk kacamata. Tetapi juga membuat lensa untuk alat foto dan mikroskop. Untuk mewujudkan visi enterpreneurnya itu, ia secara tegas menyatakan tak mau minta bantuan pinjaman utang luar negeri. Sebelum perluasan baru, ia menginginkan utang lamanya dilunasi dulu.
Tak hanya itu, ia juga telah mendidik anaknya agar kelak dapat menggantikannya. Cucunya pun diharapkannya kelak dapat meneruskan usahanya.
Di sini menarik untuk menyimak pesan Kasoem, sebagaimana dicatat Thalib Ibrahim dalam Jiwa Joang Bangsa Indonesia (1975): “Bagi Kasoem biarlah pabrik itu kecil saja, tetapi milik sendiri. Apalah gunanya pangkat kita sebagai direktur di dalam pabrik dari usaha dengan bekerjasama dengan luar negeri itu, tetapi tidak ada kekuasaan sedikit pun juga di pabrik itu. Nama saya direktur, tetapi tidak ada pekerjaan direktur sama sekali. Telah menjadi tradisi ilmu optik ini diturunkan kepada anaknya. Pun begitu pula Kasoem akan memberikan ilmunya kepada anaknya.”
Nama Kasoem menjadi terkenal di seluruh Jawa Barat. Sebab, banyak orang melihat sepanjang jalanan reklame bertuliskan “Kasoem, Optik, Bandung”. Reklame dengan cat berwarna putih itu dipasang hampir di mana-mana. Padahal kala itu, ide untuk mengatur periklanan belum begitu dikenal.
Belakangan, Kasoem terkenal karena kedermawanannya. Ia membantu sejumlah anak Sunda yang layak meneruskan studinya. (Nusa Jawa Silang Budaya)