Intisari-Online.com – Dalam rangka ulang tahun Intisari ke-50 dan Dirgahayu Republik Indonesia ke-68, kami menurunkan kembali artikel yang pernah dimuat di Intisari terdahulu dengan tema yang relevan. Berikut ini tulisan yang diambil dari Majalah Intisari edisi perdana, Agustus 1963, dengan judul asli “Surat Bung Karno dari Pendjara Sukamiskin”. Tentu saja sudah kami sesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Bibliotik rumah kurungan ini lebih dimaksudkan sebagai pelepas lelah dan untuk mempertebal perasaan agama daripada untuk belajar. Kitab pengetahuan hanya sedikit; untuk keperluanku, yaitu perkara sosial dan sosiologis tidak ada sama sekali. Memasukkan buku sendiri hanya diizinkan dengan pemeriksaan keras.Dahulu dalam rumah kurungan di Bandung, dapat juga saya meneruskan pelajaranku perkara pergaulan hidup dan sejarah, walaupun dengan beberapa perjanjian yang berat-berat. Tetapi sekarang pelajaran ini, yaitu untuk mengetahui pergerakan pergaulan hidup, syarat-syarat pergerakan dan pergaulan orang Timur, semuanya itu terpaksalah saya hentikan, tak dapat diluaskan lagi. Bagaimana jadinya? Hanyalah ini Sukamiskin ialah tak lebih daripada suatu rumah kurungan dan saya ini tak lebih daripada seorang orang hukuman; seorang manusia yang mesti menyembah larangan dan suruhan, seorang manusia yang mesti melupakan kemanusiaannya.Dahulu dalam rumah tahanan hidupku telah dibatasi, sekarang batasnya bertambah sempit lagi. Segalanya di sini dikerjakan dengan suruhan komando: makan, pulang balik ke tempat bekerja, makan, mandi, menghisap udara, keluar masuk bilik kecil, semuanya dikerjakan seperti serdadu berbaris; semuanya seolah-olah disamakan dengan suatu derajat, tempat kemauan merdeka mesti dihilangkan. Orang hukuman sebenarnya tiada lain daripada seekor binatang ternak ; orang hukuman menurut kata pengarang D’erman 'Nietzsche, ialah seorang manusia yang dijadikan manusia yang tiada mempunyai kemauan sendiri, seperti binatang ternak. Sungguh sayang benar hati kita kepada Nietzsche! Kalau dicoba menghidupkan seorang “Uber-Mensch", dalam suatu rumah kurungan, yaitu orang yang lepas dari segala kebaikan dan keburukan, tentulah akan sia-sia belaka. Alangkah heran hatinya, setelah dibacanya kembali kitabnya, yang bernama “Zarathustra"! Seperti saya ini tinggal dalam bilik kecil pada malam hari dipandangnya sebagai keburukan yang paling kecil; tinggal dalam kandang yang sempit, tempat manusia dapat insyaf akan dirinya, tempat manusia dapat mengemudikan sedikit-sedikit, walaupun dibatasi betul-betul.Saya tentu akan dibenarkan, kalau saya lebih suka dibuang tiga tahun daripada dihukum 2½ tahun dalam rumah kurungan ……. Tetapi entah dimana ada tertulis kalimat ini: “Walau dimana sekalipun, patutlah kemajuan diusahakan!” Hatiku tinggal tetap: selalu insyaf akan diriku; tak pernah saja melupakan suara hatiku. Dan selalu saja mengusahakan kemajuan-kemajuan itu, baik dahulu atau sekarang. Barang siapa yang tidak berusaha menuju derajat Uber-Mensch, itulah tandanya ia tak tahu akan suruhan kemajuan. Korban yang sebenar-benarnya dilakukan tentulah tidak akan terbuang-buang saja; bukanlah Sir Oliver Lodge telah mengajar “no sacrifice is wasted" atau dalam bahasa Jawa "Jer basuki mawa bea". (Dari Dibawah Bendera Revolusi jilid I halaman 115).(Selesai)