Intisari-Online.com -Kisah Hamzah Izulhaq bisa dibilang hampir mirip dengan yang dialami oleh Aitthipat Kulapongvanich, entrepreneur muda asal Thailand yang biografinya dinarasikan dalam film The Billionaire. Keduanya sama-sama memiliki kecintaan terhadap game online dan mengawali jalan kewirausahaan dengan memanfaatkan permainan daring (dalam jaringan, online) sebagai ladang bisnis yang mendatangkan keuntungan. Naluri bisnis yang terasah sejak usia dini itu rupanya membawa mereka pada keberhasilan hingga menjadi miliuner.
Hamzah sendiri tidak berasal dari keluarga dengan tradisi berwirausaha. Ibunya seorang guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan ayahnya bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Dari segi ekonomi, ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Tapi dari kecil Hamzah tumbuh sebagai orang yang luwes. Ia tidak pernah risih berteman dengan anak-anak yang tidak seberuntung dirinya.
Namun, Hamzah kecil adalah seorang yang boros. Kegemarannya bermain game online di warnet dan membeli mainan, membuat uang jajannya sering jebol. Untuk mengakali defisit uang, ia memutar otak untuk menghasilkan uang. Untung pergaulannya dengan orang kecil membuatnya tidak pernah malu untuk bekerja serabutan. Jual koran, kelereng, petasan, mainan gambar, ojek payung, hingga mengamen pun pernah dilakoninya demi menambah pundi-pundi uang. Dari situlah jiwa kewirausahaannya terangsang.
Kecanduan bermain membuatnya sering bolos sekolah dan menyandang citra nakal di sekolahnya. Namun tak banyak yang mengira bahwa ia bermain game online juga untuk menghasilkan uang. “Di game itu kan ada berbagai level. Kalau levelnya sudah tinggi, bisa dijual sehinga menghasilkan uang. Kisaran harganya Rp800 ribu – Rp1,2 juta,” terang pemuda yang lahir di Jakarta, 26 April 1993, ini.
Tak kapok tertipu dan merugi
Riwayat kewirausahaan Hamzah dimulai sejak usianya masih dini. Di masa kecil, ia berbisnis kecil-kecilan hanya bermodalkan sisa uang jajannya. Beranjak SMA, ia hanya menjadi reseller sehingga tidak membutuhkan modal uang untuk menjalankan usahanya, seperti berjualan buku, burger, pulsa, roti, dan lain-lain.
Saat duduk di kelas 1 SMA, ia mencoba berjualan buku dan membuka gerai pulsa. Namun usahanya bangkrut dalam tiga bulan. Tak selalu mujur memang. Kadang dia merugi karena tertipu rekan bisnisnya. Namun ini tak lantas membuatnya kapok. Kali lain, putra sulung dari tiga bersaudara pasangan Faqih Munandar-Sri Rakhmawati ini juga menjajal bisnis katering. Peluang itu diendusnya saat sekolahnya di SMAN 21 Jakarta mengadakan buka puasa bersama dengan menawarkan nasi kotak. Dari satu nasi kotak ia mendapat laba Rp1.000. Alhasil, dari satu sekolah ia bisa meraup untung sekitar Rp720 ribu.
Menginjak kelas 2 SMA, Hamzah ditawari salah seorang mentor seminarnya untuk mengakuisisi sebuah unit usaha lembaga bimbingan belajar (bimbel). Lembaga bimbel yang terletak di bilangan Johar Baru, Jakarta Pusat, dibanderol Rp175 juta. Kala itu Hamzah hanya mempunyai uang Rp5 juta. Ia pinjam ke orangtuanya dan mendapat tambahan Rp70 juta dari hasil jual tanah yang semula akan dipergunakan untuk membeli mobil. Ia bertekad melunasi Rp 100 juta sisanya dengan cara mencicil dari keuntungan usaha bimbingan belajar tersebut.
“Daripada uangnya dipakai untuk membeli mobil dan masih harus mengangsur cicilannya, lebih baik saya pinjam agar diputar sebagai modal bisnis,” kenang Hamzah saat melobi orangtuanya. Fase inilah yang menjadi titik balik perjalanan karir Hamzah dalam berwirausaha sampai sekarang.
Saat itu ia sama sekali belum berpikir untuk menjadi pengusaha. Seperti anak-anak sebayanya, Hamzah bercita-cita menjadi seorang profesional, macam pilot atau atau tentara. Ia juga sempat ingin menjadi seorang ekonom atau akuntan. Cukup beralasan karena secara akademik Hamzah memang tergolong menonjol. Ia pernah mewakili Provinsi DKI Jakarta di Olimpiade Ekonomi SMA tingkat nasional di Medan.
Tapi di saat yang bersamaan, ia juga sering mengikuti seminar kewirausahaan dan melahap buku-buku soal motivasi bisnis. Cita-citanya di awal pun goyah. Ia tidak lagi tertarik untuk menjadi pilot atau ekonom dan akuntan. Bayangan untuk menjadi pengusaha mulai muncul di benaknya.
Otodidak tulen
Menjelang lulus SMA, usahanya semakin berkembang pesat. Saat itu lembaga bimbel yang ia miliki menghasilkan keuntungan bersih Rp25 juta per semester. Sebagian dari jumlah itu dia gunakan untuk memutar kembali roda bisnisnya, yaitu dengan membuka cabang baru. Melihat hasil yang bagus, ia meyakinkan diri bahwa gairahnya lebih ke arah bisnis dan bertekad untuk lebih serius lagi menekuni usahanya.
Dalam berbisnis ia adalah seorang otodidak tulen. Hamzah tidak lahir dari keluarga pengusaha, juga bukan alumnus sekolah bisnis. Tapi hal ini melecut semangatnya untuk terus belajar secara mandiri. Karena itu, ia sering berdiskusi dengan banyak mentor, membaca buku seputar kewirausahaan dan biografi pengusaha terkenal. Hamzah tidak merasa rugi kalaupun harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk itu. “Ini saya anggap sebagai investasi,” ujar pengidola Sandiago Uno ini. Semasa SMA, dia pernah membayar Rp7 juta untuk mengikuti pelatihan bisnis. Dengan uang sebesar itu mungkin teman-teman sebayanya lebih tertarik untuk membeli ponsel pintar baru yang sedang ngetren.
Seiring waktu, bisnis bimbel Hamzah berkembang pesat. Dalam rentang dua tahun, utangnya yang ratusan juta itu terlunasi. Konsistensi dan keprihatinannya berwirausaha kini tampak mulai berbuah manis. Jumlah cabang usaha bimbel yang diberi nama “Solusi” itu bertambah hingga empat. Ia juga tengah merintis untuk membeli usaha waralaba pendidikan anak usia dini (PAUD).
Sedangkan orangtuanya kini telah dibelikan sebuah mobil baru. Bahkan, Februari kemarin ia membeli rumah seluas 220 m persegi di bilangan Duren Sawit, Jakarta Timur, senilai Rp1,1 miliar. Semua itu didapatkan dari hasil keuntungan bisnis bimbel.
Lahirnya CEO muda
Hamzah mengakui, kunci keberhasilannya tidak terlepas dari perhatiannya terhadap mutu karyawan. Karena itu, dia merekrut orang-orang yang mempunyai kapasitas cukup dan membekali mereka dengan tambahan skill melalui berbagai pelatihan. “Ini penting. Sebab, sebagus apa pun marketing-nya jika sumber daya manusianya kurang bagus, tidak akan menghasilkan apa-apa,” papar Hamzah. “Sama halnya dengan kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah tapi jika dikelola oleh SDM yang mentah, hasilnya tidak akan optimal,” tambah lajang pemenang Ciputra Young Entrepreneur (2011) ini.
Ada satu momen ketika Hamzah dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis yang menentukan masa depannya. Hal ini terjadi menjelang kelulusan dia dari SMA. Saat itu Hamzah sudah diterima sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi UI melalui jalur PMDK. Namun ia berpikir, seandainya ia memilih melanjutkan studi, bisnisnya yang mulai beranjak mapan tidak akan tertangani dengan baik sehingga terancam bangkrut. “Mungkin ada orang yang bisa menangani keduanya. Tapi saya memang bukan tipe orang yang seperti itu. Kalau menangani sesuatu, saya harus benar-benar fokus,” ungkapnya jujur.
Keputusan untuk itu ternyata benar. Kini, Hamzah semakin memantapkan diri menjadi pebisnis muda. Tahun 2011 ia memperluas bidang usaha. Dia mengakuisisi sebuah perusahaan furnitur dengan brand Sofabed, di Tangerang, Banten. Bisnis furnitur menarik minatnya karena pesatnya pertumbuhan properti menjanjikan peluang besar juga untuk bisnis furnitur.
Dengan suntikan modal baru, pemasaran produk furnitur berbahan foam itu pun diperluas. Semula hanya berskala lokal, tapi kini bisa menjangkau seluruh wilayah tanah air. Order datang dari hotel, perumahan, dan rumah sakit. Bahkan dalam waktu dekat, ia berencana akan mengekspor ke negeri jiran, Malaysia. “Celah bisnisnya sudah saya dapatkan karena di sana masih jarang pemainnya,” kata Hamzah. Dia menyatukan bisnis furnitur dan bisnis bimbel yang dijalankannya lebih awal dalam satu induk perusahaan bernama Hamasa Indonesia Corp.
Meskipun demikian, perjalanan Hamzah sebagai wirausahawan bukan tanpa hambatan. Dia merasa usianya yang masih muda kerap mengganggu kepercayaan klien terhadap dirinya. “Padahal saya sudah sengaja tak mencukur kumis dan jambang agar tampak lebih berumur,” ucap Hamzah sambil tertawa. Untuk mengatasinya, dia selalu berusaha untuk pandai menjaga wibawa. Contoh, berserius mengikuti rapat.
Kendala lain adalah akses modal. Usianya yang belum genap 21 membuat Hamzah tak bisa meminjam uang ke bank. Solusinya, dia tetap meminjam ke bank atas nama ibu atau tantenya. “Tapi cicilan hutangnya saya yang menanggung,” kata CEO Hamasa Indonesia Corp. ini mengakhiri perbincangan. (Intisari)