Intisari-Online.com - Kota Bandung tak pernah kehabisan ide untuk menjamu para tamu. Melalui Warung Misbar, keindahan rasa hadir berbalut kenangan. Di warung ini, lebih dari 100 menu tradisional Nusantara tersaji dengan tontonan bioskop tempo doeloe.
Persis seperti ketika menonton di bioskop. Demikianlah kesan yang mencuat sejak di pelataran warung. Poster-poster besar dipajang di bagian muka warung yang menghadap areal parkir. Selayaknya bioskop, poster itu memajang film yang sedang tayang ataupun yang akan datang.
Papan petunjuk Warung Misbar yang dirancang bak petunjuk pompa bensin dipatok di pinggir jalan. Papan itu berisi tulisan, ”Pesta rakyat. Makan enak sambil nongton. Harga irit, hati bahagia. Bukan pom bensin”.
Sebelum memasuki warung, pengunjung seperti akan masuk ke dalam sebuah gedung bioskop. Mereka harus berbaris pada antrean berpagar palang besi. Pelayan telah siap melayani di loket sembari menyodorkan selembar kertas yang ”pura-puranya” adalah karcis bioskop. Bedanya, tiket ini bisa dikumpulkan untuk mendapat potongan harga.
Sesuai namanya, Warung Misbar sengaja diadaptasi dari suasana bioskop layar tancap, yang digelar tak beratap. Jika hujan tiba-tiba datang, penonton bakal bubar sehingga muncul istilah misbar, ”gerimis bubar”.
Begitu memasuki warung, pandangan mata langsung tertuju pada layar tancap di tengah ruangan. Kain putih yang dibentangkan membentuk layar 2 X 2 meter itu disorot dengan proyektor. Sajian film-film masa lalu pun bisa disaksikan, di antaranya film yang dibintangi oleh Benyamin S, Adi Bing Slamet, Suzanna, dan Rhoma Irama.
Pengelola Warung Misbar bahkan sudah menjalin kerja sama dengan keluarga almarhum Kang Ibing untuk memutar seluruh film orisinal dari pelawak yang banyak berperan sebagai si Kabayan itu.
Sajian Nusantara
Interior warung sengaja dibuat sederhana dan minimalis. Suasana pasar dan alun-alun kota, tempat biasanya warga menonton layar tancap, seperti dipindahkan ke dalam ruangan. Mayoritas pengunjung menyantap makanan di kursi kayu yang didesain usang.
Tampilan ala bioskop menjadi wajah depan Warung Misbar, Jalan RE Martadinata, Bandung, Jawa Barat, Kamis (17/1/2014).
Tak sekadar suasananya yang menumbuhkan kenangan masa lampau, seluruh hidangan yang disajikan pun berasa kuno. Di sebelah kiri setelah pintu masuk warung terdapat deretan 40 jenis dari total 100-an menu khas Nusantara. Menu masakan itu diganti bergilir setiap satu bulan.
Untuk nasi saja, warung ini menyediakan beragam pilihan, mulai dari nasi liwet, nasi putih, hingga nasi merah. Lauk-pauknya cukup beragam, mulai dari tumis usus ayam, ayam goreng laos, bebek sambel hejo, sate paru, mercon daging kambing, sayur tumis paria, dan semur jengkol.
Lauk yang terlalu sayang untuk dilewatkan adalah ayam lado mudo. Daging ayam berasa sangat istimewa dengan tambahan bumbu kecombrang. Rasa asam dari kecombrang yang biasanya ditemui sebagai campuran rujak ternyata bisa memberikan rasa unik, yaitu pedas dengan semburat asam segar.
Menggigit daging ayam lado mudo, ayam laos, atau ayam bumbu cabai hijau, semakin spesial ketika disandingkan dengan sayur pencok katel. Sayur ini dibuat dari tumisan pucuk daun kacang kedelai yang dibumbui dengan cabai. Rasa pucuk daun kedelai ini dijamin bikin ketagihan jika disantap dengan nasi yang panas mengepul.
Karena daun kacang kedelai sulit dijumpai di Bandung, pengelola warung sengaja mendatangkan khusus dari Majalengka. ”Tiap bulan kami coba cari menu tradisional Nusantara yang hampir punah. Makanan paling enak itu makanan ala rumah,” kata Manajer Operasional Warung Misbar Adhi Jatnika.
Sajian minumannya pun tak kalah. Beragam minuman tradisional mulai dari bandrek, es cingcau hijau, bajigur, jamu, hingga es dung-dung bisa langsung dipilih. ”Lebih menekankan ke tradisional,” ujar Supervisor Warung Misbar Hendra Jasmara.
Pesta rakyat
Minuman-minuman itu tersaji apik dalam gerobak-gerobak terpisah yang mirip dengan yang dijajakan pedagang keliling di kampung-kampung. Tak hanya minuman, gerobak-gerobak itu juga menjajakan camilan menggiurkan seperti rujak ngidam atau tahu gejrot. Di sela-sela kursi pengunjung, seorang pelayan beredar sambil menjajakan rokok yang diwadahi kotak kayu.
”Konsep kami adalah warung. Bukan restoran atau kafe, tapi tetap higienis. Makan kayak di pesta rakyat yang nyaman dan bebas,” tambah Adhi.
Hidangan di restoran ini diolah oleh 19 koki. Harga makanannya tergolong murah dengan rentang dari Rp 3.000 sampai paling mahal Rp 27.500 per satuan. Rata-rata, tiap orang mengeluarkan dana Rp 40.000-an untuk sekali sarapan, makan siang, ataupun makan malam. Warung ini bisa menampung lebih dari 180 orang.
Sayur Pencok Katel, salah satu menu yang ditawarkan Warung Misbar di Bandung.
Seperti suasana pesta rakyat, pengunjung bebas berbaur. Tak ada sekat pembatas antara perokok dan bukan perokok. Udara ruangan tak terasa pengap karena ventilasi udara yang terbuka. Konsumen warung ini pun sangat beragam, dari anak muda, orang tua, hingga anak-anak.
Dibuka sejak 25 Agustus 2012, Warung Misbar juga sudah membuka cabang di Denpasar, Bali. Warung dengan konsep bioskop zaman dulu ini lahir dari ide tiga pemegang saham yang kemudian mendirikan PT Radha Boga Jaya.
Kegembiraan dalam sebuah pesta rakyat menjadi pesona utama Warung Misbar. Lengkap dengan hiburan layar tancap, kenangan lama terputar kembali berbalut kelezatan sajian Nusantara. (Mawar Kusuma/kompas.com)