Sebagian warga Gunungkidul, Yogyakarta, menganggap, kematian bisa ditentukan oleh cahaya berekor yang sebut pulung gantung. Untuk menangkalnya, mereka mengadakan ruwatan. Simak cerita B. Soelist dan Djati Surendro berikut ini.
Trigger warning: tulisan ini mengandung beberapa kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, DIY, pada awal 1990-an. Semoga para almarhum tenang di alam sana.
Penulis: B. Soelist dan Djati Surendro untuk Majalah Intisari edisi Desember 1991 (tayang lagi dengan beberapa penyuntingan)
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Rabu Kliwon, 9 Oktober 1991, pukul 02.00 WB, Ngadimin alias Surip warga Dusun Ngandong, Kecamatan Patuk, Kab. Gunungkidul, mengakhiri perjalanan hidupnya dengan cara menggantung diri. Tak begitu jelas alasan kenapa dia melakukan perbuatan senekat itu.
Diduga, karena putus cinta, seperti dituturkan kepala desa setempat saat itu, Harjo Diguna (82). Anak ketiga keluarga Karjoredjo ini sudah lama ingin kawin.
Tapi dari tiga wanita yang dicintainya, tak satu pun yang mau diajak ke pelaminan. Surip malu dan tergores dadanya. Apalagi adik perempuannya terlalu cepat mendahuluinya kawin.
Daripada hidup menanggung malu, lebih baik ambil jalan pintas. Akhirnya Surip meninggal gantung diri dengan tenang di bawah pohon rambutan.
Nampaknya kematian Surip sudah terencana matang. Terbukti mulut korban diplester terlebih dulu.
"Mungkin agar tidak menimbulkan suara akibat leher yang terjerat," ujar Suyadi, polisi pamong praja Kec. Patuk saat itu. Dari saku celana korban ditemukan dua pucuk surat.
Yang pertama untuk kakaknya di Jakarta, berisi permohonan maaf. Surat kedua tertuju kepada orangtuanya, memuat pesan agar jenazahnya dimandikan dengan air bunga melati dicampur garam.
(Ketika artikel ini ditulis,Surip adalah korban bunuh diri ke-17 di Kab. Gunungkidul sejak sepuluh tahun sebelumnya -- atau dari 1980-an awal. Catatan redaksi)
Isyarat pulung gantung
Sebelum kasus Surip, peristiwa serupa dialami tujuh warga Dusun Siraman II, Kec. Wonosari, dalam selang waktu yang tidak begitu jauh. Mereka adalah Jiyem, Widi, Siyem, Walidi, Tukirah dan Solinah serta Noto Triman.
Sudah pasti "korban" ini punya problem berat. Seperti Noto Triman, bapak dua orang anak yang dikenal amat bersahaja ini merasa menanggung wirang (malu) dan putus asa.
Seorang anaknya terserang kanker tak kunjung sembuh meski pengobatannya sudah menelan biaya ratusan juta rupiah, sementara anak satunya gila.
Selain mestinya masing-masing pelaku gantung ini punya segudang alasan yang mendasari tindakannya. Kebanyakan warga Dusun Siraman terlanjur menuding penyebab bunuh diri adalah kepercayaan aneh yang berkembang di sana yakni ... pulung gantung.
Ya, pulung gantung. Semacam bola cahaya berekor berwarna hijau kemerahan sebesar kepalan tangan ini diyakini sebagai biang penyebab kematian konyol. Munculnya malam hari saat step fare (sekitar pukul 20.00 ketika anak-anak sudah tidur).
Setiap kali cahaya berekor ini terlihat jatuh di suatu tempat, pasti tak lama kemudian diikuti kejadian gantung diri. Biasanya pulung tersebut menjemput korban di tempat pulung itu jatuh.
Apa pun alasannya, bagi sebagian besar warga Siraman percaya, pendorong tindakan nekat "para pegantung diri" itu adalah roh jahat yang mengejawantah dalam bentuk cahaya hijau kemerahan atau pulung gantung.
Pasalnya, peristiwa demi peristiwa yang terjadi di kawasan itu seakan mensahkan anggapan tersebut.
Dalam hal ini kasus Tukirah dan Solinah barangkali yang paling mencekam. Dua kakak-beradik, putri janda Tumikem ini sama-sama tewas setelah pulung gantung menyatroni rumah mereka.
Artinya, sudah dua kali rumah Mbok Tumikem ini ketiban (kejatuhan) pulung. Dalam buku catatan kematian Dusun Siraman II, tertulis jelas Tukirah meninggal pada tanggal 9 September 1989.
Persoalannya, Tukirah sakit tak sembuh-sembuh, badannya panas dingin sampai penglihatannya kabur. Katanya, penyakit itu dibawa dari perantauannya di Sumatra dan Surabaya 4 tahun silam.
Tapi menurut Ngalimun, kepala dusun setempat, Tukirah mengidap penyakit kelamin parah, sampai pihak Rumah Sakit Wonosari dan Yogyakarta tak sanggup menangani.
Dalam keputusasaan itulah akhirnya Tukirah pasrah, mengurung diri di rumah. Sampai pada suatu hari dia minta dibelikan buah sawo.
Mbok Tumikem segera bergegas ke pasar. Tapi begitu kembali dari pasar, putri ketiganya sudah tergantung di kayu langit-langit ruang tamu.
"Tukirah menggantung menggunakan jarik (kain panjang). Sungguh saya tidak mengira," kenang Mbok Tumikem sedih.
Sejak musibah itu tetangga menyarankan agar rumah itu dibongkar saja. Maksudnya untuk 'menyucikan' kembali agar terhindar dari petaka.
Mbok Tumikem setuju saja, masalahnya tergantung pada biaya dan rumah pengganti. Tapi tunggu punya tunggu, biaya tetap tak kunjung ada, sementara pulung begitu cepat datang kembali untuk kedua kalinya.
Kali ini Solinah (29), kakak Tukirah, yang menjadi korban, gara-gara pertengkaran kecil dengan Sutiyem adiknya. Sebelum bunuh diri, korban terlebih dulu menyuruh ketiga anaknya untuk nonton TV di rumah tetangga.
Solinah tewas menggantung diri dengan setagen tak jauh dari tempat almarhum kakaknya mengakhiri hidupnya beberapa bulan sebelumnya.
Dua kali tertimpa musibah janda tua ini semakin percaya, rumahnya harus segera dibongkar. Berdasarkan rembukan keluarga, akhirnya diputuskan rumah tak jadi dibongkar tapi dijual.
Tapi sayang, rumah berdinding bambu berlantai tanah seluas 12 x 8 m itu tak kunjung terjual. Tak ada seorang pun yang berani membelinya.
Pernah ada yang menawar Rp200 ribu (tahun 1990-an). Tapi karena mendengar kalau rumah ini pernah dipakai buat gantung diri, si penawar pun mundur, akun Tumikem.
"Saya pun pasrah. Kalau pulung datang lagi, biarlah saya saja yang sudah tua yang diambil," tambahnya. Maka di samping pasrah, janda tua ini tak henti-hentinya berdoa dan tirakat menolak pulung dengan cara tiap malam tidur di depan pintu rumah.
Pulung gantung memang sudah tak menyambangi rumahnya lagi. Tapi sasaran berpindah ke dusun tetangga yang hanya berjarak ratusan meter yakni dusun tempat tinggal Noto Triman.
Nilai heroik yang bergeser
Pulung gantung, istilah sakral berkonotasi menyeramkan barangkali hanya ada dan dipercaya di kawasan Gunungkidul. Khususnya di Desa Siraman.
Benda metafisis berupa berkas cahaya hijau kemerahan ini sukar dipahami meski karena kehadirannya seringkali terbukti. Tak jelas dari masa muasalnya, tiba-tiba meluncur dan jatuh meneror manusia.
Cahaya ini simbol kematian dan maut. Yang aneh, tidak pilih bulu. Sasaran korbannya bisa siapa saja, orang dewasa, remaja dan bahkan anak-anak.
Sekadar tahu saja, seorang gadis cilik murid SD kelas IV, di Desa Semanu, Kec. Semanu, sekitar setengah tahun sebelum kasus bunuh diri Ngadimin tewas menggantung diri hanya gara-gara janji ibunya untuk membelikan baju baru tak terlaksana.
Kisah pulung di atas bagi kebanyakan orang pasti sangat asing dan sulit dipercaya. Apalagi kalau hendak dicari pertanggungjawaban rasionalnya.
Sementara betapa muskilnya ini semua, toh menjadi realitas sendiri yang hidup bahkan sudah merasuk dalam sistem kepercayaan masyarakat. Ini didukung dengan pengalaman-pengalaman yang membuktikan hal itu.
Bahkan menurut Sudiman Wardisuwito, ketika itu Kades Siraman II, arah hadap orang yang menggantung diri pun memuat lambang tertentu. "Arah hadap orang nggantung bisa dijadikan petunjuk di mana korban berikutnya akan muncul," tuturnya.
Maksudnya, jika orang nggantung menghadap ke Timur misalnya, diyakini pada arah itu akan terjadi peristiwa serupa entah tetangga dekat atau dusun lain. Jarak kejadiannya bisa satu, dua hari, seminggu, sebulan atau bahkan setahun kemudian.
Peristiwa Tukirah dan Solinah adalah salah satu contohnya. Tukirah mati menggantung menghadap ke Utara, beberapa bulan kemudian adiknya melakukan hal serupa di arah tersebut.
Mayat Solinah menghadap ke Tenggara, empat bulan kemudian dusun yang terletak di arah tersebut kehilangan seorang warganya, Noto Triman, juga tewas gantung diri. "Bagaimana ini mau dirasionalkan. Sangat sukar tapi benar-benar terjadi," tambah Sudiman.
"Sebenarnya, pulung ini bukan pendorong atau penyebab seseorang bunuh diri. Tapi sekadar suatu sasmita gaib atau pertanda sesuatu akan terjadi," kata Hadi Sumarto, sesepuh Desa Siraman.
Lebih jauh pendeta Buddha yang mantan anggota DPRD ini menganggap yang namanya pulung itu semacam Komet Halley. Hanya bedanya terletak pada sifatnya.
Dulu pulung bercahaya (sering disebut teluh braja) itu bersifat positif, artinya orang yang ketiban pulung tentu akan mendapat anugerah atau rezeki. Misalnya naik pangkat atau terpilih sebagai lurah.
"Biasanya orang yang kejatuhan pulung itu gembira, kok ini malah gantung diri. Yang semua hanya bercanda sekarang jadi nama pulung, ya kemudian disebut pulung gantung," Hadi Sumarto.
Kehadiran benda langit aneh ini, menurut Sumarto, bisa ditolak dengan laku upacara desa dan ruwatan. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, pendeta Buddha ini mengaku mampu mengantisipasi.
Malam sebelum Noto Triman menewaskan diri, Jumat subuh 27 Juli 1991, dia memang melihat berkas cahaya jahat itu meluncur dan jatuh di sebelah dusun.
Karena begitu cepatnya, Hadi tak bisa menentukan isyarat jatuh di rumah siapa pulung tersebut. Tapi dia segera mendatangi beberapa rumah penduduk dan mengabarkan kejadian tersebut, sambil berpesan agar berhati-hati dan prihatin.
Lantas sejak kapan kepercayaan pulung gantung itu muncul? Sukar ditebak apalagi diketahui pasti. Hadi Sumarto sendiri yang dikenal sebagai figur manusia waskita (tahu sebelum terjadi) di Siraman, hanya bisa angkat bahu.
"Sejak kecil pulung gantung itu sudah soya dengar," kilahnya.
Yang menarik justru kenyataan kenapa pulung gantung ini hanya bisa dilihat dan dikenal di kawasan Gunungkidul.
"Orang Jawa beranggapan, hanya mereka yang sering prihatin dan melakukan laku (tapa brata) yang bisa melihat sasmita gaib. Nah, karena kondisi tanahnya yang gersang, memang kebanyakan warga Gunungkidul itu dari dulu sudah terbiasa hidup kekurangan dan prihatin. Maka wajar saja kalau kehidupan mereka dekat dengan alam, termasuk bisa melihat hal-hal yang datan kasat mata (tak terlihat mata telanjang)," tambah Hadi.
Di lain pihak, Sumarto membantah keras anggapan umum yang menuding masalah ekonomi sebagai penyebab utama munculnya kasus bunuh diri di Gunungkidul.
"Saya kira masalahnya bukan karena kondisi ekonomi dan gersangnya tanah. Saat ini masyarakat di sini sudah berkecukupan. Mereka masih bisa makan kenyang. Menurut saya, yang mendorong tindakan itu karena konsep dasar pandangan hidup orang Gunungkidul sendiri. Mereka terlalu berpegang kuat pada falsafah: tinimbang wirang aluwung mati (daripada menanggung malu lebih baik mati)."
Falsafah ini bisa ditelusuri dari perjalanan sejarah masyarakat Gunungkidul.
Didirikan pada hari Jumat Legi, 27 Mei 1831, sejak pemerintahan Panembahan Senopati, raja Mataram pertama, kawasan ini sudah dikenal sebagai wilayah kadipaten dengan ibukotanya bernama Sumingkar atau Sumingkir.
Artinya, daerah tempat orang menyingkir atau melarikan diri. Menurut Hadi, sejak runtuhnya Majapahit sampai Geger Pacinan dan hancurnya Kadipaten Madiun, Wonosari yang menurut Babad Tanah Jawi bernama Sumingkir, menjadi tempat pelarian para prajurit.
Mereka yang setia kepada raja memilih lari atau mati daripada tunduk kepada musuh. Konsep ksatria semacam ini membekas kuat di dalam jiwa anak-cucu penduduk Gunungkidul sekarang, dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Namun, konsep ksatria yang diterjemahkan secara keliru oleh generasi keturunannya, justru menciptakan dampak negatif berkepanjangan, yakni tumbuhnya "budaya bunuh diri".
"Keyakinan itu lebih banyak diterjemahkan dalam konotasi fatalis. Sedikit saja mereka terkena tekanan dan wirang lantas bunuh diri," kata Hadi Sumarto.
Dari sudut pandang ilmu jiwa, dr. W.M. Roan Wicaksana, DPM, ahli jiwa RS Ongko Mulyo, Jakarta, yang juga Kepala Subdirektorat Pencegahan dan Peningkatan, Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan RI, menjelaskan, penyebab umumnya tindakan bunuh diri adalah depresi yang diderita si korban.
"Penyebab depresi ini macam-macam. Di antaranya, harga dirinya jatuh,. kedudukan sosialnya terancam, sehingga merasa tak ada gunanya lagi hidup," katanya.
Menurut pemegang diploma psychological medicine dari The Royal Collage of Physicians, London, ini sebenarnya kalau diteliti ada beberapa tanda yang biasanya ditinggalkan calon korban sebelum bunuh diri.
"Biasanya calon korban mengisyaratkan tanda bosan hidup. Atau pamitan kepada orang-orang di sekitarnya dengan meninggalkan surat dan sebagainya. Tapi kalau sudah akut, calon korban sering kali tidak meninggalkan tanda. Misalnya, pagi masih santai ngobrol-ngobrol dengan teman tapi siang harinya tahu-tahu ditemukan mati gantung diri. Ini pernah terjadi," ujarnya.
Banyak cara bunuh diri, tapi kenapa menggantung diri jadi pilihan paling dominan? Jawabannya gampang ditebak.
Di samping cara itu mudah dan tak mengenal biaya, juga pertimbangan kemudahan perawatan jenazah. Jenazah orang bunuh diri dengan menceburkan diri ke sumur akan lebih susah dirawat. Jadi, si korban gantung diri itu sebenarnya sudah berpikir panjang soal risiko perawatan jenazahnya.
Kurang, wirang, dan penyakit
Tak terbayangkan, bagaimana mana rasanya saat tali menjerat leher sehingga kerongkongan tersumbat Manusia waras pasti ngeri menghadapi jemputan el maut konyol semacam ini. Dibandingkan dengan daerah lain, jumlah kasus bunuh diri di kawasan Gunungkidul memang bisa dibilang paling mencolok.
Lantas, apa sebenarnya pemicu gejala tak normal ini?
Dalam rangka mengangkat fenomena sosial inilah Darmaningtyas dari fakultas filsafat Universitas Gadjah Mada membuat skripsi tentang Bunuh Diri, Suatu Keputusan Eksistensial dalam Filsafat Albert Camus. Studi tentang Bunuh Diri di Gunung Kidul (1989).
Dalam karya tulis itu Tyas memberi sumbangan pemikiran dalam usaha memberikan terapi kasus bunuh diri di daerah tandus ini. "Meningkatnya kasus bunuh diri di Gunungkidul menuntut kepedulian filsafat untuk berperan membantu memecahkan berdasarkan psikoanalisis tersendiri," tulisnya.
Di akhir risetnya, Tyas menyimpulkan, penyebab banyaknya tindakan konyol ini bukan soal tekanan ekonomi semata. Ada tiga faktor penyebab, yakni kurang, wirang dan penyakit menahun.
Yang dimaksud kurang adalah minimnya faktor penunjang ekonomi. Misalnya tak punya tanah, rumah, termasuk lilitan utang.
Namun, penyebab kurang ini di datanya hanya 8,82%. Sedangkan penyebab bunuh diri paling besar adalah karena stres, putus asa dan penyakit menahun (73,52 %). Wirang atau malu adalah kondisi psikologis yang menimpa seseorang, akibat perilaku sendiri atau karena perbuatan orang lain (14,75 %).
Ikhwal kepercayaan khas Gunungkidul yakni pulung gantung, juga disinggung. Bahkan Tyas mencatat rinci lokasi berikut teknik gantung dirinya. "Biasanya di luar rumah, mengenakan setagen atau tali yang diikatkan pada leher dan cabang pohon. Lalu korban naik ke pohon kemudian menjatuhkan diri. Leher tercekik dan mati," tulisnya.
Menurut penelitian Tyas, korban bunuh diri di Gunungkidul lebih dari 94% berusia 30 tahun ke atas. Selama sepuluh tahun ini (1980 - 1989), tercatat 140 kasus bunuh diri dengan rincian 95% atau 134 dengan cara gantung diri, 6 korban sisanya minum racun.
Dibandingkan dengan populasi Gunungkidul yang sekitar 703.914. jiwa, sebetulnya angka tersebut tidak terlalu besar. Tapi kalau melihat angka rata-rata selama 10 tahun, sampai terjadi 140 kasus, artinya tiap bulan, lebih dari satu orang penduduk Gunungkidul mati gantung diri.
Dari segi kejiwaan, menurut dr. Roan, cara penanggulangannya bisa melalui psikoterapi dengan dinamik interaksi aktif dari seorang ahli kepada masyarakat yang bersangkutan.
"Perlu semacam mass-education tentang betapa berharganya kehidupan ini, betapa berharganya tubuh kita dan segenap anggotanya. Sehingga sejak kecil kita dibiasakan untuk memelihara tubuh dan jiwa," katanya.
Begitulah cerita pulung gantung di Gunungkidul, Yogyakarta.