Intisari-online.com -Myanmar saat ini kembali ke posisi mengerikan berada di bawah cengkeraman militer mereka.
Sudah lama militer Myanmar mengambil alih pemerintahan yang menjabat.
Dengan kudeta, Myanmar memasuki status darurat selama 1 tahun.
Komunikasi seluruh warganya dibatasi dengan internet pun ditiadakan.
Meski begitu, kekejaman militer ini tidak berhenti di situ saja.
Rupanya militer ini punya rencana mengerikan untuk etnis Rohingya.
Rencana ini bahkan sudah lama dibuat.
Mengutip The Diplomat, Myanmar menjadi tokoh baru dalam genosida.
Militer Myanmar, Tatmadaw, pada tahun 2017 lalu mengklaim kekejaman mereka terhadap etinis Rohingya karena ada militan Muslim dari etnis tersebut.
Yang mereka maksudkan adalah Pasukan Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA) yang melaksanakan operasi melawan pasukan keamanan pada Oktober 2016 dan Agustus 2017.
Namun rupanya, Tatmadaw telah merencanakan berpuluh-puluh tahun menyiapkan genosida Rohingya.
Awalnya, hal ini hanyalah teori konspirasi saja, tapi di tahun 2017, hal ini benar-benar terjadi.
Pelaksanaannya terbilang bagus, di era dunia menghadapi Islamofobia, kemungkinan besar rencana Tatmadaw berhasil.
Saat Kekaisaran Inggris memberikan kemerdekaan kepada Burma, nama Myanmar sebelumnya, di tahun 1948, beberapa Rohingya mendesak negara Islam mereka sendiri terpisah dari negara dominan Budha yang berdaulat.
Mereka memilih wilayah yang kini bernama Rakhine itu sebagai Arakan.
Tatmadaw tapi memiliki rencana lain, mengeluarkan ribuan warga Rohingya ke Bangladesh.
Paling sering, pengungsi Rohingya akan kembali dari Bangladesh setelah Tatmadaw memutuskan hal itu telah menimbulkan kerusakan yang cukup besar, menambah populasi Rohingya yang terus bertambah.
Rakhine khawatir bahwa jumlah Rohingya akan segera melebihi jumlah mereka, sehingga pemerintah militer Burma saat itu mengesahkan solusi: Undang-undang Kewarganegaraan 1982, yang mengharuskan orang Burma untuk membuktikan nenek moyang mereka sebelum 1823, ketika Inggris menjajah Burma dan mengizinkan Muslim dari Raj Inggris untuk berimigrasi ke sana.
Tatmadaw kemudian membuat orang Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan, mengklasifikasikan mereka sebagai imigran “Bengali” ilegal.
Kekejaman Tatmadaw sedikit berbeda dengan Ottoman atau Nazi yang juga tercatat laksanakan genosida menghancurkan etnis agama minoritas.
Tatmadaw melatih tidak hanya brutalitas, tapi juga kesabaran dan pencegahan.
Awal tahun 1990-an segera pemerintah militer mengganti nama negara menjadi Myanmar untuk mempromosikan agenda nasionalis mereka.
Saat itu, sebanyak 250 ribu Rohingya melarikan diri dari pemerkosaan, penganiayaan agama dan perbudakan ke Bangladesh.
Tatmadaw meski begitu masih memperbolehkan mereka kembali, masih bisa berpikir jika agenda genosida akan mendapat kecaman dari seluruh dunia.
Selanjutnya yang terjadi di seluruh dunia justru membantu Tatmadaw menyingkirkan Muslim Rohingya, yaitu dengan Perang Terorisme yang menunjukkan jika Islam itu berbahaya.
Myanmar menjadi tampak memerangi terorisme Muslim, bukan mengejar genosida Islamofobia mereka.
Ketika kericuhan sektariat meledak di Sittwe, ibukota Rakhine pada 2012, Tatmadaw memenjarakan puluhan ribu Rohingya di kamp konsentrasi dengan tujuan "keamanan mereka sendiri".
Menurut pemerintah Myanmar, kamp itu melindungi Rohingya dari perusuh Rakhine sementara Tatmadaw mengejar tertuduh teroris dari Rohingya Solidarity Organization (RSO), pergerakan penahanan yang tidak lagi berfungsi.
Tatmadaw memilih melarang Rohingya pergi alih-alih membunuh mereka, memberikan kesempatan Tatmadaw untuk menentukan cerita itu.
Kejadian di tahun 2012 itu membuat banyak pengamat berhenti menyebut yang terjadi di Rohingya sebagai genosida, bahkan walaupun PBB dan Human Rights Watch memprotes.
Tatmadaw berhasil menekan Rohingya untuk pergi melalui opresi, alih-alih dengan kekerasan.
Kesempatan mengubah menjadi genosida aktif datang tahun 2016 dan 2017 ketika adanya ARSA.
Tatmadaw melawan pasukan itu, yang dilabeli Tatmadaw sebagai teroris meskipun mereka tidak membunuh siapapun.
Perlawanan dilaksanakan dengan menangkap, membakar, memindahkan, mengeksekusi, memperkosa dan menyiksa warga Rohingya.
Kejahatan perang ini berada di bawah embel-embel penanganan darurat dan penanganan terorisme yang sangat populer dengan militer Barat.
Tatmadaw hanya memproduksi apa yang mereka lihat di dunia Barat.
Aksi mereka tidak terlihat untuk melawan Islam bahkan sejak 1948 sampai sekarang.
Militer bahkan bersembunyi di balik sosok pemimpin Aung San Suu Kyi untuk laksanakan perang terhadap Islam di balik kata Perang Terorisme.
Dua upaya bersejarah genosida Muslim di Bosnia dan Kosovo di akhir tahun 1990-an harus berhenti karena campur tangan Amerika Serikat.
Namun kini, AS tampaknya ragu memasuki lebih bahkan di Afghanistan dan Irak, dua negara yang dulunya sangat ingin mereka selesaikan konfliknya tahun 2000-an lalu.
Melawan terorisme Islam ini juga terjadi di Filipina dan Thailand, tapi tidak seperti di kedua negara yang masih membicarakan upaya resolusi dan membangun perdamaian, Myanmar memilih bumihanguskan semuanya.
Tatmadaw menolak bernegosiasi dengan ARSA dan mereka ingin menghancurkan etnisnya, bukan ketegangan yang terjadi.
ARSA dan RSO menjadi alasan tepat Tatmadaw laksanakan genosida ini.
"Satu-satunya pemecahan masalah atas krisis Rohingya adalah pasukan PBB dikirim ke Arakan dan ciptakan tempat aman untuk warga kami," ujar Sham Shu Anwar, satu dari sedikit Rohingya yang tetap ada di Myanmar meskipun setengah juta warga lain melarikan diri.
Rohingya dulunya berharap demokratisasi Myanmar akan memberikan keamanan mereka.
Mereka mendukung Aung San Suu Kyi dan partainya, NLD, tapi setelah Suu Kyi memihak militer, tidak ada yang bisa diharapkan oleh Rohingya lagi.
"Komunitas internasional hanya menyediakan kami makanan," ujar Anwar.
"Kami butuh perlindungan, bukan makanan."
Satu-satunya penyelesaian untuk ini adalah menghentikan pergerakan ARSA, karena semakin lama ARSA ada, militer Myanmar bisa dengan mudah membantai Rohingya yang ada di Myanmar.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini