Intisari-Online.com - Senin (1/2/2021), pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi bersama sejumlah tokoh senior PartaiNational League for Democracy ditangkap dalam sebuah penggerebekan.
Kudeta militer ini terjadi setelah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dengan pihak militer dalam beberapa hari terakhir.
Beberapa jam setelah kudeta, militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun untuk menjaga stabilitas negara.
Presiden AS Joe Biden dengan tegas mengutuk aksi kudeta militer Myanmar tersebut.
Setelah kudeta tersebutlantas bagaimana nasib orang Rohingya?
Reputasi Aung San Suu Kyi di mata internasional sendiri sempat merosot karena perlakuan Myanmar terhadap minoritas Rohingya.
Pada 2017 lalu, tindakan keras pimpinan militer di Myanmar mengakibatkan lebih dari 730.000 orang Muslim Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Mereka melarikan diri untuk berlindung di kamp-kamp pengungsi.
Banyak pengungsi Rohingya di Cox's Bazar berpikir kudeta di Myanmar hanya akan berdampak kecil pada nasib mereka.
Melansir The Daily Star, Selasa (2/2/2021), setidaknya 20 pemimpin komunitas Rohingya dari kamp-kamp yang terdaftar dan tidak terdaftar di Teknaf dan Ukhiya mengatakan kepada koresponden kemarin bahwa mereka yakin tidak ada kebaikan bagi mereka dari pengambilalihan militer.
"Untuk Rohingya, tidak akan ada apa-apa," kata pemimpin komunitas Badrul Islam.
Dia juga menambahkan bahwa tentara Myanmar-lah yang mencabut hak suara orang Rohingya pada 2008.
Meskipun pemerintah Aung San Suu Kyi tidak menegakkan hak-hak masyarakat Rohingya, dia setidaknya adalah pemimpin terpilih, kata Badrul, yang tinggal di sebuah kamp di Hnila Teknaf.
Pada 2017, sekitar 750.000 Rohingya melarikan diri dari penganiayaan militer di negara bagian Rakhine Myanmar dan berlindung di berbagai kamp di Cox's Bazar.
Mereka telah menunggu pemulangan mereka yang aman dan bermartabat ke Rakhine.
Mohammad Nur, seorang tukang perahu dari sebuah kamp di Kutupalong, Ukhiya, mengatakan tidak ada harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi Rohingya setelah kudeta.
Dia menambahkan bahwa perkembangan dramatis sedang dibahas secara luas oleh para pengungsi.
Khadiza Khatun, 60, dari sebuah kamp di Hnila, mengatakan pada masa pemerintahan Suu Kyi dia harus meninggalkan tempat kelahirannya di Rakhine dan menjadi pengungsi di negeri asing.
Jalal Ahmed, seorang pemimpin Rohingya di sebuah kamp terdaftar di Kutupalong, mengatakan untuk Rohingya, pemerintah yang dipilih secara demokratis seperti Suu Kyi dan militer tidak jauh berbeda.
Dia menambahkan, konflik kepentingan antara pimpinan NLD dan personel militer mungkin telah menyebabkan penahanan para pemimpin politik dan penerapan aturan darurat.
"Tidak dapat diharapkan bahwa posisi mereka di Rohingya akan berubah," tambahnya.