Penulis
Intisari-online.com -Tanggal 1 Februari kemarin, sebuah kudeta di Myanmar terlaksana.
Kudeta itu menangkan pemimpin Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) Aung San Suu Kyi, yang kemudian diasingkan bersama pejabat Myanmar lain.
Dengan ini Myanmar masuki kondisi status darurat selama satu tahun dan pemerintahannya dipegang oleh militer lagi, kali ini oleh Jenderal Min Aung Hlaing.
Siapa sangka, perubahan internal Myanmar akan diamati dengan seksama oleh Beijing.
Lantas apa sebenarnya hubungan Beijing dalam konflik internal Myanmar dan pengaruh kudeta ini terhadap China?
China sendiri menyebut kudeta militer ini bukan sebagai kudeta, melainkan hanya pergantian kabinet saja.
China memang memiliki sejarah panjang dalam kepemimpinan militer di Myanmar.
Di akhir tahun 1980-an, China memiliki hubungan yang baik dengan Tatmadaw, militer Myanmar.
Meski begitu, kabarnya China tidak akan merayakan kudeta militer ini.
Seperti dilaporkan The Diplomat, Yun Sun, wakil direktur di Program Asia Timur dan direktur Program China di Stimson Center di Washington, D.C., mengatakan jika "Kudeta bukanlah kepentingan China.
"Beijing sudah bekerja dengan sangat baik dengan NLD.
"Jika Beijing punya pilihan, kurasa mereka akan memilih NLD daripada militer. Namun mereka tidak punya pilihan…jadi mereka hanya bisa menghadapi apa yang akan terjadi."
Reaksi resmi pertama datang dari juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, yang begitu apa adanya: "Kami telah mencatat apa yang terjadi di Myanmar dan kami sedang mempelajari informasi lebih atas situasi ini.
"China adalah negara tetangga yang ramah untuk Myanmar," lanjut Wang.
"Kami berharap semua partai di Myanmar akan secara benar mengatur perbedaan mereka di bawah kerangka konstitusi dan hukum dan mempertahankan stabilitas politik dan sosial."
Implikasinya adalah berkaitan dengan prinsip lama China: kudeta adalah urusan Myanmar sendiri, dan China siap berhubungan dengan pemerintah siapapun dengan cara yang "bersahabat".
China tercatat memiliki ketertarikan tinggi dengan Myanmar mulai dari ekonomi sampai strategis.
Myanmar adalah gudang sumber daya alam yang kaya seperti kayu, batu alam, dan gas alam.
Myanmar juga menawarkan China akses laut di sisi barat daya, sebuah hasil yang ingin dilihat Beijing dari pengembangan Koridor Ekonomi China-Myanmar, menghubungkan provinsi Yunnan di China ke Teluk Benggala.
Kembalinya peranan militer di Myanmar membakar hipotesa jika kejadian yang lama terulang kembali, ketika Beijing menjadi pendukung utama Myanmar di tingkat internasional.
Dari akhir tahun 1980 sampai dibukanya Myanmar di tahun 2011, negara anggota Asean itu menjadi paria di panggung internasional, terisolasi dari hampir semua negara selain China.
Namun rupanya hal itu tidak begitu diinginkan China.
Sun menganggap China "perlu Myanmar untuk normal dan menjadi negara stabil".
"Jika Myanmar sekali lagi menjadi paria di komunitas internasional, dan apa yang akan didapat konektivitas internasional buatan China?"
Sementara itu, hubungan China dengan Tatmadaw sendiri juga penuh dengan lika-liku.
Pemimpin militer Myanmar tidak berniat untuk menerima China secara gamblang, takut jika mereka akan kehilangan kedaulatan de fakto mereka.
Faktanya, pemerintahan militer yang dilaksanakan oleh Presiden Thein Sein malah yang membatalkan proyek Myitsone Dam demi tunduk pada keinginan rakyat, sebuah hal yang disesali China.
Presiden Thein Sein pula yang mulai membuka Myanmar dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat.
Dalam buku karangan editor The Diplomat Asia Tenggara, Sebastian Strangio berjudul "In the Dragon's Shadow: Southeast Asia in the Chinese Century", dicatat jika penangguhan bendungan Myitsone mempercepat reformasi politik dan ekonomi di Myanmar.
Segera setelahnya Myanmar melihat jelas jika langkah menjauh dari ketergantungan dengan China dan membuka politik mereka sangat berkaitan dan menuju ke arah yang lebih baik.
Thein Sein juga merupakan presiden Myanmar yang akhirnya menjamu presiden AS Barack Obama di tahun 2012 dan mengunjungi Gedung Putih sendiri di tahun 2013.
Strangio juga mencatat dalam kemitraan Tatmadaw dengan China di akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000, Tatmadaw sendiri terus-terusan mencurigai China.
Kecurigaan datang atas sejarah China mendukung kebangkitan kaum komunis dan militan bersenjata dari etnis Myanmar.
Sehingga Tatmadaw sesungguhnya tidak menganggap datangnya China sebagai bantuan yang mereka harapkan.
Sementara itu, China mulai makin nyaman dengan sosok Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil Myanmar, meskipun awalnya China curiga Suu Kyi akan lebih memihak Barat.
Waktu awal berkuasa, China kesulitan berhubungan dengannya, karena selain tidak ada ikatan antara Beijing dan partai Suu Kyi, NLD, juga karena Beijing terlibat dalam persenjataan militer Myanmar yang berakibat penahanan Suu Kyi sendiri.
Namun semenjak demokrasi mulai tampak kuat, Beijing mulai memperbaiki hubungan dengan mengundang Aung San Suu Kyi tur ke China sebelum pemilu Myanmar, menjadi pertemuan pertamanya dengan Xi Jinping meskipun saat itu ia tidak menjabat apapun.
Kunjungan itu diikuti dengan interaksi antara dua negara, termasuk kunjungan Xi ke Myanmar di tahun 2020, kunjungan luar negeri terakhirnya sebelum Covid-19 melanda.
Sejak itu hubungan kedua negara semakin baik, perjanjian China-Myanmar Economic Corridor dengan titik fokus utama pelabuhan laut dalam dan zona ekonomi spesial di Kyaukphyu ditandatangani tahun 2017 di bawah kekuasaan NLD.
Aung San Suu Kyi menjadi tamu istimewa dalam dua Forum Belt and Road di Beijing, tahun 2017 dan 2019.
Baca Juga: China Bisa Kegirangan dengan Kudeta Militer Myanmar, Jepang Ungkap Ini yang Akan Didapatkan Tiongkok
Hubungan NLD dengan Beijing dinilai jauh lebih baik daripada hubungan militer dengan Beijing.
Namun hal itu tidak lupa dikarenakan oleh krisis Rohingya, setelah pernyataan Aung San Suu Kyi yang menyebabkan pihak internasional tidak memihak kepadanya, Myanmar hanya memiliki mitra China saja.
China juga berhasil memenangkan hati warga Myanmar karena memihak mereka dalam genosida Rohingya.
Kini, Sun memprediksi China akan mencoba netral daripada memilih dua pihak yang ingin berkuasa di Myanmar.
Namun melihat kondisi Myanmar, hal ini akan sulit terjadi.
Semakin dalam China terlibat dalam menentang sanksi internasional yang diberikan ke Myanmar atas kekejaman Rohingya, semakin China akan dianggap kurang penting dalam pemain di kancah internasional.
Sun mengatakan China akan tetap melaksanakannya, tapi tidak dengan senang hati karena tujuan mereka juga ingin mengambil peran penting di seluruh dunia.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini