Penulis
Intisari-online.com -Militer Myanmar kembali lagi menguasai pemerintahan Myanmar dan berkuasa.
Kekuasaan didapatkan oleh Tatmadaw atau militer Myanmar dengan cara menggulingkan pemerintahan sah yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi sejak ia menang di pemilu November lalu.
Rupanya, banyak sekali rahasia yang dimiliki oleh Tatmadaw itu sendiri.
Salah satunya berkaitan dengan pengadaan senjata rahasia yang digarap bersama China dan Korea Utara.
Dari sebuah artikel milik John Arterbury yang diterbitkan tahun 2014 di The Irrawaddy, jurnalis Myanmar sudah mencurigai adanya proyek senjata rahasia di negara mereka.
Jurnalis di negara itu sudah dihukum kerja paksa untuk menuliskan mengenai instalasi rahasia yang ada di Myanmar.
Namun kecurigaan mereka justrus membahayakan mereka, dengan investigasi yang diketahui pemerintah justru menyebabkan mereka ditangkap dan dipenjara dan pemerintah mengangkut koran-koran agar tidak dibeli siapapun.
Tahun 2014 itu, 4 penulis dan kepala perusahaan koran Unity Journal menghadapi hukuman kerja paksa 10 tahun.
Mereka dituntut bersalah oleh pengadilan karena membuka rahasia negara, dan pengacara mereka menuduh pengadilan tersebut berupaya untuk membungkam kebebasan pers.
Hukuman tersebut dikecam oleh para advokat hak asasi manusia.
"Mereka menahan jurnalis agar menekan media," ujar pengacara Aung Thane kepada Spectrum.
Pemerintah mendakwa jurnalis di bawah hukum kolonial yang jarang dipakai, bertujuan untuk menjaga rahasia militer.
Tuduhan melibatkan jurnalis melewati batas dalam mengejar cerita dan membongkar rahasia negara dengan mempublikasikan deskripsi rinci dan gambar dari situs militer.
Pemerintah mengklaim pusat militer yang luas di kotapraja Pauk, wilayah Magwe yang dibuka tahun 2008 lalu hanyalah pabrik senjata konvensional.
Namun kenyataan tidak hanya dikejar oleh para jurnalis, karena para ahli menceritakan jika pusat militer itu dapat memiliki beberapa tujuan.
Termasuk di dalamnya bisa untuk produksi senjata yang didukung negara lain.
Lantas apa yang sedang direncanakan oleh industri pertahanan Myanmar?
Herannya, kecepatan pemerintah Myanmar mengejar jurnalis disebut para ahli jika pemerintah masih berupaya menutup rapat-rapat aktivitas militer mereka, tanpa mengikuti reformasi pemerintah terbaru.
Kerahasiaan tingkat tinggi ini tidak menghapus spekulasi apapun, terlebih saat pengamat Myanmar mengatakan ada kemungkinan jika Myanmar bekerja sama dengan Korea Utara.
Situs militer itu menjadi bukti kerjasama dua negara.
Jurnalis veteran Bertil Lintner mengatakan, "Itu bukan pabrik senjata kimia, tapi dilaporkan sebagai pabrik di mana mereka memproduksi selongsong aluminium untuk rudal.
"Dan 'teknisi China' yang disebut di artikel kemungkinan besar adalah warga Korea Utara."
Hal ini tidak mengherankan para pengamat, yang telah mencurigai hubungan keduanya.
Sudah terdapat laporan yang belum terkonfirmasi sebelum tahun 2014 tersebut jika Korea Utara telah menyediakan Myanmar bantuan teknis untuk memulai program rudalnya sendiri di dekat kota Minbu.
Bantuan itu disediakan di bawah payung program negara bernama Direktorat Industri Pertahanan (DDI).
Salah satu analis pertahanan mewanti-wanti, mencatat jika Korea Utara membantu membuat rudal yang kuat, hasilnya kemungkinan akan diketahui publik.
"Itu merupakan spekulasi yang masuk akal, tapi kita tidak tahu faktanya apakah memang Korea Utara membantu dalam program produksi rudal Myanmar, ujar Anthony Davis, analis dari HIS-Jane di Bangkok, Thailand.
Untuk membuktikan klaim Unity Journal dan para jurnalis tersebut, Program Non-proliferasi Asia Timur menganalsis gambar satelit komersil terbaru dari fasilitas tersebut kemudian melengkapinya dengan gambar satelit yang sudah tersedia di internet.
Meskipun penggambaran demikian tidak cukup untuk menggambarkan tujuan asli fasilitas itu, ternyata foto itu tampak bisa memferivikasi bagian-bagian dari cerita Unity Journal, termasuk kerangka waktu dari pembangunan situs, ujar Jeffrey Lewis, direktur program itu.
Baca Juga: Serumit Apa Fasilitas Militer Korea Utara yang Akan Sangat Menyusahkan Operasi Militer AS?
"Mereka menyebut rincian yang benar atau konsisten dengan penggambaran ini, termasuk hilangnya sawah dan rumah-rumah warga demikian pula dengan kehadiran pejabat tinggi dan pekerja asing," ujarnya.
Gambar tersebut juga bisa mengkonfirmasi cerita warga desa mengenai penyitaan dan penggusuran tanah.
Dusun Lebinaing muncul dalam satu gambar, hanya untuk dihapus dalam bidikan satelit berikutnya, digantikan oleh pertumbuhan berlebih dan tanah terjal.
Konstruksi di situs juga muncul dalam gambar tersebut, yang mana di tengah-tengah pembangunan para jurnalis Unity Journal mulai mencium sesuatu yang aneh.
Bagi para reporter, ceritanya dimulai dengan cukup polos.
Penduduk desa telah meminta wartawan untuk datang ke daerah tersebut karena mereka mengatakan pemerintah telah menyita tanah mereka untuk memberi jalan bagi situs tersebut.
Hal itu menjadi pembukaan yang umum di negara yang terkenal dengan penyitaan tanah yang merajalela.
Sesampai di sana, penduduk setempat menceritakan kepada mereka cerita tentang pekerja asing, pengunjung berpangkat tinggi, dan terowongan yang membentang di bawah kompleks.
Kecurigaan warga sekitar, yang diterbitkan oleh Unity Journal, adalah bahwa senjata kimia sedang dibuat.
"Ada konstruksi yang sedang berlangsung di lokasi dan dua jurnalis masuk ke dalam bersama mereka (penduduk desa)," kata Aung Thane.
Tidak ada tanda-tanda di situs dan tidak ada yang menghentikannya.
Para jurnalis tersebut dihukum dengan undang-undang mata-mata, yang disebut Aung Thane tidak patut dipakai untuk kasus ini, karena situs yang dilindungi oleh hukum harus diberi tanda jelas dengan bahasa lokal.
"Untuk menyebut lokasi rahasia pemerintah harus mengirim pernyataan resmi atau perintah dalam berbagai bahasa dan diberitakan," ujar Aung Thane.
Staf Unity Journal juga dikenai tuntutan di bawah pasal penerobosan.
Undang-undang media yang saat itu baru direncanakan tidak bisa digunakan melawan para jurnalis karena peraturan untuk implementasinya belum disetujui.
Kontras dengan laporan media lokal, Aung Thane mengatakan pembela tidak meminta pemerintah menggunakan hukum.
Pemerintah Myanmar sendiri tidak memberitakan apapun untuk mengatasi tuduhan itu, sementara Unity Journal kesulitan dengan editor dipenjara, sirkulasi menurun, sebabkan kantornya di Yangon terpaksa ditutup.
Temuan kunci dalam temuan Program Non-proliferasi Asia Timur adalah keberadaan landasan helikopter yang mirip dengan yang ditemukan di situs Minbu, yang menurut Lewis tampaknya memvalidasi klaim penduduk setempat bahwa ada teknisi China atau Korea Utara.
“Secara umum, kehadiran pekerja asing paling menarik bagi saya. DDI telah dikenai sanksi karena berurusan dengan Korea Utara, dan situs ini tampaknya mirip dengan lokasi lain di dekat Minbu di mana orang Korea Utara diyakini tinggal dan bekerja, ”kata Lewis.
“Bekerja dari citra satelit, tampaknya aktivitas DDI meluas, tidak menyusut, meskipun ada janji untuk menghentikan program terlarang dan mengakhiri kerja sama dengan Korea Utara.”
Pakar mengkhawatirkan kerjasama ini membuat Myanmar dimanfaatkan Korea Utara untuk mendapatkan uang di tengah upaya mereka menghindari sanksi.
Sementara itu pejabat resmi Myanmar meremehkan pentingnya temuan Program Non-proliferasi Asia Timur.
"Mereka mendasarkan asumsi mereka hanya pada gambar satelit saja, bahkan jika gambar itu benar intelijen AS akan langsung mengenalinya," ujar juru bicara presiden kala itu, Ye Htut.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini