Penulis
Intisari-online.com - Pada Senin 1 Februari 2021, sebuah peristiwa besar terjadi di Myanmar.
Upaya kudeta dilakukan oleh Militer Myanmar untuk menggulingkan pemerintah yang berkuasa saat itu.
Menurut 24h.com.vn, pada Selasa (2/1/21), militer Myanmar melakukan upaya kudeta setelah ketidakpercayaan mereka terhadap hasil pemilu November 2020.
Menurut mereka, pasrtai NLD telah melakukan kecurangan sehingga memperoleh suara sebanyak 85%.
Hal itu dianggap melanggar demokrasi sehingga militer bertindak untuk melakukan kudeta dan menguasai negara secara penuh setidaknya selama 1 tahun.
Upaya kudeta itu tampaknya mendapat sorotan dari banyak negara, Amerika di bawah pimpinan Joe Biden pun juga angkat biacar soal masalah ini.
Joe Biden menyebutnya sebagai krisis demokrasi internasional, pertama yang terjadi semenjak dia memimpin AS.
Pemerintah Joe Biden juga mengaku akan menghukum Myanmar jika tentara tidak mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah terpilih.
"Komunitas internasional harus berbicara bersama, untuk memaksa tentara Myanmar menyerahkan kendali atas negara itu, dan untuk membebaskan pejabat yang mereka pegang," kata Biden.
"AS mencabut beberapa sanksi terhadap Myanmar setelah kemajuan demokrasi yang mereka buat," katanya.
"Tindakan membalikkan proses demokrasi di Myanmar harus segera dipertimbangkan," imbuhnya.
"Amerika akan bekerja dengan sekutu di seluruh dunia untuk mendukung, memulihkan supremasi hukum di Myanmar dan meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang terlibat," tambah Biden.
Menurut para ahli, pemerintahan Biden dapat memberlakukan serangkaian sanksi baru terhadap Myanmar setelah kudeta, seperti pemotongan bantuan dan menghukum para jenderal senior.
Sebelumnya,mantan Presiden Trump, AS menghukum empat pejabat tinggi di militer Myanmar, termasuk Jenderal Min Aung Hlaing.
Seorang pejabat Gedung Putih yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada Reuters.
Bahwa pemerintahan Biden telah mengadakan diskusi internal, yang bertujuan untuk memberikan tanggapan yang tepat terhadap situasi saat ini di Myanmar.
Namun, menurut beberapa ahli, Biden tidak punya banyak pilihan untuk menghukum Myanmar.
"AS tidak bisa lagi mempertahankan keunggulannya di kawasan Asia seperti sebelumnya untuk menekan pejabat militer Myanmar," kata Derek Mitchell, duta besar AS pertama untuk Myanmar.
"Lebih banyak sanksi tidak akan menyelesaikan situasi di Myanmar,"kata Daniel Russel mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS di bawah Presiden Obama.
"Amerika perlu memiliki kebijakan luar negeri yang fleksibel dan cerdik untuk meredakan krisis dan menemukan cara untuk mengembalikan pemerintahan terpilih di Myanmar," tambahnya.
Menurut Human Rights Watch (HRW), Biden harus menghukumnya dengan membekukan aset perusahaan besar Myanmar yang dijalankan oleh militer.
Kelompok-kelompok ini beroperasi di banyak bidang seperti perbankan, batu permata, telekomunikasi, dan garmen.
Di bawah hukum AS, Washington harus memotong bantuan ke negara mana pun yang mengalami kudeta militer.
Pada tahun 2020, bantuan AS ke Myanmar berjumlah 606,5 juta dollar AS.
Amerika juga mendukung Myanmar dalam perawatan kesehatan dan program bantuan bencana.
"Memberikan deklarasi hukuman itu mudah tapi Tuan Biden sulit untuk menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya dengan Myanmar," kata Murray Hiebert, pakar Asia Tenggara di Institute for Strategic and International Studies (CSIS).
"Saya pikir Amerika Serikat hanya dapat menghukum beberapa perusahaan militer Myanmar. Ini akan memberi tekanan. Pengaruh militer sangat mengakar di banyak sektor ekonomi Myanmar," tambahnya.
Komunitas internasional masih gelisah mengamati setiap perkembangan terbaru dalam situasi politik di Myanmar, menurut Reuters.