Akhirnya ketika Abdul Razak, bekas kawan seasramanya, menjadi perdana menteri Malaysia pada tahun 1962, Des pindah ke Malaysia.
Belakangan bersama Daan Mogot ia menjadi kunci kontak pertama dalam proses perujukan kembali RI dengan Malaysia.
Hidup Des memang bagaikan petualangan. Di usianya yang senja ini, perjuangannya dilabuhkan di tanah kelahirannya: bagaimana menyelamatkan Banda dari ancaman turis.
"Banda itu tempat paling indah di dunia. Saya takut terlalu banyak turis datang ke sana. Jangan sampai Banda menjadi demikian murah, sehingga segala sisi kerawanan pariwisata tumbuh di sana," katanya berapi-api.
Sebagai pewaris jabatan ketua Oranglima, tetua adat setempat, pemilik Hotel Maulana di Banda Naira, satu di antara 3 hotel di Indonesia yang masuk daftar 50 hotel terbaik dunia versi Majalah Tatler's Travel Guide 1993, dan Hotel Maulana Waitatiri di Ambon ini, memang merasa harus menjadi "pelindung" daerahnya.
"Kakek saya disukai rakyat karena ia sosial. Pada pundak saya memang terletak beban berat juga, tapi syukur alhamdulillah, akhirnya saya cukup mendapat rezeki sehingga saya pun dapat turut membangun Banda," katanya apa adanya.
Melalui Yayasan 10 November, ia prakarsai pemugaran 16 gedung bersejarah di Banda. "Saya yayasan-kan, supaya bila terjadi apa-apa dengan saya, tak ada yang bisa mengklaim gedung-gedung itu sebagai milik pribadi," ujamya.
Penghasilan Hotel Maulana Banda Neira diserahkan untuk proyek pemugaran ini. Selain film dokumenter, ada beberapa bisnis lainnya yang jalan.
Bisa jadi sekaranglah saatnya Des merealisasikan cita-cita masa kecilnya. Menjadi nakhoda yang penuh cinta dari masyarakat dan bumi Banda. (Lily Wibisono)
Raja Mutiara dari Timur
Said Baadilla atau Syech Said bin Abdullah Baadilla, yang punya nama kecil Cong, diangkat menjadi ketua Oranglima di Banda tahun 1882.
V.I. van de Wall dalam Nederlandsch-Indie Oud & Nieuw Maret 1931 menceritakan penanamannya yang besar dalam memajukan daerahnya.
Namun di atas itu semua, kewiraswastaan Baadila, kemampuannya untuk membawa diri, dan rasa sosialnya yang menjadikannya pantas disebut seorang tokoh.
Gebrakan pertama ia lakukan ketika mengganti bisnis angkutan kapal ayahnya (trayek Gresik – Banda), menjadi bisnis kancing mutiara.
Padahal saat ayahnya meninggal, ia baru berusia 18 tahun. Bisnisnya maju pesat, sampai memperoleh pesanan mahkota Kerajaan Belanda.
Ia malah menghadiahkan mutiara sebesar telur burung kepada Ratu Wilhelmina. Tak percuma ia disebut “Raja Mutiara”.
Baadilla tak cuma fasih berbahasa Belanda dan Inggris, tapi juga Jerman dan Francis. Ia dikenal berani menempuh risiko berdagang di daerah yang belum dikenal atau berbahaya.
Dengan cara itu secara tidak langsung ia mendorong pengembangan daerah baru di Ambon dan Ternate, juga pulau-pulau lain di Kepulauan Maluku.
Sebagai pedagang, barangkalli Badilla tak punya pilihan selain mengakrabi pemerintah kolonial. Tapi sikapnya itu diimbangi dengan kepemimpinan terhadap daerahnya.
Ia misalnya mendamaikan bentrokan berdarah antarsuku. Ia juga tak sayang msngerahkan kapalnya, Salim, dengan dana dari kantung sendiri untuk menolong perahu Inggris yang mengalami musibah.
Ketika Kota Ambon hancur akibat gempa hebat tahun 1898, dialah yang memelopori pembangunan.
Kejelian Baadilla dalam melihat peluang bisnis nyata pula ketika ia bekerja sama dengan perusahaan kapal Kerajaan Belanda KPM pada tahun 1910 untuk mempromosikan perjalanan wisata ke Maluku selama 3 minggu di Australia.
Sayang, putra-putranya tidak mampu mempertahankan bisnis ayah mereka, sehingga tak tersisa lagi bagi cucu-cucunya.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1994)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR