Mohammad Hatta: Biarlah Indonesia Tenggelam ke Dasar Lautan Kalau Tetap Dikuasai Penjajah

Moh Habib Asyhad

Editor

Bung Hatta dan Sepatu Bally
Bung Hatta dan Sepatu Bally

Intisari-Online.com – Karena aktivitas dalam Perhimpunan Indonesia yang kian gencar di Belanda bahkan di Eropa, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamuntjak, dan Abdul Madjid pernah diadili pemerintah Belanda di Den Haag tahun 1928.

Tiga pengacara Belanda ikut membela Hatta dan kawan-kawan. Di dalam pembelaan yang berjudul Indonesia Merdeka, Hatta mengatakan, “Biarlah Indonesia tenggelam ke dasar lautan kalau tetap dikuasai penjajah.”

(Baca juga:Sadarkah Anda Ada yang Tak Lazim dari Borgol yang Dikenakan Pelaku Persekusi Cipinang Muara?)

Pengadilan di Den Haag itu cukup “fair”. Hatta dan kawan-kawan dibebaskan dari tuduhan menghasut untuk melawan pemerintah Belanda.

Di Bandung tahun 1930, Soekarno menyampaikan pembelaan Indonesia Menggugat.

Berdasarkan pledoi yang ditulis secara serius semasa ditahan di penjara Bantjeui Bandung, Bung Karno menelanjangi kebusukan imperalisme dan kolonialisme.

Ketika dan sebelum pengadilan itu berlangsung kedua tokoh nasional tersebut saling memberikan dukungan.

Tahun 1932 Hatta pulang ke Indonesia dan untuk pertama kali keduanya bertemu. Perjuangan mereka malah diganjar dengan pengasingan oleh kolonial Belanda.

Hatta dibuang ke Digul, kemudian ke Banda Neira sedangkan Soekarno ke Ende Flores. Pada masa penjajahan Jepang mereka kembali bekerja sama dan keduanya terlibat dalam mempersiapkan kemerdekaan.

Tanggal 1 Juni 1945 Soekarno menyampaikan pidato yang kemudian melahirkan dasar negara Pancasila.

(Baca juga:Jika Tak Dibongkar, Rumah Mewah Juragan Warteg Mungkin Akan Bernasib Sama dengan Rumah Ini)

Pada era Orde Baru ada upaya untuk mengaburkan fakta ini dengan menyatakan bahwa M. Yamin dan Soepomo sudah berpidato tentang dasar negara sebelum Bung Karno.

Rekayasa tersebut dibantah oleh Hatta secara tegas dalam berbagai kesempatan pada masa pemerintahan Soeharto. Bahkan Hatta menulis wasiat kepada Guntur Soekarnoputra tentang hal ini. (Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI)

(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2016)

Artikel Terkait