Advertorial

Meutia Hatta: Meski Seorang Proklamator, Bung Hatta Tak Pernah Pernah Sombong

Moh Habib Asyhad

Penulis

Bung Hatta memang orang yang tidak pernah membanggakan peranannya sebagai proklamator, lebih-lebih menyombongkan dirinya.
Bung Hatta memang orang yang tidak pernah membanggakan peranannya sebagai proklamator, lebih-lebih menyombongkan dirinya.

Intisari-Online.com – Untuk mengenang kembali peristiwa penting Proklamasi 17 Agustus 1945, Intisari meminta Meutia Farida Swasono untuk menulis tentang ayahnya, Bung Hatta, salah seorang proklamator RI.

Berikut tulisan Meutia:

Tanggal 17 Agustus selalu merupakan tanggal yang khusus dalam keluarga kami.

Tidak saja karena hari itu merupakan hari ulang tahun kemerdekaan Rl, namun juga karena ayah kami, Bung Hatta, terlibat langsung dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan itu sendiri, sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan RI.

Oleh karena itulah maka tanggal 17 Agustus kami lewati dengan kesan maupun kenangan tersendiri, baik kenangan yang manis maupun kenangan yang mengharukan.

(Baca juga:Mohammad Hatta: Biarlah Indonesia Tenggelam ke Dasar Lautan Kalau Tetap Dikuasai Penjajah)

Ikut upacara bendera

Untuk mengenang kembali kebersamaan anak dan ayah dalam merayakan hari kemerdekaan Indonesia, lembaran kenangan dalam ingatan saya dikembalikan hingga kurang lebih 34 tahun yang lalu.

Ketika itu ayah masih menjabat sebagai Wakil Presiden pertama RI.

Pada saat itu, Megawati Soekarnoputri dan saya, masing-masing sebagai putri pertama Presiden dan Wakil Presiden RI, dalam usia yang masih muda sekali, tujuh tahun, telah dilibatkan dalam upacara penaikan bendera pusaka di Istana Merdeka di pagi hari, dan juga pada penurunan bendera pusaka di sore harinya.

Kami bertugas membawa baki yang masing-masing berisi tutup peti bendera pusaka dan kunci peti bendera pusaka dan berdiri di samping ayah masing-masing.

Kemudian Wakil Presiden membuka kain penutup peti dan meletakkannya di atas baki saya. Selanjutnya Presiden membuka peti dari kunci yang diambil dari baki Megawati.

Berikutnya, bendera diserahterimakan kepada penerima bendera, yang pada pemerintahan Orde Baru sekarang dikenal dengan istilah Paskibraka, untuk dikibarkan di sepanjang hari itu.

Pada penurunan bendera pusaka di sore harinya, kami mengulangi kembali tugas tersebut.

Seingat saya, partisipasi saya dalam acara ini berlangsung selama tiga tahun, ketika berusia 7 - 9 tahun.

Keterlibatan Megawati dan saya dalam upacara itu bersifat resmi, dan diperlukan adanya gladi resik yang cukup intensif selama beberapa hari.

Maka kalau diurut dari awal tradisi penaikan dan penurunan bendera pusaka sejak tanggal 17 Agustus 1945 hingga tahun 1988 ini, tidak salah kiranya kalau saya merasa bahwa saya adalah anggota termuda yang pernah berpartisipasi dalam upacara penaikan dan penurunan bendera pusaka Sang Merah Putih.

(Baca juga:Tak Punya Merah Putih, Nenek Maryam Kibarkan Bendera Bintang Bulan Milik GAM)

Pernah tak diundang ke istana

Ketika Bung Hatta tidak lagi menjadi Wakil Presiden RI, beliau sepenuhnya memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk tampil sendiri dalam arena politik dan pemerintahan.

Hal ini juga berarti bahwa beliau tidak ingin tampil dalam acara-acara bersama dengan Bung Karno, khususnya di mana peranannya hanya bersifat pasif atau hanya sebagai salah satu dari hadirin.

Oleh karena itu, sejak 17 Agustus 1957 hingga tahun 1968, beliau tidak lagi muncul di Istana Merdeka pada upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia.

Meskipun dalam hal-hal tertentu, sikap Bung Hatta itu memudahkan protokoler istana, namun ada pula masa di mana terdapat kekeliruan administrasi, yaitu beliau memang tidak diundang oleh pihak istana pada peringatan hari bersejarah yang melibatkan namanya.

Kekeliruan ini kemudian diperbaiki, sehingga sesudah tahun 1968 beliau kembali mendapat undangan.

Bung Hatta sedapat mungkin menyempatkan diri hadir di istana, kecuali apabila kesehatan beliau tidak mengizinkan.

Ibu tentu saja mendampingi beliau. Bila ayah tidak hadir, ibu dan salah seorang anak menjadi wakil beliau untuk hadir, meskipun kami setiap tahun selalu hadir karena mendapat undangan tersendiri sebagai putra-putri proklamator Bung Hatta.

Cukup banyak peringatan 17 Agustus yang telah kami lewatkan bersama. Ketika belum ada TVRI, ayah mendengar acara peringatan melalui RRI.

Pidato Presiden Soekarno yang berlangsung lebih dari dua jam tentu tidak terlalu menarik untuk didengar sampai habis oleh kami yang masih anak-anak, tetapi ayah tetap mendengarkannya.

Anak-anak baru bergabung kembali pada saat sirene dan dentuman meriam diperdengarkan dan ketika bendera pusaka dinaikkan.

(Baca juga:Ini Alasan Komandan Paspampres Jokowi Menggunakan Sepatu Lari dalam Istana Kepresidenan)

Ciuman untuk ayah

Pernah pula, pada tanggal 17 Agustus 1959, kami berada di rumah adik ayah, Ny. Sanusi Galib, di Bandung.

Masyarakat Bandung merayakannya dengan mengadakan pawai masal, dan dari halaman rumah adik ayah saya itu, kami menyaksikan perayaan tersebut.

Sejumlah orang merasa heran atau kaget melihat Bung Hatta berada di Bandung dan menyaksikan mereka berpawai, sehingga mereka memberi salam dan menegurnya dengan gembira.

Sejak adanya TVRI, kami tak pernah absen menyaksikan upacara tersebut dari TV. Ini terjadi pada tahun-tahun ketika Bung Hatta tidak hadir di istana.

Di depan TV, kami ikut mengheningkan cipta dan berdoa bagi keselamatan dan kelanggengan negara. Adik saya, Halida, pernah mengutarakan perasaannya saat itu.

Katanya, hatinya bergetar pada saat lagu kebangsaan Indonesia Raya - yang memang terasa berwibawa itu - dikumandangkan.

Perasaan yang sama juga dialami oleh kami yang berkumpul di hadapan TV.

Demikian pula telah menjadi kebiasaan kami bahwa setelah dentuman meriam dan pembacaan teks proklamasi, kami, anak-anak, menghampiri tempat duduk ayah dan mencium kedua pipi beliau.

Dahulu kami hanya melakukannya karena mengikuti ibu. Namun, setelah bertambah dewasa, kami makin merasakan bahwa ada kekhususan sendiri, mengapa kami selalu mencium ayah kami.

Hal itu tidak lain karena kami merasa bahwa beliau patut diberi penghorrnatan dan ucapan terima kasih, karena berkat peranan beliaulah maka sekarang negara kita merdeka.

Bung Hatta memang orang yang tidak pernah membanggakan peranannya sebagai proklamator, lebih-lebih menyombongkan dirinya.

Tidak juga di hadapan ibu dan kami, anak-anaknya. Oleh karena itu, kami pun sejak kecil tidak terbiasa untuk menyanjungnya dengan kata-kata pujian bagi ayah atas peranan pentingnya itu.

Walaupun pada suatu waktu, di tengah kekuasaan Presiden Soekarno antara 1960 - 1965, pernah ada teman dekat ayah yang mengatakan bahwa kalau Bung Hatta tidak tercantum namanya sebagai proklamator, maka belum tentu Bung Karno mau memproklamasikan kemerdekaan.

Maka itulah, ciuman kami sesudah pembacaan teks proklamasi dapat dianggap sebagai tindakan simbolik untuk mengungkapkan perasaan hormat dan terima kasih kami sebagai anak dan istri terhadap Bung Hatta atas peranan beliau yang besar bagi kemerdekaan bangsa ini.

(Baca juga:Tan Malaka, Tokoh Sunyi di Balik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945)

Foto terakhir

Rupanya bukan kami saja yang mempunyai perasaan tersebut. Halida ingat bahwa dr. Hazniel Zainal yang tinggal di Jl. Pegangsaan Barat, selalu hadir di pagi itu.

Cukup singkat, sekitar lima menit, untuk menyampaikan salam dan selamat hari kemerdekaan.

Waktu Halida kecil, ia menganggap peristiwa itu biasa saja, karena dokter mempunyai kebiasaan berjalan-jalan di pagi atau sore hari dan kebetulan lewat rumah kami.

Namun, setelah ia mulai besar, kenangan masa kecil itu membekas. Betapa mengharukan, pikirnya, ada kenalan ayah yang menaruh rasa hormat terhadap perjuangan beliau untuk tanah air.

Ia bukan sekadar mampir, tetapi memerlukan datang untuk memberi selamat pada Bung Hatta.

Halida yakin, dalam hati, ayah kami sangat menghargai ucapan selamat dari dr. Hazniel yang tulus itu.

Ada pula beberapa orang yang melakukan hal serupa, seperti Pak Wangsa Widjaja, Dr. Halim, Mr. Oei Jong Tjioe, Bapak Arnold Mononutu, Laksmana John Lie, dll.

Pada tahun 1979, ketika Bung Hatta sedang sakit dan tak dapat nadir di Istana Merdeka, saya menemani ayah bersama suami dan putri saya, Sri Juwita Hanum (4).

Ibu dan Halida hadir di istana mewakili beliau dan kami melihat mereka dari TV. Seusai acara, seperti biasa saya dan Hanum mencium pipinya.

Kami membeli balon berwarna merah putih, sekadar untuk memperingati peranan beliau dan menanamkan pada diri Hanum tentang arti merah putih dan peranan datuknya.

Tak lama kemudian Gemala datang bersama suami dan anaknya, Athar, yang baru berusia delapan bulan.

Suasana bertambah ramai dengan pulangnya Halida dan ibu dari istana, dan kami pun membuat beberapa foto bersama ayah.

Saya memotret ayah saya bersama kedua cucunya, Hanum dan Athar. Ternyata hanya itulah satu-satunya foto beliau dengan kedua cucunya.

Itulah pula foto terakhir beliau bersama keluarga pada saat 17 Agustus, karena pada bukan Maret di tahun berikutnya beliau kembali ke pangkuan Illahi.

(Baca juga:Mengenal Sosok Saksi Sejarah Pengakuan Australia atas Kemerdekaan Republik Indonesia)

Dianugerahi Bintang Republik

Ada suatu kenangan khusus dari 17 Agustus yang takkan kami lupakan, yaitu pada tahun 1972.

Ayah kami lahir pada tanggal 12 Agustus 1902, berarti pada tahun 1972, beliau berusia 70 tahun.

Karena bilangan itu bersifat khusus, maka sebagian handai tolan dan keluarga merayakannya secara khusus dengan pembentukan sebuah panitia ulang tahun.

Pada tahun itu juga, pemerintah menganugerahkan Bintang Republik (bintang tertinggi) atas jasa Bung Hatta bagi tanah air dan bangsa.

Upacara pemberian bintang itu dilaksanakan di Istana Negara sebagai salah satu acara resmi kenegaraan menjelang peringatan 17 Agustus, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1972.

Kami keluarga terdekat dan sejumlah teman karib beliau turut diundang hadir dalam upacara itu.

Oleh karena itu, bagi kami, bulan Agustus tahun 1972 itu bersifat khusus, dengan satu rangkaian peristiwa: ulang tahun ayah, penganugerahan Bintang Republik dan HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Hal itu terulang lagi pada tahun 1976. Kebetulan pada saat ulang tahunnya yang ke-74, Bung Hatta bersama keluarga dan sejumlah teman dekat berada di Bukittinggi.

Ulang tahun beliau dirayakan di Gedung Tri Arga, dihadiri Gubernur Harun Zain dan pertunjukan kesenian dan diakhiri dengan pemotongan kue ulang tahun.

Kebetulan Gedung Tri Arga mempunyai arti khusus di Bukittinggi, karena dalam masa perjuangan mempertahankan Republik Indonesia, Bung Hatta pernah tinggal di sana sehingga sejak itu gedung tersebut sering diingat orang sebagai tempat tinggal Wakil Presiden Mohammad Hatta, atau dikaitkan dengan nama Bung Hatta.

Lima hari kemudian, peringatan 17 Agustus diadakan di Stadion Padang. Ayah bersama Gubernur Sumbar menyaksikan upacara peringatan itu dari tribune kehormatan.

Seperti juga pada tahun 1972, bagi kami, suasana ulang tahun kemerdekaan Indonesia saling terjalin sebagai suatu rangkaian peristiwa.

(Baca juga:Memperingati Hari Kelahiran Bung Hatta: Bung Hatta Tidak Pernah Dendam kepada Bung Karno)

Ber-17 Agustusan di Tanah Kusir

Masih ada beberapa peristiwa khusus yang mengkaitkan hari lahir Bung Hatta dengan peringatan 17 Agustus.

Pada tanggal 12 Agustus 1981, pemerintah RI diwakili oleh Menteri Sekretaris Kabinet (sekarang Mensekneg) Moerdiono, meletakkan batu pertama pembangunan makam Bung Hatta di Tanah Kusir.

Setahun kemudian makam tersebut selesai dibangun, dan tepat pada tanggal 12 Agustus 1982, diresmikah oleh Presiden Soeharto dalam salah satu upacara yang merupakan rangkaian acara memperingati 17 Agustus 1982.

Itulah sebabnya, maka bagi kami sebagai anak-anak dan juga bagi ibu, kaitan antara tanggal ulang tahun ayah dan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia makin kuat tertanam dalam lubuk hati.

Kini, ayah kami telah beristirahat dengan tenang di Tanah Kusir, ditemani Hanum yang menyusul datuknya tiga tahun kemudian dan Ny. Wangsa Widjaja sejak setahun yang lalu.

Sejak wafatnya Bung Hatta, keluarga berusaha untuk sedapatnya tiap minggu datang ke makam beliau.

Hanya melalui ziarah saya memperkenalkan anak saya, Tan Sri Zulfikar, kepada datuknya dan kakaknya, Hanum.

la belum lahir ketika datuknya meninggal. Meskipun demikian, di luar hari-hari ziarah biasa itu, ada hari-hari khusus, di antaranya pada tanggal 12 Agustus, hari ulang tahun beliau, di mana kami datang ke Tanah Kusir untuk mohon kepada Allah s.w.t. agar ayah kami berbahagia di sisi-Nya.

Selanjutnya, lima hari kemudian, sepulang dari peringatan, 17 Agustus di Istana Merdeka, kami langsung menuju ke Tanah Kusir untuk menabur bunga yang khusus berwarna merah dan putih saja.

Di hari itu, selain berziarah kami juga mengenang jasa beliau yang besar bagi kepentingan tanah air dan bangsa.

Bagi kami, ulang tahun ayah dan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia setiap tahun sama berkesannya seperti merayakan Idul Fitri.

(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1988)

Artikel Terkait