Menjadi atase pers
Pendidikan Des dilanjutkan ke Inggris. Ia lulus dari King's College, London University, jurusan elektro arus lemah.
Di sana, ia turut bekerja di Kantor Penerangan Indonesia, di samping juga menjadi penyiar di BBC, ketika seksi siaran bahasa Indonesia baru dibuka.
Sepulangnya dari Inggris, Agustus 1950, ia diterjunkan ke Ambon menghadapi RMS dan berhasil mengudarakan RRI Ambon setelah 3 hari ditinggalkan RMS. "Untuk membuat ruang kedap suara, kami menggunakan kain panas (selimut)," katanya.
Kembali ke Jakarta, ia menduduki jabatan yang kedengaran cukup mapan: kepala bagian teknik RRI Jakarta.
Malam hari ia menjadi penyiar berita dalam siaran bahasa Inggris. Tugasnya tidak terbatas pada membacakan, tapi juga menyusun berita.
Namun tidak lama ia pun ditunjuk menjadi wakil Indonesia dalam ITU (International Telecommunication Union) di Jenewa, sebuah lembaga khusus di bawah naungan PBB.
Dengan mata menerawang jauh, Des membayangkan saat-saat ia, dalam usia 23 tahun, bergaji AS $ 1.000 per bulan, di masa harga mobil VW AS $ 450 dan Hilman AS $ 670.
Penugasan yang berlangsung setahun itu disusul dengan pernikahan. Tapi baru setahun menetap di Jakarta, ia ditugaskan menjadi atase pers di Austria, kemudian Hungaria, lalu Manila.
Karier diplomatnya terhenti, ketika ia meninggalkan jabatan untuk hidup dalam pelarian. Itu terjadi dalam konteks Sjahrir yang terlibat dalam pemberontakan PRRI-Permesta.
Di luar negeri Des membentuk kantor penerangan pemberontakan bersama Daan Mogot. (Kompas 11/08/91)
Barangkali masa itu bukanlah yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Mula-mula ia tinggal di Swis, kemudian Singapura, lalu Hongkong. Setiap kali pemerintah setempat menghendaki mereka pergi, pindahlah mereka.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR