Kalau kakeknya itu boleh dikata sangat kooperatif dengan pemerintah Belanda, perjalanan nasib membuat Des dan saudara-saudaranya malah menjadi anak-anak revolusi.
Ketika Bung Hatta dan Sutan Sjahrir memasuki kehidupan mereka, para cucu Baadila tak lagi menikmati kelimpahan materi kakek mereka.
Mula-mula Hatta menjadi pembimbing ketiga putra Cipto sambil membantu tiga orang dewasa belajar tata buku.
Namun kemudian ia bergabung juga dengan Sjahrir menjadi pembimbing anak-anak keluarga Baadila.
Dari merekalah anak-anak ini belajar bahasa asing dan "melihat dunia luar" lewat buku secara gratis.
Maklum saja. Kemewahan yang dinikmati kedua tokoh pergerakan ini memang buku. Kesibukan utama mereka belajar dan mempersiapkan strategi untuk merebut kemerdekaan.
Buku yang mereka lalap menembus pelbagai disiplin ilmu: filsafat Jerman, sastra Prancis, sejarah Inggris, politik Belanda, teori-teori dan praktek revolusi di Rusia, Turki, Cina, dan Jepang.
Untuk anak-anak, mereka "menyediakan buku khusus pula, seperti yang dituturkan Des.
"Kami banyak membaca buku. Melihat saya suka ketawa-ketawa begini, Pak Hatta memberi saya buku Don Quixotte, Baron van Munshaussen, dll."
Dengan penguasaan bahasa Belanda dan Inggris, sudah tentu jangkauan bacaan mereka cukup luas.
Sebagai "balas jasa", anak-anak ini membawa kedua guru mereka berjalan-jalan ke kebun pala, berlayar, berenang, memanang ikan dan menikmati keindahan bunga karang, mengamati burung-burung merpati hijau makan buah pala, semua saja kenikmatan alam Banda.
Bagi kedua tokoh ini, anak-anak Baadilla adalah obat sepi.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR