Hal senada juga diungkapkan warga Dusun Turgo dan sekitarnya yang merupakan pusat bencana letusan Merapi kali ini.
Penduduk salah satu daerah penghasil salak pondoh yang terkenal legit itu sebagian besar, terutama yang tua-tua, enggan meninggalkan dusunnya.
Meskipun seorang pengusaha besar dari Jakarta menawarkan pekerjaan di perkebunan kelapa sawit dan coklat di Bengkulu.
"Kami lebih senang tinggal di sini. Biarlah yang muda-muda itu transmigrasi. Kami ini sudah tua, mau apa lagi?" kata Wartoutomo (54), warga RT 06, Dusun Turgo.
Lantas bagaimana kalau wedhus gembel suatu saat menyerang?
"Hidup dan mati itu sudah digariskan, dan bencana itu tidak hanya ada di Turgo. Di mana-mana bisa terjadi kalau Tuhan menghendaki," kata Sugeng (43), penduduk Dusun Tritis, tetangga Dusun Turgo.
Usaha memindahkan penduduk di lereng-lereng terlarang ini bukan barang baru. Paling tidak sejak tahun 1960-an, program pemindahan penduduk sudah dipromosikan.
Namun, belum bisa dibilang berhasil karena nyatanya kawasan terlarang itu masih saja dihuni.
Beberapa peneliti yang pernah meneliti masyarakat lereng Merapi hampir seluruhnya berpendapat, program transmigrasi sukar diterima. Pasalnya sangat sederhana.
Menurut Singarimbun (1980: 52 - 58), salah satunya karena mereka telah memiliki persepsi tersendiri terhadap G. Merapi.
Sementara itu Handoyo Adi Pranowo DS dalam Manusia dan Hutan (1985) mengungkapkan, kegagalan program transmigrasi antara lain karena persepsi negatif bahwa lokasi yang baru tidak sesuai dengan kondisi yang dijanjikan.
Atau lahan garapan tidak sesubur tanah asal, di samping daerah baru belum tentu dapat menjamin ketenteraman.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR