Advertorial
Intisari-Online.com – Gunung Merapi mbledhos (meletus), itu barang lumrah.
Tapi bencana dengan korban puluhan jiwa akibat amukannya pada Selasa Kliwon 22 November 1994 seperti hendak merobek kesadaran manusia untuk berpikir realistis.
Betapapun "saktinya", mitos yang selama ini kuat diyakini penduduk di lerengnya tak mampu membendung dahsyatnya kekuatan fenomena alam.
Kendati begitu, sebuah mitos, dongeng, atau legenda kadang tidak serta merta harus dipandang sebelah mata begitu saja.
(Baca juga: Kisah Kerajaan Mataram: Kalau Bapak dan Anak Jatuh Cinta Pada Wanita yang Sama)
Hari itu langit cerah. Supiyem (39) seperti biasa berangkat ke hutan mencari rumput untuk sapi-sapinya.
Ketika sedang asyik menyabiti rumput, tiba-tiba langit mendung. Keranjang belum penuh terisi rumput ketika langit di atasnya berubah gelap.
Gumpalan-gumpalan awan coklat kehitaman bergulung-gulung berarak ke timur terbawa angin. Namun awan gelap itu mendadak balik kanan terbang ke barat terdorong angin dari timur.
Ketika sadar apa yang terjadi, penduduk, Dusun Kinahrejo itu pun ambil langkah seribu pergi meninggalkan tempat itu dan keranjang rumputnya.
"Begitu saya sadar kalau itu wedhus gembel, saya langsung lari. Setiba di rumah saya tidak bisa ngomong apa-apa. Badan saya lemes ..." kata Supiyem di tengah kerumunan pengungsi lain di barak pengungsian, mengisahkan kembali peristiwa yang konon sering dialami penduduk sebelumnya.
Rupanya, hampir bersamaan dengan peristiwa yang dialaminya, di tempat lain terjadi musibah.
Dusun Turgo yang terletak di sebelah barat Dusun Kinahrejo, tempat tinggal Supiyem, dilanda awan panas alias glowing cloud atau beken dengan istilah lokal wedhus gembel.
Puluhan penduduk tewas, hilang, dan terluka parah. Rumah-rumah roboh, pohon-pohon meranggas, sementara lalat-lalat beterbangan menari-nari di atas bangkai ternak-ternak yang mati.
(Baca juga: Kisah Raja Mataram yang Gemar Menghukum Musuhnya dengan Tangan Sendiri)
Nganeh-anehi
Penduduk Dusun Turgo, serta beberapa dusun lain yang masuk wilayah Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta, tersentak oleh peristiwa itu.
Selama ini sebagian masyarakat di lereng selatan itu percaya, mereka akan selamat dari ancaman meletusnya G. Merapi, meski menghuni areal yang menurut Kantor Seksi Penyelidikan Gunung Merapi merupakan daerah terlarang.
Konon, selama G. Turgo di belakang dusun-dusun itu masih berdiri, mereka percaya bakal aman-aman saja.
Lelehan lava pijar mustahil menerjang kawasan itu. G. Turgo yang hanya beberapa kilometer sebelah barat daya puncak Merapi itu mereka yakini sebagai benteng terhadap ancaman Merapi.
Posisi geografis yang dianggap aman ini masih diperkuat lagi dengan dongeng maupun mitos yang berkembang turun-temurundan kuat diyakini kebenarannya.
Menurut dongeng itu, G. Turgo (1.205 m dpl) dianggap lebih tua dari Merapi. la diyakini sebagai "biyung bibi" (tante) yang mengasuh Merapi sejak kecil.
"Mana mungkin kotoran (lava - Red.) sang kemenakan melangkahi bibinya sendiri. Itu kualat ... akan kualat dan terkutuk," kata Arjo Sutrisno (74).
"Nganeh-anehi sanget (sangat aneh) ..." ujar F.X. Suwadji, Kepala Dusun Turgo, di barak pengungsian Purwobinangun, Pakem, Slerhan, Yogyakarta.
Dalam sejarahnya, katanya, baru kali ini warganya tertimpa bencana. Sepanjang pengetahuannya, lava pijar dan wedhus gembel belum pernah mengarah ke dusunnya.
"Selama ini selalu ke barat," tambahnya.
"Biasanya, kalau Eyang Merapi itu 'kencing' atau 'buang hajat', kami pasti diberi tahu dulu," ujar Warto Utomo' (70), warga Dusun Turgo, yang bersama 4 anak dan 12 cucunya ikut mengungsi di barak Purwobinangun.
Kini, "Eyang Merapi telah berani melangkahi biyung bibi-nya sendiri. Apakah ini semacam peringatan buat kami untuk berlaku kebajikan?" kata si kakek.
Mitos induk
Alam pikiran tradisional masyarakat sekitar lereng Merapi memang sarat dengan mitos, dongeng, atau legenda yang beraneka nuansa dan versi.
Semua itu konon berkembang dan bersumber dari sebuah mitos induk Empu Rama dan Empu Permadi.
Alkisah, ketika diciptakan oleh para dewa, Pulau Jawa dalam keadaan tidak seimbang.
Oleng ke barat karena beban berat Gunung Jamurdipo. Guna menyeimbangkan keadaan, Dewa Krincingwesi berniat memindahkan gunung tersebut ke pusat pulau.
Tapi niat itu teralang oleh kegiatan dua orang empu bersaudara, Empu Rama dan Empu Permadi, yang sedang membuat keris pusaka di tengah-tengah pulau.
Para dewa meminta agar kesibukan membuat keris itu digeser, karena di tempat itu akan diletakkan Gunung Jamurdipo.
Kedua empu ngotot menolak. Alasannya, keris pusaka Pulau Jawa itu hampir selesai dibuat.
Kontan Dewa Krincingwesi naik darah. Di angkatlah pucuk Gunung Jamurdipo lalu dilemparkan tepat ke lokasi kedua empu tadi.
Empu Rama dan Empu Permadi pun terkubur mati.
Untuk memperingati peristiwa itu, patahan pucuk Gunung Jamurdipo yang terlempar itu diberilah nama Gunung Merapi. Artinya, tempat perapian kedua empu.
Lantas Gunung Merapi diyakini sebagai keraton makhluk halus dengan rajanya roh Empu Rama dan Empu Permadi.
Roh keduanya oleh masyarakat setempat disebut Eyang Merapi. Dari mitos induk inilah muncul berbagai varian dan tafsiran baru oleh masyarakat lokal pada setiap zamannya.
Varian mitos perihal Gunung Merapi ini barangkali puluhan jumlahnya.
Sebab masyarakat di hampir setiap sudut lerengnya memiliki mitosnya sendiri sebagai bagian dari sistem keyakinannya entah dalam bentuk persepsi alam murni ataupun alam adikodrati atas gunung itu.
Kandungan salah satu mitos itu antara lain, bahwa korban letusan memang terpilih untuk dijadikan abdi dalem Keraton Merapi.
Atau sebaliknya, akibat keserakahannya sendiri semasa hidupnya.
Dalam mitos itu pula sebagian masyarakat lereng selatan Merapi percaya, jika mereka berbuat kebajikan, makhluk halus penjaga gunung akan melindungi dari segala bencana.
Perlindungan itu biasanya berupa pemberitahuan terlebih dulu sebelum gunung meletus hingga bisa menyelamatkan diri.
Lewat isyarat atau wangsit yang didapat dari mimpi: bisa berujud orang tua berjubah atau berupa gejala alam seperti suara bergemuruh, tanah bergetar, atau turunnya hewan-hewan liar.
Mengencingi kaki sendiri
Toh Dusun Turgo yang dibanggakan penduduk sebagai daerah yang disegani makhluk halus penjaga Merapi, kini luluh lantak terkena sapuan awan panas.
Tak ada isyarat atau wangsit lewat mimpi, tak ada tanda apa-apa, Eyang Merapi tiba-tiba "berdahak" menyebabkan jatuhnya puluhan korban.
Marijan, warga Kinahrejo yang ditunjuk sebagai juru kunci Gunung Merapi sejak 1984, kali ini pasrah menghadapi peristiwa yang mengejutkan itu!
"Musibah kali ini sebagai peristiwa di luar jangkauan kemampuan manusia," katanya ketika ditemui di barak pengungsian.
Barangkali suatu kebetulan, Sultan Hamengku Buwono X pun menyatakan hal senada dalam menanggapi musibah ini.
Akan halnya Dusun Kinahrejo sendiri, beberapa kilometer ke arah timur Dusun Turgo, sepanjang sejarahnya konon selalu terhindar dari ancaman lelehan lava pijar dan awan panas.
Dusun itu dipercaya sebagai pelatarah Keraton Merapi.
"Eyang Merapi tidak bakal tega membinasakan penduduk di pelataran keratonnya sendiri, sepanjang penduduk taat melaksanakan kewajiban selamatan atau labuhan setahun sekali," tutur Marijan.
la mengibaratkan, orang kencing tak bakal membasahi kakinya sendiri. Maksudnya, muntahan lava panas dari mulut kepundan gunung tak bakal membakar kakinya sendiri, melainkan merambah dan merusak kawasan lain.
Marijan yang diberi gelar Mas Ngabehi Suraksaharga dipercaya oleh pihak Keraton Yogyakarta sebagai pelaksana upacara labuhan dan memelihara makam leluhur Mataram.
Bagi Kesultanan Yogyakarta, seperti diungkapkan Drs. Lucas Sasongko Triyoga penulis buku Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Sistem Kepercayaannya, Merapi bukan hanya gunung dalam arti sebenarnya, tetapi juga daerah keramat, makam para leluhur Mataram.
Tapi sekarang, bersama keluarganya serta ratusan penduduk Kinahrejo dan dusun-dusun lain di sekitamya, ia terpaksa ikut mengungsi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Poros Merapi-Keraton Yogya-Laut Kidul
Mitos tentang Gunung Merapi kali ini seperti sedang diuji. Dari kacamata penduduk lereng Merapi yang percaya, Eyang Merapi mblenjani janji.
Apakah Eyang Merapi melupakan janji yang dulu pernah diucapkan kepada Panembahan Senopati pendiri Mataram, seperti tersirat dalam mitos Endhog Sapu Jagad, yakni tidak akan menimpakan bencana kepada rakyat Mataram?
Mengapa pula Eyang Merapi tidak memberi isyarat terlebih dulu kepada penduduk agar bisa menyelamatkan diri?
Oleh karena itu pada malam Jumat Kliwon, 2 Desember 1994, Marijan bersama tetua warga Dusun Kinahrejo mengadakan upacara selamatan dan tirakatan.
Tujuannya supaya warga, khususnya masyarakat lereng Merapi, yang masih hidup diberi keselamatan.
Upacara selamatan itu juga dipakai oleh warga dusun Kinahrejo dan sekitamya agar tetap diperbolehkan bermukim di tanah kelahirannya.
Persepsi Gunung Merapi sebagai keraton makhluk halus tak bisa dilepaskan dari mitos Endhog Sapu Jagad.
Di sana tersirat hubungan antara Keraton Mataram, Keraton Laut Kidul, dan Keraton Merapi.
Ketiga keraton itu, menurut M.M. Sukarto K. Atmodjo, memiliki hubungan mistis dan adikodrati, yang menjamin ketenteraman bagi keberlangsungan raja dan kerajaan beserta seluruh rakyatnya.
"Gunung itu lambang lelaki, laut simbol perempuan. Persatuan keduanya mutlak mirip konsep lingga - yoni, yakni sangkan paraning dumadi," ujar Sukarto yang pakar sejarah Jawa kuno.
Kalau Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasa lautan (di selatan), Sapu Jagad adalah penguasa gunung (di utara), maka Panembahan Senopati sebagai penguasa di dataran (Kerajaan Mataram) merupakan simpul penghubung keharmonisan atas keduanya.
Di samping itu kekuatan Mataram tergantung pada dua itu. Itu sebabnya Keraton Yogyakarta setiap tahun menyelenggarakan upacara labuhan.
Hubungan kekeluargaan antara ketiga keraton itu antara lain tercermin pada kepercayaan masyarakat di sepanjang Kali Opak.
Kedua sungai yang bermata air di Gunung Merapi ini dipercaya sebagai jalan utama kunjungan kekeluargaan antara penghuni Laut Kidul dan Gunung Merapi.
Lampor yang dibarengi suara gemerincing di malam hari, diyakini sebagai barisan makhluk halus berkereta kuda pimpinan Kanjeng Ratu Kidul yang hendak kembali pulang dari kunjungannya ke Merapi, menyusuri Kali Opak.
Masalah pasca letusan
Salah satu hal yang merisaukan para pengungsi ialah santernya kabar tentang pemindahan atau transmigrasi penduduk yang tinggal di kawasan yang dinyatakan sebagai restricted area (daerah tertutup).
Seperti sudah diketahui, sebagian besar penduduk yang semula tinggal di daerah terlarang itu enggan untuk dipindahkan ke daerah aman, apalagi ditrasmigrasikan ke luar pulau.
"Hidup kami sudah cukup senang, tak kekurangan apa pun. Kenapa harus ditransmigrasikan? Apa kami ini dianggap miskin?" tutur Mangunharjo, penduduk Dusun Ngrangkah, Cangkringan, Sleman, yang sehari-hari berjualan sayuran.
Hasil bumi berupa sayur-sayuran ditambah penghasilan lain dari sapi perah, menurut Wonokaryo penduduk Dusun Pelem satu kawasan dengan Kinahrejo, sudah lebih dari cukup.
"Tapi kalau itu sudah jadi keputusan pemerintah yang tidak bisa ditawar, ya bagaimana lagi. Kalau bisa, kami dipindahkan ke daerah yang dekat-dekat sini saja," katanya di barak pengungsian Cangkringan.
Hal senada juga diungkapkan warga Dusun Turgo dan sekitarnya yang merupakan pusat bencana letusan Merapi kali ini.
Penduduk salah satu daerah penghasil salak pondoh yang terkenal legit itu sebagian besar, terutama yang tua-tua, enggan meninggalkan dusunnya.
Meskipun seorang pengusaha besar dari Jakarta menawarkan pekerjaan di perkebunan kelapa sawit dan coklat di Bengkulu.
"Kami lebih senang tinggal di sini. Biarlah yang muda-muda itu transmigrasi. Kami ini sudah tua, mau apa lagi?" kata Wartoutomo (54), warga RT 06, Dusun Turgo.
Lantas bagaimana kalau wedhus gembel suatu saat menyerang?
"Hidup dan mati itu sudah digariskan, dan bencana itu tidak hanya ada di Turgo. Di mana-mana bisa terjadi kalau Tuhan menghendaki," kata Sugeng (43), penduduk Dusun Tritis, tetangga Dusun Turgo.
Usaha memindahkan penduduk di lereng-lereng terlarang ini bukan barang baru. Paling tidak sejak tahun 1960-an, program pemindahan penduduk sudah dipromosikan.
Namun, belum bisa dibilang berhasil karena nyatanya kawasan terlarang itu masih saja dihuni.
Beberapa peneliti yang pernah meneliti masyarakat lereng Merapi hampir seluruhnya berpendapat, program transmigrasi sukar diterima. Pasalnya sangat sederhana.
Menurut Singarimbun (1980: 52 - 58), salah satunya karena mereka telah memiliki persepsi tersendiri terhadap G. Merapi.
Sementara itu Handoyo Adi Pranowo DS dalam Manusia dan Hutan (1985) mengungkapkan, kegagalan program transmigrasi antara lain karena persepsi negatif bahwa lokasi yang baru tidak sesuai dengan kondisi yang dijanjikan.
Atau lahan garapan tidak sesubur tanah asal, di samping daerah baru belum tentu dapat menjamin ketenteraman.
Hasil evaluasi Kantor Seksi Penyelidikan Gunung Merapi, Direktorat Vulkanologi, merekomendasikan 11 dusun yang sedikitnya dihuni 3.000 warga dinyatakan tertutup, tidak boleh dihuni.
Enam dusun berada di selatan Gunung Turgo, dan 5 dusun lagi terletak di sisi timur Plawangan, termasuk Kinahrejo.
"Kesebelas dusun itu sangat dekat dengan puncak Merapi, sekitar 5 km, dan mudah dijangkau awan panas atau guguran kubah lava. Jadi ya harus dikosongkan, tidak boleh dihuni," jelas Dr. R. Sukhyar, Kasubdit Analisis Gunung Api (Bandung), yang ikut terjun menangani masalah ini.
"Saya tak bermaksud menolak transmigrasi yang diprogramkan pemerintah. Tapi masalahnya, kalau semua warga di sini dipindahkan secara bedol desa, lalu bagaimana dengan keberlangsungan tradisi labuhan ke Gunung Merapi," ujar R. Ng. Suraksaharga alias Marijan.
Bagi penduduk Kinahrejo, khususnya Marijan selaku pimpinan ritual upacara sekaligus penerjemah antara dunia gaib dan nyata, transmigrasi dirasakan sebagai beban psikologis.
"Kami punya tanggung jawab melestarikan upacara labuhan demi keselamatan rakyat," ujarnya. "Eyang Merapi bisa marah besar kalau kita melalaikan sesaji."
Penghormatan penduduk lereng Merapi terhadap gunung yang nampak berlebihan ini, menurut Sukarto K. Atmodjo, merupakan perkembangan dari konsep lama warisan pendahulu mereka.
Sejak zaman megalitik gunung itu dianggap suci dan dipuja-puja karena dipercaya sebagai tempat tinggal roh leluhur.
Suatu peringatan
Lepas dari itu, mitos dengan berbagai varian dan versinya, dengan pengurangan atau penambahan di sana-sini sejalan dengan perkembangan zaman, agaknya tak harus cepat-cepat dituduh sebagai sesuatu yang mengandung muatan mistik, gaib, atau takhayul.
"Mitos adalah bahasa simbol yang hanya dapat dijabarkan melalui pemahaman sesuai dengan waktu dan ruang di mana mitos itu lahir," ujar Manu, seorang pakar sastra Jawa yang juga abdi dalem Keraton Yogyakarta.
la mengambil contoh, tentang makhluk-makhluk halus penunggu Merapi ada yang menyimbolkannya berupa makhluk raksasa.
Kalau kita dalami, katanya, barangkali makhluk yang disimbolkan sebagai raksasa tak kasat mata itu adalah sumber kekuatan api atau magma yang ada dalam perut Merapi.
Agar kekuatan alam yang dahsyat itu tidak menghancurkan umat manusia, maka ia perlu dipuja.
Karena itu, ia pun mengingatkan untuk berhati-hati menjabarkan makna mitos sebelum menggali betul dari mana sumbernya.
Mitos, menurutnya, terkadang merupakan jembatan antara dunia nyata dan dunia yang tak kasat mata.
Seperti dirumuskan Edmund Leach dalam bukunya Culture and Communication, mitos merupakan jawaban dari penghayatan manusia ketika ilmu pengetahuan belum sanggup menjelaskan hal-hal yang kemudian dianggap supranatural.
Seperti halnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern, mitos bisa salah, sebaliknya bisa juga benar.
Akan tetapi bagaimanapun, segala kegiatan Merapi, entah itu letusan atau gugurnya kubah lava dengan wedhus gembel-nya yang panas mematikan, menjadi pepeling, semacam peringatan betapa kecil sesungguhnya makhluk bernama manusia di hadapan Sang Pencipta!
Amukan Laboratorium Alam
Di antara sekian banyak gunung aktif di Indonesia, barangkali hanya Merapi yang paling mendapat perlakuan khusus dan istimewa.
Gunung berketinggian 2.968 m itu setiap 2 - 7 tahun sekali meletus memuntahkan lava pijar yang menghasilkan awan panas dan masyhur disebut wedhus gembel.
Saking aktifnya sampai perlu ditangani oleh satu seksi tersendiri, yakni Seksi Penyelidikan Gunung Merapi (PGM), salah satu seksi dari Sub Direktorat Analisis Gunung Api yang berkedudukan di Bandung.
Aktivitas Merapi itu dipantau melalui dua sistem pernantauan, yakni pengamatan tetap dan terus-menerus serta pemantauan secara berkala.
Pengamatan secara terus-menerus dilakukan melalui pengamatan visual dan deteksi kegempaan di 5 pos pengamatan Plawangan, Ngepos, Babadan, Jrakah, dan Selo.
Pengamatan visual itu menyoroti antara lain keadaan cuaca, bentuk kubah guguran, guguran lava, tinggi dan warna asap serta suara letusan.
Pemantauan secara berkala dan terpadu mencakup pemantauan geologi, geokimia, geofisika, dan deformasi (perubahan bentuk) yang ditopang oleh laboratorium vulkanologi di Kantor Seksi PGM.
Sekali sebulan tim pemantauan terpadu berada di puncak Merapi mengobservasi soal morfologi kubah, longsoran, melakukan pengukuran rekahan dan temperatur serta perkembangan solfatara dan sistem pelapukan.
Melalui sistem pemantauan yang lengkap itu gerak-gerik Merapi bisa diketahui.
Apalagi sejak dipasangnya ROVS (Remote Operated Vision System) pada 1989, segala aktivitas kubah lava di puncak Merapi dapat diamati langsung dari Kantor Seksi PGM, di Jl. Cendana, Yogyakarta.
Tidak kurang enam stasiun seismograf dengan sistem telemetri ada di kawasan Merapi.
Segala fasilitas itu amat bermanfaat untuk kepentingan warning system (peringatan dini) terhadap bahaya Merapi.
Setiap hari kelima pos pengamatan yang ada selalu melaporkan hasil pengamatannya ke Kantor Seksi PGM yang lalu diteruskan ke Satkorlak PBA yang terdiri atas kantor-kantor departemen dan pemda-pemda setempat antara lain DIY, Sleman, dan Magelang.
"Kantor Seksi PGM hanya berhak merekomendasi situasi dan memberitakan secepatnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Sedangkan perintah pengungsian kepada penduduk ada di tangan kepala daerah setempat," ujar Dr. R. Sukhyar, Kasubdit Analisis Gunung Api, Direktorat Vulkanologi.
Ibarat laboratorium alam, Merapi menjadi semacam barometer bagi 130-an gunung aktif lainnya di Indonesia.
Bahkan berbagai peralatan canggih produk negara maju lebih dulu diujicobakan pada gunung ini sebelum dioperasikan.
Peralatan dan sistem pemantauan di Merapi sendiri serba lengkap dan cermat. Namun mengapa sampai terjadi bencana pada 22 November 1994 itu?
Menurut Dr. R. Sukhyar, penyebabnya adalah terlalu cepatnya peningkatan status Merapi sehingga mendahului sinyal yang disampaikan oleh Kantor Seksi PGM ke Satkorlak PBA (Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam) di kawasan Merapi.
"Letusan yang pada 22 November itu datangnya sekonyong-konyong di luar perkiraan dan kebiassan Merapi," ujamya.
Meningkatnya aktivitas Merapi pada saat itu bukan lagi dalam hitungan hari, melainkan jam bahkan menit.
Kalau pada pukul 10.00 WIB hari itu status gunung itu masih "Siaga Merapi", maka sejam kemudian meningkat menjadi "Siap Merapi", dan pada pukul 14.25 berubah menjadi "Awas Merapi".
Menurutnya, tanda-tanda peningkatan kegiatan Merapi sudah terekam, dan sejak 4 November mulai diinformasikan oleh Kantor Seksi PGM ke berbagai pihak yang berkepentingan.
"Tapi hari 'H' letusan atau tepatnya gugurnya kubah lava itu sukar ditafsir," jelas Dr. R. Sukhyar.
Namun petaka Merapi itu terjadi terutama bukan karena letusan itu sukar ditafsir kapan terjadinya, tetapi lebih karena masih dihuninya daerah "terlarang".
"Kita tidak cukup hanya mengandalkan hasil prediksi. Dalam hal ini perlu diimbangi kesiapan dan kesadaran masyarakat. Ilmu pengetahuan betapapun hebatnya tentu punya keterbatasan," ujarnya.
Selama ini Merapi selalu memuntahkan cairan lava panasnya ke arah barat daya tanpa menelan manusia karena kawasan-kawasan yang dinyatakan terlarang pada lereng sisi itu memang tidak dihuni manusia.
Sabuk gunung dan Laut Kidul
Seperti dituturkan Dr. Sukarto K. Atmodjo, epigraf dan pakar sejarah Jawa kuno dari UGM, Gunung Merapi dan Laut Kidul (Samudera Indonesia) memiliki hubungan mistis dalam mitologinya.
Tapi di luar itu sebenarnya Merapi dan Samudera Indonesia punya kaitan sangat erat dari kacamata geologi.
Apakah kedua fakta ini bersumber dari satu fenomena yang sama atau hanya kebetulan, tidak mudah dijawab.
Yang terang, hubungan antara Merapi - yang menjulang di perbatasan Propinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah – dan Samudera Indonesia ini bisa dijelaskan secara geologis.
Menurut Bambang Widjaja H., seorang geolog dari Jurusan Vulkanologi, Fak. Teknik Geologi, UGM, hubungan itu bisa dijelaskan dengan teori tektonik lempeng.
Kerak bumi yang menyusun dunia ini tersusun dari 12 lempeng besar dan lempeng-lempeng kecil, dengan ketebalan yang bervariasi.
Lempeng-lempeng kerak bumi itu antara lain Lempeng Pasifik, Lempeng Filipina, Lempeng Eurasia (Eropa-Asia), dan Lempeng Samudera Hindia.
Lempeng-lempeng itu saling bergerak relatif satu terhadap yang lain dengan kecepatan 1 - 13 cm per tahun.
Begitupun Lempeng Samudera Hindia, yang merupakan lempeng atau kerak samudera, bergerak secara relatif ke utara terhadap Lempeng Eurasia yang merupakan kerak benua, dengan kecepatan rata-rata 2 cm per tahun.
"Karena densitas atau kerapatan massanya lebih tinggi dari kerak benua, maka kerak Samudera Hindia itu menyusup ke bawah kerak benua Eurasia," kata Bambang Widjaja H.
Di daerah subduction (penyusupan atau penunjaman) antara lempeng Samudera Hindia (Indonesia) dan Lempeng Eurasia itulah terbentuk ring of fire, sabuk atau jajaran gunung api, yang di Indonesia membujur di sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Nusa Tenggara, sampai Laut Banda.
Pulau-pulau ini merupakan bagian dari Lempeng Eurasia. Sedangkan Gunung Merapi merupakan salah satu dari jajaran gunung api itu.
Meskipun nampaknya kecepatan 2 cm per tahun itu lambat untuk ukuran manusia, tumbukan antara massa kerak samudera dan kerak benua itu menimbulkan akibat yang dahsyat.
Selain secara insidental menghasilkan aktivitas kegempaan, gesekan kedua massa raksasa itu menimbulkan panas hingga melelehkan material kerak samudera maupun kerak benua di daerah penyusupan itu.
"Lelehan material itu berupa larutan silikat atau yang kemudian kita kenal sebagai magma," jelas Bambang.
Sumber atau dapur magma Gunung Merapi itu sendiri terletak kira-kira pada kedalaman 60 - 100 km.
Keluarnya magma ke permukaan bumi akibat tekanan yang tinggi itu lalu dinamai aktivitas vulkanisme atau kegunungapian.
Itulah kira-kira kisah sederhana munculnya sabuk gunung api - di mana Gunung Merapi termasuk di dalamnya – pada jalur sepanjang patahan Pulau Sumatera sampai Laut Banda.
Jangan-jangan legenda yang menghubungkan Gunung Merapi dan Laut Kidul itu bersumber dari gejala alam seperti ini?
(Ditulis oleh B. Soelist/Al. Heru Kustara. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Januari 1995)
(Baca juga: Gunung Agung, Potongan Gunung Mahameru di India yang Jatuh di Tanah Bali saat Diangkat oleh Para Dewa)