Intisari-Online.com – Gunung Merapi mbledhos (meletus), itu barang lumrah.
Tapi bencana dengan korban puluhan jiwa akibat amukannya pada Selasa Kliwon 22 November 1994 seperti hendak merobek kesadaran manusia untuk berpikir realistis.
Betapapun "saktinya", mitos yang selama ini kuat diyakini penduduk di lerengnya tak mampu membendung dahsyatnya kekuatan fenomena alam.
Kendati begitu, sebuah mitos, dongeng, atau legenda kadang tidak serta merta harus dipandang sebelah mata begitu saja.
(Baca juga: Kisah Kerajaan Mataram: Kalau Bapak dan Anak Jatuh Cinta Pada Wanita yang Sama)
Hari itu langit cerah. Supiyem (39) seperti biasa berangkat ke hutan mencari rumput untuk sapi-sapinya.
Ketika sedang asyik menyabiti rumput, tiba-tiba langit mendung. Keranjang belum penuh terisi rumput ketika langit di atasnya berubah gelap.
Gumpalan-gumpalan awan coklat kehitaman bergulung-gulung berarak ke timur terbawa angin. Namun awan gelap itu mendadak balik kanan terbang ke barat terdorong angin dari timur.
Ketika sadar apa yang terjadi, penduduk, Dusun Kinahrejo itu pun ambil langkah seribu pergi meninggalkan tempat itu dan keranjang rumputnya.
"Begitu saya sadar kalau itu wedhus gembel, saya langsung lari. Setiba di rumah saya tidak bisa ngomong apa-apa. Badan saya lemes ..." kata Supiyem di tengah kerumunan pengungsi lain di barak pengungsian, mengisahkan kembali peristiwa yang konon sering dialami penduduk sebelumnya.
Rupanya, hampir bersamaan dengan peristiwa yang dialaminya, di tempat lain terjadi musibah.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR