"Nganeh-anehi sanget (sangat aneh) ..." ujar F.X. Suwadji, Kepala Dusun Turgo, di barak pengungsian Purwobinangun, Pakem, Slerhan, Yogyakarta.
Dalam sejarahnya, katanya, baru kali ini warganya tertimpa bencana. Sepanjang pengetahuannya, lava pijar dan wedhus gembel belum pernah mengarah ke dusunnya.
"Selama ini selalu ke barat," tambahnya.
"Biasanya, kalau Eyang Merapi itu 'kencing' atau 'buang hajat', kami pasti diberi tahu dulu," ujar Warto Utomo' (70), warga Dusun Turgo, yang bersama 4 anak dan 12 cucunya ikut mengungsi di barak Purwobinangun.
Kini, "Eyang Merapi telah berani melangkahi biyung bibi-nya sendiri. Apakah ini semacam peringatan buat kami untuk berlaku kebajikan?" kata si kakek.
Mitos induk
Alam pikiran tradisional masyarakat sekitar lereng Merapi memang sarat dengan mitos, dongeng, atau legenda yang beraneka nuansa dan versi.
Semua itu konon berkembang dan bersumber dari sebuah mitos induk Empu Rama dan Empu Permadi.
Alkisah, ketika diciptakan oleh para dewa, Pulau Jawa dalam keadaan tidak seimbang.
Oleng ke barat karena beban berat Gunung Jamurdipo. Guna menyeimbangkan keadaan, Dewa Krincingwesi berniat memindahkan gunung tersebut ke pusat pulau.
Tapi niat itu teralang oleh kegiatan dua orang empu bersaudara, Empu Rama dan Empu Permadi, yang sedang membuat keris pusaka di tengah-tengah pulau.
Para dewa meminta agar kesibukan membuat keris itu digeser, karena di tempat itu akan diletakkan Gunung Jamurdipo.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR