Intisari - Online.com - Industri minyak dan gas menjadi penopang utama berlangsungnya ekonomi dan hajat hidup rakyat Indonesia.
Lonjakan harga minyak goreng tengah terjadi di Indonesia dalam empat bulan terakhir.
Perlu ditanyakan juga mengapa hal ini terjadi mengingat perkebunan kelapa sawit terbesar ada di Indonesia.
Seharusnya Indonesia bisa mengatur harga minyak goreng yang didapat dari hasil perkebunan kelapa sawit.
Namun ternyata skemanya tidak sesederhana itu.
Hal ini terkait dengan meningkatnya harga CPO global.
CPO adalah minyak sawit mentah, dan saat ini penyesuaian harga CPO menyebabkan permintaan naik walaupun suplainya tidak mencukupi.
Produksi minyak kelapa sawit Indonesia tercatat mencapai 43,5 juta ton, dan pertumbuhannya mencapai 3,61% per tahunnya.
LPG Impor
Masalah minyak goreng memang belum sepenuhnya selesai, tapi kini Indonesia akan menghadapi masalah baru dalam harga LPG.
Hal ini menyoal kecanduan Indonesia terhadap impor Liquified Petroleum Gas (LPG) selama 10 tahun terakhir.
Tahun 2020 lalu tercatat porsi impor LPG mencapai 80% dari total kebutuhan LPG nasional.
Miris, mengingat Indonesia memiliki cadangan gas alam yang besar yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai pengganti LPG.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan jumlah cadangan gas alam Indonesia mencapai 42,93 triliun kaki kubik (TCF) sampai 31 Desember 2021 lalu.
Jika diasumsikan produksi gas sebesar 6.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), maka cadangan gas ini masih cukup untuk kira-kira 19,6 tahun ke depan.
Jumlah cadangan gas ini masih bisa semakin meningkat apalagi jika eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) terus menerus digalakkan.
Faktanya, Indonesia memiliki 128 cekungan hidrokarbon (basin), dan sampai saat ini hanya ada 20 cekungan yang sudah diproduksi, 27 lainnya sudah dibor dan ditemukan potensi cadangan.
Sebanyak 12 cekungan sudah dibor dan tidak ditemukan cadangan.
Sisanya ada 69 cekungan yang belum dieksplorasi sama sekali.
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto menyebut, pihaknya optimistis potensi migas di Indonesia masih cukup besar jika cekungan hidrokarbon itu bisa terus dieksplorasi dan dieksploitasi.
Sehingga jumlah cadangan minyak dan gas di Indonesia akan terus meningkat.
Latahnya Jokowi ubah proyek Masela
Salah satu penyebab lesunya industri migas di Indonesia adalah aturan pemerintahan Jokowi membangun fasilitas proses pengolahan onshore (tepi pantai) di ladang gas Masela.
Ladang gas Masela adalah sumber daya gas terbesar di Asia Tenggara, dengan simpanan sebesar 18,5 triliun kaki kubik gas dan 225 juta barel kondensat.
Awalnya Masela diincar oleh Royal Dutch Shell, tapi akhirnya di tahun 2019 lalu Shell mengumumkan untuk menarik diri dari proyek gas alam Masela.
Sampai sekarang tidak ada yang berminat untuk menggarap ladang gas Masela.
Sebelumnya ada dua gurita migas yang berminat dengan ladang gas Masela: Petroleum & Chemical Corporation dari China (Sinopec) serta raksasa Jepang Inpex Corporation.
Sinopec akhirnya mundur dan Inpex Corporation kebingungan mengolah sumber daya gas itu.
Tantangan Masela adalah pada lokasinya dan permintaan pemerintah Jokowi.
Simpanan sebanyak itu ada di Laut Arafura yang terpencil, sehingga gas harus dihargai sebesar USD 6 per Million British Thermal Units (MBTU) atau lebih agar layak secara ekonomi.
Analisis komparatif dari berbagai proyek LNG yang dibagikan di antara para eksekutif industri menunukkan Masela berada di ujung paling atas dari kurva biaya.
Titik impasnya sendiri mencapai USD 7,85 sampai USD 8 per MBTU.
Serta permintaan domestik akan terus meningkat untuk gas alam karena sifatnya yang lebih bersih dari batu bara dan kini mengisi 18% dari campuran energi.
Konsumsi gas di Indonesia masih terbilang tinggi meskipun di tengah pandemi Covid-19, dengan data tahun 2020 masih mencapai 2.8 juta ton, turun sedikit dibandingkan tahun 2019.
Pemerintah Indonesia di tengah tahun 2021 membatasi harga gas alam yang dijual ke pembangkit listrik yang dikelola PLN, sebesar USD 6 per MBTU.
Tujuannya adalah untuk mengurangi subsidi, dengan saat ini PLN membayar USD 8.4 per MBTU.
SKK Migas telah memberi tenggat waktu bagi Shell sampai akhir tahun 2021 guna menemukan pembeli.
Kini, Shell belum menemukan pembeli yang berniat mengerjakan eksplorasi ladang gas Masela.
Inpex kini harus mereview seluruh proyek karena menurut laporan Asia Times di pertengahan tahun 2021 lalu jika sampai akhir tahun 2021 belum ada investor baru, Inpex harus mereview seluruh proyek.
"Sangatlah penting memiliki mitra untuk berbagi biaya produksi, jika tidak mereka harus membayarnya sendiri."
Kesalahan pengolahan Masela adalah tubrukan kepentingan antara Shell dengan pemerintah Jokowi di tahun 2015.
Proyek onshore yang digalakkan Jokowi untuk dilaksanakan di ladang gas Masela bertujuan mengembangkan pembangunan di Indonesia Timur yang masih kurang.
Namun, Shell tidak menginginkan proyek onshore.
Mereka ingin mengembangkan teknologi pencairan gas alam mengapung (FLNG) yang pertama kali dikenalkan di lepas pantai kaya gas Australia, Shelf Barat Laut.
Dengan lokasi yang berdekatan Shell menganggap mencoba FLNG di Masela akan jauh lebih ekonomis dibandingkan harus memasang jalur pipa sepanjang 180 kilometer membentang di dalam laut sedalam 3000 meter.
Pemasangan itu yang direncanakan dilakukan ke fasilitas pemrosesan sebesar 9,5 juta ton di Pulau Tanimbar, Maluku.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini