Penulis
Intisari-online.com -Sudah lebih dari setahun setelah Royal Dutch Shell umumkan menarik diri dari proyek gas alam Masela di timur Indonesia.
Kini, Indonesia belum menemukan pembeli yang minat untuk saham 35% dalam kerjasama USD 19 miliar.
Melansir Asia Times, hal ini menjadi sebab mengapa ekonomi Indonesia makin lesu, di tengah pandemi Covid-19.
Awalnya ada dua raksasa migas yang minat dengan ladang gas Masela, Petroleum & Chemical Corporation dari China (Sinopec) dan raksasa Jepang, Inpex Corporation.
Namun Sinopec kini telah mundur, meninggalkan Jepang dalam kebingungan mengolah sumber daya gas terbesar di Asia Tenggara yang belum termanfaatkan.
Masela telah membuktikan sebagai sumber gas terbesar di Asia Tenggara.
Simpanannya sebanyak 18.5 triliun kaki kubik gas dan 225 juta barel kondensat sangatlah banyak.
Tantangannya adalah lokasinya.
Simpanan sebanyak itu berada di Laut Arafura yang terpencil, menyebabkan gas harus dihargai USD 6 per Million British Thermal Units (MBTU) atau lebih agar layak secara ekonomi.
Analisis komparatif dari berbagai proyek LNG yang dibagikan di antara para eksekutif industri menunukkan Masela berada di ujung paling atas dari kurva biaya.
Titik impasnya sendiri mencapai USD 7,85 sampai USD 8 per MBTU.
Serta permintaan domestik akan terus meningkat untuk gas alam karena sifatnya yang lebih bersih dari batu bara dan kini mengisi 18% dari campuran energi.
Konsumsi gas di Indonesia masih terbilang tinggi meskipun di tengah pandemi Covid-19, dengan data tahun lalu masih mencapai 2.8 juta ton, turun sedikit dibandingkan tahun 2019.
Pemerintah Indonesia baru-baru ini membatasi harga gas alam yang dijual ke pembangkit listrik yang dikelola PLN, sebesar USD 6 per MBTU.
Tujuannya adalah untuk mengurangi subsidi, dengan saat ini PLN membayar USD 8.4 per MBTU.
SKK Migas telah memberi tenggat waktu bagi Shell sampai akhir tahun guna menemukan pembeli.
Namun Shell sendiri kesulitan karena kondisi lesu di tengah pandemi Covid-19, mengingat dampak besar yang ditimbulkan pandemi terhadap ekonomi Indonesia dan investasi asing baru.
Salah satu sumber yang paham masalah saat ini menyebut, jika sampai akhir tahun belum menemukan investor baru, Inpex harus mereview seluruh proyek.
"Sangatlah penting memiliki mitra untuk berbagi biaya produksi, jika tidak mereka harus membayarnya sendiri."
Meskipun optimis, analis yakin Inpex akhirnya harus menunda proyek Masela ketika mereka telah mengamankan persetujuan penilaian dampak lingkungan (Amdal) dan bertemu komitmen lain di bawah kontraknya.
"Apa yang akan dilakukan pemerintah jika sampai keadaan itu," tanya salah satu sumber industri di Jakarta.
Untuk saat ini ia mengatakan, "Inpex harus terlihat berupaya mempertahankan nilai ladang gas tersebut.
"Mereka tidak dapat menguasai situasinya sedang memburuk, pemegang saham tidak akan bahagia."
Masela bukanlah sumber gas pertama Indonesia yang terancam membeku.
Di tepi Laut China Selatan yaitu Natuna, ada ladang gas Natuna D Alpha, yang ditinggalkan begitu saja.
Natuna D Alpha dulunya ditemukan oleh perusahaan Italia Eni di tahun 1973 dan diperkirakan menyimpan 46 juta kaki kubik gas yang dapat diperoleh kembali.
Meskipun raksasa migas AS ExxonMobil dan Petamina sudah membentuk tim gabungan guna mengembangkan blok Natuna di pertengahan tahun 1990-an, mereka tidak pernah berhasil mencapai dasar lautnya karena biaya tinggi memisahkan jumlah karbon dioksida yang sangat tinggi mencapai tingkat abnormal.
Shell telah menginginkan Masela sejak pemerintahan baru Jokowi bersikeras membangun fasilitas proses di darat tahun 2015 guna mengembangkan pembangunan di Indonesia timur yang masih kurang.
Padahal, Shell sudah menyiapkan teknologi pencairan gas alam mengapung (FLNG) yang pertama kali dikenalkan di lepas pantai kaya gas Australia, Shelf Barat Laut.
Menurut Shell, keputusan pengolahan di darat memberatkan karena isu teknis melibatkan pemasangan jalur pipa 180 kilometer membentang di dalam laut sedalam 3000 meter.
Pemasangan dilakukan ke fasilitas pemrosesan 9.5 juta ton yang direncanakan di Pulau Tanimbar, Maluku.