Salah Satunya Dipraktikkan Jokowi Saat Mantap Jadi Kader PDIP, Inilah Penyebab Lain Indonesia Turun Kelas Jadi Negara Menengah ke Bawah

Maymunah Nasution

Editor

Ilustrasi - Presiden Jokowi berbicara soal Ekonomi Indonesia.
Ilustrasi - Presiden Jokowi berbicara soal Ekonomi Indonesia.

Intisari-online.com -Ekonomi Indonesia lesu setelah Indonesia turun dari negara menengah ke atas menjadi negara menengah ke bawah.

Salah satu faktornya adalah pandemi Covid-19.

Namun tidak hanya itu, lesunya ekonomi Indonesia ini disinyalir disebabkan oleh beberapa hal lain salah satunya industrialisasi tidak konsisten.

Didin S Damanhuri, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebut, tahun 1970-an pendapatan per kapita Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan hampir sama.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Justru Cetak Banyak Orang Kaya Baru di Indonesia, Lantas Mengapa Indonesia Malah Turun Kelas Jadi Negara Menengah Ke Bawah?

Pendapatan ketiga negara ada di angka USD 70 Dolar per kapita.

Kini ekonomi Negeri Ginseng dan Negeri Jiran sudah tumbuh lebih jauh dari Indonesia.

Didin menyebut sejak 1970-an kedua negara konsisten menjalankan strategi industrialisasi.

"Indonesia hanya melakukan industrialisasi sejak awal 1980 sampai dengan 1990. Kesininya hilang perspektif strategi industrialisasi, tidak ada grand design, tidak ada blueprint, tidak ada peta jalan yang konkret," ujarnya dalam webinar Indef, Selasa (13/7/2021) dikutip dari Kompas.com.

Baca Juga: Kesenjangan Sosial Makin Tinggi, Jumlah Orang Kaya dan Sangat Kaya Indonesia Terus Menambah di Tengah Pandemi, Bagaimana dengan Warga Miskin?

Menurutnya, hal tersebut merupakan problem struktural dalam perekonomian Indonesia, sehingga memang diperlukan reformasi industrialisasi.

Tak adanya strategi industrialisasi karena pelaku bisnis di Indonesia banyak diisi oleh pemburu rente.

Sehingga mereka hanya fokus pada akumulasi kapital tanpa mendalami upaya inovasi teknologi dan entrepreneurship.

Kemudian Didik menyebut pelaku bisnis di Indonesia terlalu nyemplung ke politik.

Baca Juga: Hanya Turun Satu Tingkat, Indonesia Lagi-lagi Masuk Daftar Negara Paling Rumit untuk Berbisnis, Luhut Dijamin Kembali Sodorkan UU Kontroversial Ini

Hal itu terlihat dari kebanyakan partai politik diisi pebisnis.

"Setiap event politik itu dibiayai mereka (pebisnis), sehingga jadilah mereka oligarki bisnis, ekonomi, bahkan oligarki politik. Ini yang menghalangi Indonesia, sehingga sulit merebut teknologi dengan kapasitas inovasi dan entrepreneurship," ujarnya.

"Selalu event politik ini mengganggu neraca (keuangan) mereka, mengganggu keseriusan mereka untuk fokus industrialisasi, sehingga ya jalan di tempat. History of no change," lanjut Didin.

Tidak heran, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah tokoh politik dengan latar belakang pebisnis.

Baca Juga: Pantas Langsung 'Ngangguk' saat Digoda Jokowi, Ternyata Syarat Mutlak Elon Musk Jadi Miliarder Terkaya Sejagat Tersimpan di Perut Bumi Indonesia

Jokowi dulunya adalah pengusaha mebel di Solo, kemudian bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ia membangun langkah politiknya.

Didin menjelaskan hal itu menciptakan ketimpangan ekonomi, pebisnis yang punya posisi politik punya potensi agar semakin kaya raya.

Sedangkan pebisnis yang murni berbisnis saja lambat laut penghasilannya menurun.

Oligarki inilah yang justru menjebak Indonesia dalam middle income trap dan sulit membuat Indonesia keluar dari bayang-bayang status 'menengah'.

Baca Juga: Pengesahannya Sampai Kebut-kebutan Bak Film 'Fast and Furious', UU Cipta Kerja Jadi Regulasi Kontroversial Kelima Era Jokowi, 'Tangan Panjang Oligarki'

"Reformasi bersama-sama antara politik dan ekonomi harus dilakukan, itu yang akan bisa mengejar kembali ketertinggalan Indonesia dan menghindari middle income trap. Faktor kunci keberhasilan untuk keluar adalah industrialisasi," ungkap dia.

Artikel Terkait