Penulis
Intisari-online.com -Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi banyak sektor di Indonesia, termasuk ketimpangan ekonomi.
Ekonomi Indonesia sempat naik membuat Indonesia menjadi negara kelas menengah ke atas pada tahun 2019 lalu.
Namun akibat Covid-19, ekonomi indonesia kembali turun menjadi negara menengah ke bawah.
Pertumbuhan ekonomi salah satunya dipengaruhi oleh perputaran uang di masyarakat.
Akibat Covid-19 yang membuat warga tidak dapat beradaptasi secara biasa, perputaran uang melambat.
Sebenarnya, ekonomi masih dapat hidup lewat aktivitas minyak dan gas yang diproduksi Indonesia.
Namun hal tersebut juga turun akibat beberapa hal teknis yang tidak berubah sejak dulu ini,
Sektor migas menghadapi tekanan untuk ikut beradaptasi dengan situasi unik Indonesia saat ini.
Pemerintah masih menggenjot produksi dengan berusaha meminimalisasi penularan Covid-19 di ladang migas yang masih beroperasi.
Keadaan sedikit berbeda dengan ladang gas Indonesia yang tidak tersentuh.
Kenyataannya, separuh dari cadangan gas bumi Indonesia terpusat di 3 tempat: IDD 2,66 TCF (triliun kaki kubik), Blok Masela 16.73 TCF, dan Blok East Natuna 49,87 TCF.
Ketiganya menjadi kunci tulang punggung produksi nasional di masa depan.
Namun produksi di ketiga ladang gas raksasa itu ternyata molor sejak sebelum ada Covid-19.
Kini, dengan pandemi Covid-19 masih buruk di Indonesia, produksinya makin molor bahkan mengalami tantangan-tantangan baru.
Pemerintah menjadi satu kunci pendongkrak keberhasilan pengembangan gas di ketiga tempat ini, tapi sampai sekarang belum berhasil juga.
Berikut adalah kondisi masing-masing ladang gas raksasa tersebut.
Blok East Natuna
Ladang gas ini merupakan ladang gas terbesar di Indonesia dengan cadangan mencapai 49,87 TCF.
Namun sampai sekarang belum disentuh padahal sudah ditemukan sejak 1973 silam.
Mengutip Kontan.co.id, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo menyebut potensi di East Natuna sebenarnya mencapai 222 TCF.
East Natuna atau Natuna D-Alpha belum digarap sampai sekarang adalah karena kandungan karbon dioksida yang mencapai 71% menyebabkan biaya produksi membengkak.
"Kunci pengembangan sumber daya ada dua hal yakni staging development dan konversi kandungan CO2 menjadi petrokimia serta utilisasi untuk Enchanced Oil Recovery (EOR)," kata Hadi kepada Kontan.co.id, Jumat (20/11/2020).
Biasanya kandungan karbon dioksida maksimum pada blok migas hanyalah 35%.
East Natuna ditemukan oleh perusahaan migas Italia, dan kemudian direncanakan digarap bersama dengan Pertamina.
Selanjutnya Pertamina menggaet raksasa migas Amerika Serikat (AS) ExxonMobil, tapi tetap saja eksploitasi ladang gas belum berhasil.
Blok Masela
Blok yang terletak di Laut Arafura, Maluku, ini mengalami kendala saat investor yang berniat menggarapnya hanyalah Inpex, perusahan migas dari Jepang.
Royal Shell Dutch dan Sinepec China memutuskan mundur dalam mengerjakan blok migas besar ini.
Hal ini karena kadar karbon dioksida yang juga tinggi di blok Masela menyebabkan biaya produksi membengkak.
Blok IDD
Selanjutnya adalah blok Indonesia Deepwater Development (IDD) yang masih dipegang Chevron dan ENI.
Proyek ini bergantung pada harga komoditas dan kepastian kontrak jangka panjang dari buyer.
"Yang menjadi ketidakpastian yang tinggi dan resiko proyek ini adalah keekonomian. Setahu saya harga minyak harus di atas US$ 70 per barel agar proyek bisa berjalan," kata Praktisi Hulu Minyak dan Gas Bumi Tumbur Parlindungan kepada Kontan.co.id, Selasa (2/2/2021).