Advertorial
Intisari-Online.com – Indonesia berduka setelah kehilangan sosok Inspirator yang jenius, negarawan sejati, dan Presiden RI ke-3, BJ. Habibie.
Beliau dipanggil menghadap Empunya Kehidupan pada hari Rabu (11/9/2019).
Kisah cinta BJ Habibie dengan istrinya, Hasri Ainun Habibie, sempat diangkat ke layar lebar, dan menginspirasi banyak pasangan.
Berikut ini tulisan mengenai profil Hasri Ainun Habibie, yang pernah dimuat di Tabloid NOVA edisi No. 18/1 Juni 1988, dengan judul asli Hasri Ainun Habibie, “Cinta Bukan Asal Lihat Lalu Hati Berdebar!”
--
"Sayang ya, sudah lama-lama sekolah kok ilmunya tak dipakai." Kalimat ini sering didengar Ny. dr Hasri Ainun Habibie (50), istri Menristek Prof Dr Ing H. BJ Habibie.
Tapi ibu dokter berkulit hitam manis ini merasa, meski tak menjalani profesi dokternya, ia toh tetap memanfaatkan tenaga, pikiran dan pengetahuannya untuk masyarakat.
Kegiatan sosial, merupakan pilihannya untuk bisa berbuat sesuatu pada masyarakat dan memberi arti pada hidupnya.
"Di situ kepuasan batin saya terpenuhi," ujar pengelola Desa Taruna di Cibubur, Jabar.
Lahir di Semarang 11 Agustus 1937, Ainun merupakan anak ke empat dari delapan bersaudara keluarga Alm. H. Mohammad Besari. Setahun setelah lulus dari FKUI, tahun 1962, ia menikah dengan B.J.Habibie dan di karuniai dua putra, llham Akbar (25) dan Thareq Kemal (21).
Tanya :Jadi berarti kepuasan tak hanya bisa diperoleh lewat karir?
Jawab :Ya. Memang saat ini saya dihadapkan pada dua pilihan: sayang pada profesi dokter atau tugas-tugas lain yang saya anggap penting juga.
Dan profesi bukan pekerjaan yang bisa disambi. Saya pernah merasakan kehidupan sebagai dokter beberapa tahun.
Tapi saya juga tertarik pada kegiatan sosial. Sementara, ilmu kedokteran yang pernah didapat, tetap bisa digunakan.
Baca Juga: ‘Sudah Cukup Pakai Batik, Pakai Lurik Dong…’ Ucap Habibie untuk Melestarikan Kain Lurik
Misalnya saat meninjau lokasi transmigrasi, di mana saya bisa mengadakan penyuluhan KB atau kesehatan.
T: Jadi ilmu itu tak hilang sama sekali?
J: Tidak. Soalnya tetap saya manfaatkan untuk keluarga sendiri juga masyarakat. Memang, bertugas di rumah sakit adalah amal.
Tapi bisa memanfaatkan ilmu di tengah masyarakat, adalah amal juga. Jadi saya tak melihat bedanya.
T: Bisa memberi penjelasan tentang Desa Taruna?
Baca Juga: Ilona, Gadis Polandia yang Pernah Menjadi Teman Dekat BJ Habibie Muda Saat Kuliah di Jerman
J: Desa Taruna sebenarnya lokasi perumahan yang dihuni keluarga-keluarga yang terdiri dari seorang ibu yang tak menikah dan mengasuh sejumlah anak. Antara 8-12 anak.
Siapa saja bisa menjadi ibu, asal punya dedikasi tinggi dan memang mau mengabdi untuk kesejahteraan anak.
Soalnya anak-anak yang tinggal di situ adalah mereka yang terlantar atau ditelantarkan orang tuanya. Misalnya orang tuanya cerai atau tak mampu mengurus anak.
T: Cuma anak-anak dengan latar belakang seperti itu yang bisa tinggal di Desa Taruna ?
J: Tidak selalu. Bisa juga anak yatim atau yatim piatu yang dititipkan dengan perjanjian anak itu tak boleh diminta kembali begitu saja. Jadi tidak diadopsi.
Baca Juga: Mengenang BJ Habibie, Rudy Muda yang Rutin Menunaikan Ibadah Salat di Gereja
Ini semata-mata agar anak tumbuh wajar dalam rumah tangga yang utuh dan memberi ketenangan.
T: Gagasan siapa sebenarnya?
J: Sebetulnya berasal dari Eropa, oleh seorang dokter anak usai PD II. Saat itu situasi amat getir, banyak orang tua meninggal sementara anak-anak terlantar di jalanan.
Si dokter lalu berpikir, alangkah baiknya kalau anak-anak ini diberi rumah yang mendekati rumah sendiri, lengkap dengan seorang ibu.
Entah dari dulu sudah seperti itu, para ibu yang menetap di rumah-rumah itu tak menikah atau tak punya anak.
Baca Juga: Kisah Soeharto Ngambek kepada Habibie, Saat Sakit pun Habibie Tetap Tak Diperkenankan Menjenguk
T: Sebabnya?
J: Karena kalau punya anak, sedikit banyak cintanya akan berbeda saat mengasuh anak orang lain. Padahal perbedaan kasih sayang seperti itu, tak boleh ada.
T: Mengapa hanya ada ibu. Bukankah kehadiran ayah akan lebih menciptakan keluarga yang harmonis seperti yang Ibu maksud?
J: Ada. Meski hanya satu bapak untuk 11 rumah di Desa taruna itu.
Bukan maksud kami meniadakan fungsi bapak, tapi menurut kami, kehadiran ibu jauh lebih penting.
Baca Juga: 'Kamu Jelek! Sudah Hitam, Gendut Lagi!’ Ucap BJ Habibie Muda kepada Ainun Muda
Terutama dalam hal memberi kasih sayang dan kehangatan di sebuah rumah tangga.
T: Rumah macam itukah yang dikelola Ibu di sini?
J: Sebetulnya bukan saya sendiri. Ada Yayasan SOS Desa Taruna Indonesia.
Yang pertama, didirikan di Lembang sekitar 20 tahun lalu. Kini anak-anaknya sudah ada yang bergelar sarjana.
Yang kedua, yang di Cibubur itu. Didirikan April, empat tahun lalu dan merupakan proyek sosial Ria Pembangunan bagi panti asuhan.
Hanya saja pengelolaannya berbeda. Di Desa Taruna, benar-benar dibentuk sebuah keluarga normal, ada kasih sayang dari ibu dan saudara di samping belajar hidup bermasyarakat dalam keluarga.
T: Sebagai pengelola, berapa kali dalam seminggu Ibu berkunjung ke sana?
J: Yang pasti, kalau terlalu sering ke sana, pimpinan hariannya bisa senewen (tertawa). Sepertinya kok badan pengelola tak mempercayainya.
Tapi kita mencek secara rutin dan berusaha tak menimbulkan rasa sungkan.
T: Berarti Ibu masih punya waktu untuk santai?
Baca Juga: BJ Habibie: Saya Tidak Pernah Tertarik Menjadi Presiden, Itu Terjadi Secara Tidak Sengaja
J: Tentu! Mengunjungi Desa Taruna atau meninjau lokasi transmigrasi kan tidak dari pagi sampai malam dan tidak tiap hari.
Sebagai pendamping suami, saya toh harus menyediakan waktu untuknya. Selain kesibukan memimpin Dharma Wanita di kantor Bapak yang secara fungsional dipegang oleh saya..
T: Bagaimana dengan keluarga?
J: Tak ada masalah. Hubungan kami sangat dekat. Anak-anak selalu minta dicukurkan rambut pada saya. Begitu pula soal makanan.
Kalau mereka sedang liburan ke sini (kedua putranya sekolah di Jerman., red), mereka selalu minta saya masak. Masak apa saja. Dan itu tetap berlangsung sampai sekarang.
T: Menurut Ibu, apa arti anta dan keutuhan rumah tangga?
J: Semuanya didasari pada niat dan cinta kasih yang bisa kita berikan pada sesama di dalam rumah. Itu yang penting.
Misalnya ada dua insan, mulanya mungkin tak saling cinta. Tapi jika niatnya baik, cinta itu bisa tumbuh.
Cinta itu bukan asal lihat kok, memandang matanya lalu berdebar-debar. Itu belum tentu cinta.
Sedangkan keutuhan rumah tangga, bisa terbina dari kedamaian, saling mengerti dan saling berkorban untuk lainnya.
Saya umpamakan pot dengan tanahnya ditanam biji. Kalau tak rajin disiram, ia akan layu.
Sebetulnya harus ada kesadaran sendiri untuk membina kebahagiaan. Semua itu pinter-pinter si istri dan suami dalam membina keluarga. Ini nantinya akan menurun pada anak.
T: Ibu punya harapan-harapan?
J: Banyak.
T: Misalnya?
Baca Juga: BJ Habibie Dikenal Sebagai Pribadi yang Jarang Sakit Hingga Usia Senja Rupanya Ini Rahasianya
J: Sebagai ibu saya ingin anak-anak bahagia. Sebagai istri, saya ingin pengabdian suami tak sia-sia. Sebagai pribadi saya cukup bahagia (tertawa).
Tapi harapan paling besar, saya mau agar wanita, terutama ibu rumah tangga, tak pernah berhenti menyerap pengetahuan.
Karena hal ini akan merangsang dan mendorong perkembangan anak di masa datang.
T: Harapan sebagai calon nenek, ingin segera menimang cucu?
Baca Juga: BJ Habibie Meninggal Dunia: Ini Sumpah Maminya untuk Rudy Setelah Kepergian Sang Papi Tercinta
J: Ya. Siapa sih yang tak berharap dapat cucu, menimang cucunya sendiri?
Cucu orang lain saja ditimang, ha ha ha... Tapi terserah Tuhan saja.
T: Tentang hobi Ibu?
J: Saya senang jahit dan masak. Semua itu saya pelajari sendiri. Dulu, waktu masih di Jerman, saya menjahit sendiri pakaian Bapak dan anak-anak.
Baca Juga: Cerita Saudi, Petugas Makam yang Kerap Berjumpa Habibie saat Berziarah, Kini Ia Menggali Makamnya
Kesibukan seperti itu, justru mendekatkan hubungan keluarga.
T: Ibu suka olah raga?
J: Ya, renang dan bersepeda. Sama dengan Bapak. Kalau ada kesempatan, kegemaran ini tak pernah kami lewatkan... (Winne Windansari)
Baca Juga: Inilah Muhammad Pasha Nur Fauzan, Cucu BJ Habibie yang Juga Tekuni Bidang Dirgantara