Advertorial

BJ Habibie Meninggal Dunia: Ini Sumpah Maminya untuk Rudy Setelah Kepergian Sang Papi Tercinta

K. Tatik Wardayati
,
Mentari DP

Tim Redaksi

Jejak perjalanan hidupnya menjadi orang besar seolah sudah dipersiapkan oleh “dunia” sekitarnya. Ini kisah  masa muda BJ Habibie.
Jejak perjalanan hidupnya menjadi orang besar seolah sudah dipersiapkan oleh “dunia” sekitarnya. Ini kisah masa muda BJ Habibie.

Intisari-Online.com – Indonesia berduka kehilangan sosok luar biasa yang memajukan teknologi di negara tercinta ini.

BJ Habibie, Presiden RI ke-3, ini meninggalkan kita pada hari Rabu (11/9/2019) setelah beberapa waktu dirawat di RSPAD Gatot Subroto.

Jejak perjalanan hidupnya menjadi orang besar seolah sudah dipersiapkan oleh “dunia” sekitarnya.

Sang ayah membekalinya dengan filosofi “mata air”, sumpah ibu untuk memberi pendidikan setinggi mungkin, dan tentu saja kerja keras dan kesetiaannya pada cita-cita.

Baca Juga: Dikenal Sebagai Sosok yang Jenius, Rupanya Beginilah Didikan Orangtua BJ Habibie Sejak Kecil

Akhirnya, Indonesia memiliki Bacharuddin Jusuf Habibie seperti yang kita kenal sekarang ini.

Seorang ilmuwan unggul, perintis industri kedirgantaraan, presiden, dan negarawan sejati.

Tulisan berikut ini pernah dimuat di Majalah Intisari dalam rubrik Cukilan Buku, yang diambil dari buku RUDY, Kisah Masa Muda yang Visioner, dan dicukil oleh Djati Surendro.

--

Pada tahun 1948 keluarga Habibie pindah dari Parepare ke Makassar.

Di kota ini mereka menempati sebuah rumah di kompleks yang diperuntukkan bagi para pejabat Belanda, di Tweede Galesong Straat No. 2.

Namun mereka di situ tidak lama, karena selanjutnya pindah lagi ke Jalan Maricaya (Klapperlaan) yang tepat berseberangan dengan markas pasukan Brigade Mataram.

Di Sulawesi saat itu terjadi pemberontakan Andi Aziz, seorang mantan perwira KNIL yang menolak kembali ke pangkuan NKRI, dengan mempertahankan keberadaan Negara Indonesia Timur bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).

Keterbukaan mereka menyebabkan banyak anggota pasukan Brigade Mataram sering berkunjung ke rumah.

Yang paling akrab adalah Komandan Brigade Overste (Letnan kolonel) Soeharto.

Baca Juga: Mengenang BJ Habibie, Inilah Momen Menggetarkan Hati Ketika BJ Habibie Melepas Kepergian Ainun Dengan Penuh Cinta

Selain Soeharto, yang juga sering berkunjung adalah Kapten Subono Mantofani.

Perwira muda ini berhasil mencuri hati kakak sulung Rudy, yakni Titi Sri Sulaksmi, dan kemudian meminangnya.

Salah satu kegiatan rutin yang dilakukan sore hari di keluarga Habibie adalah salat berjamaah.

Papi memimpin, di belakangnya ada Rudy, serta kedua adiknya: Fanny dan Toto.

Sedangkan di barisan belakang ada Mami, serta Titi. Fanny sengaja diposisikan salat di depan Mami.

Jadi kalau dia nakal, Mami akan mencubit kakinya.

Sore itu, 3 September 1950, seperti biasa semuanya tengah bersiap menjalankan salat berjamaah.

Suasana salat berlangsung dengan khusyuk hingga sampai di sujud terakhir.

Namun ada yang berbeda kali ini. Papi terus bersujud dantidak kunjung bangun.

Dalam kepanikannya, Mami sempat menyuruh Titi mencari pertolongan.

Sambil menangis Titi berlari mencari dokter di markas Brigade Mataram.

Tak lama datanglah Letkol Soeharto didampingi Dokter Tek Irsan ke rumah.

Sayang, sebelum melakukan pertolongan, nyawa Papi sudah tidak bisa diselamatkan.

Serangan jantung yang datang mendadak telah merenggut Papi, membawanya jauh dari anak-anak dan istri yang saban hari bersandar padanya.

Baca Juga: BJ Habibie Temui Sang Kekasih Hati, Ainun Habibie, di Keabadiaan

Tubuh Rudy gemetar saat menyaksikan Letkol Soeharto mengatupkan kelopak mata Papi.

Air mata yang mengucur tak tertahan, dihapusnya dengan ujung baju.

Sempat terdengar Mami bersumpah di depan tubuh Papi. Mami yang saat itu tengah hamil besar memeluk cinta matinya.

Suaranya nyaring membelah ruangan, “Demi Allah, seluruh anak-anak akan aku sekolahkan setinggi-tingginya dengan biaya dari keringatku sendiri.”

Ternyata sebelum meninggal, Papi sempat berpesan agar Mami melanjutkan sekolah anak-anaknya hingga setinggi mungkin.

Terutama bagi Rudy yang dipandang sangat berbakat dan mewarisi kepintaran Papi.

Memenuhi amanat itu, Rudy pun disekolahkan di Concordante HBS di Bandung.

Soalnya, akibat pemberontakan Andi Aziz banyak orang Eropa, termasuk guru-guru sekolah internasional di Makassar pulang ke negaranya.

Akibatnya Concordante HBS, tempat Rudy bersekolah, terpaksa tutup.

Meski biayanya mahal, sekolah itu berkualitas terbaik.

Selain mendapat pelajaran bahasa Belanda, Prancis, Inggris, Jerman dari guru-guru berkualitas, mereka bahkan tak perlu lagi ikut ujian kalau mau melanjutkan studi ke Eropa.

Baca Juga: Habibie Meninggal Dunia: Habibie Muda, Penyendiri yang Tidak Pernah 'Ngluyur' dan 'Nganggur', Kecuali Kalau Tidur

Artikel Terkait