Advertorial

Filosofi ‘Mata Air’ dari Sang Papi untuk BJ Habibie: ‘Jadilah Mata Air yang Memberi Kebaikan Tanpa Pilih-pilih’

K. Tatik Wardayati
Mentari DP

Tim Redaksi

Seorang bocah usia TK asyik menggali dua lubang di tepi pantai. Lubang sebelah kiri diisi air supaya penuh. Namun yang terjadi, air juga memenuhi lubang sebelah kanan.
Seorang bocah usia TK asyik menggali dua lubang di tepi pantai. Lubang sebelah kiri diisi air supaya penuh. Namun yang terjadi, air juga memenuhi lubang sebelah kanan.

Intisari-Online.com – Indonesia berduka kehilangan sosok luar biasa yang memajukan teknologi di negara tercinta ini.

BJ Habibie, Presiden RI ke-3, ini meninggalkan kita pada hari Rabu (11/9/2019) setelah beberapa waktu dirawat di RSPAD Gatot Subroto.

Ditandai dengan perilakunya yang “tidak biasa” ketika dilahirkan, setiap jejak perjalanan hidupnya menjadi orang besar seolah sudah dipersiapkan oleh “dunia” sekitarnya.

Sang ayah membekalinya dengan filosofi “mata air”, sumpah ibu untuk memberi pendidikan setinggi mungkin, dan tentu saja kerja keras dan kesetiaannya pada cita-cita.

Baca Juga: BJ Habibie Meninggal Dunia: Ini Sumpah Maminya untuk Rudy Setelah Kepergian Sang Papi Tercinta

Akhirnya, Indonesia memiliki Bacharuddin Jusuf Habibie seperti yang kita kenal sekarang ini.

Seorang ilmuwan unggul, perintis industri kedirgantaraan, presiden, dan negarawan sejati.

Tulisan berikut ini pernah dimuat di Majalah Intisari dalam rubrik Cukilan Buku, yang diambil dari buku RUDY, Kisah Masa Muda yang Visioner, dan dicukil oleh Djati Surendro.

Sore itu suasana Pantai Lumpue, satu kilometer dari Parepare, Sulawesi, cerah.

Debur ombak ditingkah canda tawa bocah-bocah yang bermain pasir, memeriahkan suasana.

Seorang bocah usia TK asyik menggali dua lubang di tepi pantai. Lubang sebelah kiri diisi air supaya penuh. Namun yang terjadi, air juga memenuhi lubang sebelah kanan.

Penasaran, ia isi juga lubang sebelah kanan. Dia pikir lubang yang kiri akan semakin tinggi airnya.

Namun, lagi-lagi air di lubang kanan dan kiri menjadi sama isinya.

Dahi bocah ini mengerut, matanya semakin bulat. Wajahnya saat berpikir justru membuatnya makin imut.

Bocah itu bernama Bacharuddin Jusuf Habibie, akrab dipanggil Rudy.

Lahir di Parepare tanggal 25 Juni 1936 sebagai anak ke empat dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie, asal Gorontalo, dengan Raden Ayu Toeti Saptomarini dari Yogyakarta.

Baca Juga: Cerita Saudi, Petugas Makam yang Kerap Berjumpa Habibie saat Berziarah, Kini Ia Menggali Makamnya

Sejak kelahirannya Rudy memang sudah “tampil beda” daripada anak-anak lain.

Indo Melo dukun beranak yang membantunya lahir ke dunia, menjadi saksi semua mata tertuju pada bayi Rudy.

Tangisannya adalah tangisan bayi paling kencang saat itu, sehingga membuat semua orang khawatir kalau anak itu tersakiti sesuatu.

Jika Rudy sudah menangis, sangat sulit untuk meredakan tangisnya.

Tak heran, Mami yang sudah punya tiga anak sebelumnya merasa kewalahan. Apalagi bocah ini hanya tidur empat jam sehari.

Anehnya, bila mendengar suara Papinya sedang mengaji melantunkan ayat-ayat suci, perlahan tangisnya reda.

Mulai saat itu keluarga Habibie berupaya agar Rudy bisa diam meski Papi sedang bertugas.

Salah satu caranya, diperdengarkan musik klasik dari piringan hitam.

Terbukti cara ini amat membantu. Sepanjang musik klasik mengalun, Rudy tak pernah lagi menangis.

Ketika sudah mulai berbicara, tangisan itu berganti menjadi rentetan pertanyaan. Yang jadi “guru” menjawab semua pertanyaan itu adalah Papinya.

Baca Juga: Dikenal Sebagai Sosok yang Jenius, Rupanya Beginilah Didikan Orangtua BJ Habibie Sejak Kecil

Lantaran tak selalu bisa menemani putranya, Papi mengajari Rudy membaca buku agar bisa mencari jawaban sendiri melalui buku-buku.

Tak lupa disediakan pula kamus.

Pada usia 4 tahun Rudy sudah lancar membaca. Buku-buku kumpulan karya Leonardo Da Vinci dan cerita fiksi ilmiah Jules Verne adalah favoritnya.

Semua buku itu ditulis dalam bahasa Belanda.

Salah satu yang menarik hatinya adalah buku Around the World in Eighty Days (Jules Verne, terbitan tahun 1873).

Suatu hari Rudy diajak ayahnya berjalan-jalan menyusuri hutan dan tiba di sebuah mata air.

“Rud, coba kamu lihat sekeliling. Menurut kamu mengapa semua tanaman di sini bisa tumbuh subur?”

“Karena dekat air,” jawab Rudy polos. Dia teringat kalau sore hari Mami juga suka repot menyiram tanaman-tanaman di teras rumah.

“Benar, karena itu kamu harus jadi mata air."

"Kalau kamu baik, semua yang ada di sekelilingmu juga akan baik. Kalau kamu kotor semua yang ada di sekitarmu akan mati.”

Pelan-pelan Rudy mulai memahami maksud perkataan Papi.

“Kamu lihat, tanaman di sini, tidak cuma sejenis kan?” ujar Papi.

“Artinya, mata air memberi kebaikan tanpa pilih-pilih.”

Baca Juga: Sebelum Meninggal, BJ Habibie Ingin Bangun Batam Agar Bisa Saingi Singapura

Artikel Terkait