Advertorial
Intisari-Online.com – Indonesia berduka kehilangan sosok luar biasa yang memajukan teknologi di negara tercinta ini.
BJ Habibie, Presiden RI ke-3, ini meninggalkan kita pada hari Rabu (11/9) setelah beberapa waktu dirawat di RSPAD Gatot Subroto.
Ditandai dengan perilakunya yang “tidak biasa” ketika dilahirkan, setiap jejak perjalanan hidupnya menjadi orang besar seolah sudah dipersiapkan oleh “dunia” sekitarnya.
Sang ayah membekalinya dengan filosofi “mata air”, sumpah ibu untuk memberi pendidikan setinggi mungkin, dan tentu saja kerja keras dan kesetiaannya pada cita-cita.
Akhirnya, Indonesia memiliki Bacharuddin Jusuf Habibie seperti yang kita kenal sekarang ini. Seorang ilmuwan unggul, perintis industri kedirgantaraan, presiden, dan negarawan sejati.
Tulisan berikut ini pernah dimuat di Majalah Intisari dalam rubrik Cukilan Buku, yang diambil dari buku RUDY, Kisah Masa Muda yang Visioner, dan dicukil oleh Djati Surendro.
--
Rutinitas Rudy yang hanya berkisar di kampus, perpustakaan, dan belajar kelompok ternyata diamati oleh induk semangnya.
Baca Juga: BJ Habibie: Saya Tidak Pernah Tertarik Menjadi Presiden, Itu Terjadi Secara Tidak Sengaja
Kalaupun pergi menonton, pasti bersama kawan mahasiswanya. Mereka pun berpikir bahwa Rudy butuh sentuhan perempuan yang mau mengurusnya.
Mereka kemudian memperkenalkan anak gadis kawan keluarga yang baru saja pindah ke Aachen. Ilona, gadis Jerman keturunan Polandia.
Sepintas Ilona mirip Kim Novak bintang film Picnic yang populer pada zaman itu. Rambutnya pendek dan tubuhnya sedikit lebih tinggi dibandingkan Rudy.
Meski awalnya canggung, dalam waktu tak terlalu lama kedua insan ini sudah akrab dan sering nonton berdua.
Apalagi Ilona juga senang diajak berdiskusi dan menyukai sastrawan yang sama yakni Dostoyevsky dan Goethe.
Bersama Ilona, Rudy mempunyai kawan untuk menikmati dan mendalami kebudayaan Jerman dan bersenang-senang.
Sayangnya, kedekatan Rudy dengan Ilona tak disambut baik oleh kawan-kawan mahasiswa Indonesia.
Menyitir pernyataan Bung Karno, seorang mahasiswa senior memperingatkan Rudy, “Ingat kata Bung Karno. Kita itu di sini tidak untuk mencari noni-noni (wanita Eropa). Kamu kan, calon pemimpin. Masa pemimpin punya istri noni?”
Rudy diam saja. Bukannya dia mau menikahi Ilona, tapi dia memang tidak pernah membahas soal Indonesia dengan Ilona.
Meski tak suka dengan urusan politik, Rudy aktif dalam kegiatan organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Tahun 1957 ia terpilih menjadi ketua PPI Aachen lewat proses pemilihan yang sengit antara dirinya dengan mahasiswa yang lebih senior.
Banyak yang percaya karena secara pendidikan Rudy lebih tinggi dan berpengalaman.
Baca Juga: BJ Habibie Dikenal Sebagai Pribadi yang Jarang Sakit Hingga Usia Senja Rupanya Ini Rahasianya
Meski tak sedikit pula yang meragukan karena dia dianggap terlalu muda dan emosinya masih suka meledak-ledak.
Ketika suasana politik Tanah Air sedang memburuk, Rudy kebingungan untuk memutuskan penjurusan di S-2-nya.
Dia harus memilih Aerodinamika, Konstruksi Pesawat Terbang, Dinamika Gas, Aeroelastisitas, Struktur Pesawat, Propulsi, atau Mekanika Penerbangan.
Untuk kondisi Indonesia sekarang ini, mana bidang yang paling membutuhkan dirinya? Akhirnya ia memilih jurusan Konstruksi Pesawat Terbang.
Baca Juga: BJ Habibie Meninggal Dunia: Ini Sumpah Maminya untuk Rudy Setelah Kepergian Sang Papi Tercinta
Alasannya, pilihan itu bisa memicu obsesinya yang lebih besar lagi. Yakni, pembangunan industri kedirgantaraan Tanah Air.
Bersamaan dengan studi S-2-nya, sebagai ketua PPI Aachen Rudy diberi tugas menyelenggarakan Seminar Pembangunan yang akan diikuti oleh anggota PPI seluruh Eropa.
Bersama teman-temannya seperti Liem Keng Kie, Wardiman, Sjafaril, Supangkat, dan Sugianto, mereka menjadi komite tulang punggung kegiatan seminar.
Dubes RI untuk Jerman Barat waktu itu Zairin Zain menyediakan rumah dan kantornya di Konigswinter, kota kecil dekat Bonn, untuk digunakan sebagai sekretariat dan tempat rapat panitia.
Baca Juga: Cerita Saudi, Petugas Makam yang Kerap Berjumpa Habibie saat Berziarah, Kini Ia Menggali Makamnya
Menurut rencana seminar akan diadakan di PPI Barsbuttel, Hamburg.
Rudy bekerja siang malam. Tak jarang ia tertidur di bangku peron stasiun kereta api di Koln, setelah beberapa hari memimpin rapat di Konigsberg.
Seminar itu berlangsung dengan sukses namun kesehatan Rudy yang jadi korban karena dia juga harus mengerjakan Studien Arbeitten (tugas-tugas persiapan sarjana) dan Diplomprufung (ujian sarjana).
Dikira sudah meninggal
Baca Juga: Inilah Muhammad Pasha Nur Fauzan, Cucu BJ Habibie yang Juga Tekuni Bidang Dirgantara
Kesehatan Rudy memburuk. Hari demi hari ia didera sakit dan batuk yang berkepanjangan. Setelah dibawa ke RS Univesitas Bonn ternyata ia terkena TBC tulang.
Untuk menemukan sumber penyakitnya, dokter harus membelah betis kaki kiri Rudy.
Malangnya, luka itu mengalami infeksi dan bakterinya sampai ke jantung, sehingga ada selaput jantung yang membengkak.
Akibatnya paru-parunya tertekan sehingga mengganggu pernapasannya.
Baca Juga: Dikenal Sebagai Sosok yang Jenius, Rupanya Beginilah Didikan Orangtua BJ Habibie Sejak Kecil
Malam itu di rumah sakit, ingatan Rudy sudah kabur, antara sadar dan tidak sadar. Samar-samar terdengar doa-doa para pastor yang dipanggil pihak rumah sakit.
Lalu ia melihat cahaya putih, setelah itu semuanya gelap. Karena dikira sudah meninggal, Rudy dibawa ke kamar jenazah oleh para perawat.
Mereka membicarakan betapa malangnya anak Indonesia ini, meninggal sendirian jauh dari Tanah Airnya.
Namun di kamar jenazah tersebut Rudy kembali siuman, oleh karena itu dibawa kembali ke ruang inap kritis.
Mendengar putra tercintanya sakit, Mami memutuskan menjenguk Rudy. Namun karena ternyata Rudy sudah pulang kembali ke Aachen, prioritas Mami berubah.
Tanpa setahu Rudy, ia langsung menuju rumah Ilona diantar oleh Marzuki. Pembicaraan antara dua perempuan berlainan bangsa dan usia itu berlangsung cukup lama.
Setelah itu Mami menemui Rudy yang pada waktu itu sudah sembuh dan pulang ke indekosnya, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Rud, Mamimu ini akan jauh lebih tenang kalau kamu di Jerman ini ada yang mengurusi,” kata Mami kepada Rudy.
“Mami mau pindah ke sini? Wah, bisa gemuk lagi aku dimasakin Mami,” ujar Rudy terkekeh.
Mami menatap jengkel. “Nikah Rud, nikah. Hati itu kalau sudah berdua akan membuat hidup jadi lengkap. Ada tujuan. Ada arahan. Ada yang mengisi, ada yang mengimbangi.”
“Mam, tujuanku jelas. Aku mau buat pesawat di Indonesia.”
“Rud. Membuat pesawat itu cara, bukan tujuan. Memang masalah satu Indonesia bisa selesai dengan satu pesawat?”
Baca Juga: Begini Rencana Pemakaman BJ Habibie, Letak Makamnya Tepat di Samping Makam Ainun Habibie
“Ya tidak dong, Mam.”
“Ya itulah! Jadi apa tujuan hidupmu Rud? Keluarga itu yang akan menjagamu dengan visi besarmu. Sekarang itu di Indonesia, isi pemerintahannya itu, ya, orang-orang yang tujuannya cuma untuk dirinya sendiri. Keluarganya juga tak menjaga mereka. Malah ikut senang pada korupsi.”
Rudy diam saja.
“Apa kamu mau, nanti punya keluarga yang malah bikin hidupmu menyusahkan orang banyak?”
Baca Juga: Sebelum Meninggal, BJ Habibie Ingin Bangun Batam Agar Bisa Saingi Singapura
“Nanti juga ada Mam.”
“Mencari perempuan itu, yang bisa membuat dirimu diam dan berpikir. Otakmu sekali-sekali butuh ditaklukkan Rud!”
Skakmat. Rudy diam tak berkutik.
Selama ini dia tak mencari perempuan yang bisa menaklukannya.
Beberapa hari kemudian, Mami pulang ke Indonesia tanpa pernah menceritakan soal pertemuannya dengan Ilona hingga akhir hayatnya.
Yang jelas, sejak saat itu Ilona mulai menjauhi Rudy, yang kebingungan sendiri.