Find Us On Social Media :

Memang Culas dan Rajanya Peras Negara Tetangga, Bukan Timor Leste, Malah Negara Tetangga Indonesia Ini yang Bertahun-tahun Dijadikan Australia 'Pembuangan' Pengungsi yang Masuk Negara Mereka

By May N, Rabu, 6 Oktober 2021 | 13:56 WIB

Kamp penahanan imigran di Papua Nugini yang dibiayai oleh Australia

Intisari-Online.com - Australia akan menghentikan menahan pengungsi pencari suaka di Papua Nugini pada akhir Desember.

Hal ini dikatakan oleh dua negara pada hari Rabu (6/10/2021), dengan Canberra menutup satu dari dua pusat hukuman Pasifik.

Australia telah lama menjadi bulan-bulanan kritikan tajam PBB atas praktik ini.

Mengutip Reuters, di bawah kebijakan imigrasi Australia yang keras, para pengungsi dari negara lain yang mencari suaka ke Australia dengan mengendarai perahu menuju pelabuhan Australia sejak 2013 telah dikirim ke pusat penahanan di Pulau Manus di Papua Nugini dan Nauru, sebuah pulau di Pasifik Selatan.

Baca Juga: Terlunta-lunta dari Zaman Habibie sampai SBY, para Eks Pengungsi Timor Timur Akhirnya dapat 'Ganjaran' atas Kesetiaannya pada Indonesia, Teknologi Ini Jadi Kunci

"Kontrak pemrosesan wilayah pemerintah Australia di Papua Nugini akan berakhir pada 31 Desember 2021 dan tidak akan diperbarui," tulis pernyataan gabungan dari Australia dan Papua Nugini.

Papua Nugini telah lama menekan Australia guna menutup pusat penahanan tersebut.

Pada puncaknya, Australia menahan hampir 1000 orang di Pulau Manus dan sementara sebagian besar pengungsi sudah meninggalkan tempat tersebut, advokat baru saja mengatakan lebih dari 100 orang tetap ada di tempat tersebut saat mereka antara menunggu penempatan ulang di negara ketiga atau pengajuan suakanya ditolak.

Australia mengatakan yang tetap ada di pusat penahanan itu bisa pergi ke Nauru atau tetap di Papua Nugini tempat mereka bisa mencari kewarganegaraan.

Baca Juga: Bak Jadi Cerminan Sempurna Negara Kapitalis, Australia Lebih Rela Setengah Hasil Panennya Membusuk dan Pilih Tenaga Kerja 'Outsource', Dibanding Terima Pengungsi

Australia dan Nauru sebelumnya di tahun ini telah memperpanjang kesepakatan untuk memperbolehkan pengungsi ditahan di pulau kecil tersebut.

Mengutip The Guardian, tempat penahanan di Pulau Manus, Papua Nugini, ternyata ilegal dan kemudian sudah diperintahkan untuk ditutup oleh mahkamah agung Papua Nugini tahun 2016.

Australia dipaksa membayar USD 70 juta untuk kompensasi terhadap mereka yang ditahan tanpa dasar hukum apapun.

Namun, sebanyak 124 pengungsi pencari suaka tetap ditahan di Papua Nugini, utamanya di Port Moresby.

Baca Juga: Mati-matian Pilih Indonesia Saat Referendum, Begini Nasib Mengenaskan Warga Asli Timor Timur di Tanah Air, Ngaku Salah Pilih dan Ingin Kembali ke Timor Leste

88 orang tersebut memiliki klaim atas perlindungan yang secara resmi diakui.

Mereka yang masih ditahan di Papua Nugini diperbolehkan pindah ke Nauru jika mereka memilih demikian, menurut pernyataan gabungan dari Menteri Dalam Negeri Australia Karen Andrews, dan Menteri Imigrasi Papua Nugini, Westly Nukundj.

Mereka yang tetap tinggal di Papua Nugini akan ditawari "jalan migrasi permanen… termasuk akses kewarganegaraan, bantuan jangka panjang, paket penempatan dan bergabung kembali dengan keluarga".

Para pengungsi yang menunggu ditempatkan ke Amerika, di bawah pengaturan penempatan Australia dan AS, akan masih diberi subsidi sementara mereka menunggu keberangkatan.

Baca Juga: Termasuk Tega Kirim Balik Perahu Penuh Pengungsi di Tengah Laut, Sikap Keji Australia Kini Berbuah Petaka, Hasil Panen Hingga Daging Sampai Terancam Membusuk

Pemerintah Papua Nugini akan "mengambil alih manajemen jasa proses regional… dan tanggung jawab penuh bagi mereka yang tetap di sana".

"Kebijakan perlindungan perbatasan Australia yang kuat, termasuk proses regional, tidak berubah. Siapapun yang berupaya memasuki Australia secara ilegal dengan perahu akan dikembalikan, atau dikirim ke Nauru," ujar kesepakatan tersebut.

"Australia dan Papua Nugini telah lama menjadi mitra dan pemimpin regional melawan penyelundupan orang lewat laut dan ingin melanjutkan kerjasama ini ke dalam masa depan pasca-finalisasi dari kesepakatan penempatan regional."

Behrouz Boochani, wartawan Iran dan pengungsi yang ditahan di Papua Nugini oleh Australia selama lebih dari 7 tahun, mengatakan Australia telah berulang kali mengecewakan para pengungsi dengan seolah-olah membuat mereka percaya mereka di bawah perlindungan Australia di Papua Nugini.

Baca Juga: Terbanyak, Lebih dari 7.000 Pengungsi di Indonesia Berasal dari Afghanistan, Kini Mereka Menanti Kejelasan Meski Sudah Terkatung-katung Lama

"Proses memindahkan pengungsi ke AS telah berlangsung sangat lambat dan menjadi bukti bahwa Australia telah gagal menempatkan pengungsi di wilayah tersebut, mereka harusnya bertanggung jawab atas kegagalan ini," ujarnya dikutip dari Guardian.

Ia mengatakan dengan Australia menyia-nyiakan tanggung jawab bagi mereka yang mereka tahan di Papua Nugini, pemerintah Papua Nugini seharusnya mencari kesempatan penempatan yang lain.

Selandia Baru, tempat di mana Boochani tinggal saat ini, memiliki tawaran jangka panjang untuk menempatkan 150 pengungsi setahun dari sistem Australia, tawaran yang terus-menerus ditolak Australia.

"Papua Nugini tidak mampu menempatkan pengungsi dan itu telah dibuktikan pada tahun-tahun belakangan. Apa yang seharusnya kita dukung adalah Papua Nugini memulai negosiasi dengan Selandia Baru secara langsung. Asutralia tidak punya hak untuk mencegah negosiasi ini."

Baca Juga: Pantesan Amerika Marah Besar Sampai Berniat Kirim Kembali Militernya ke Afghanistan, Serangan Kelompok Teror Ini Dianggap Sudah Keterlaluan, Sampai Dicap Lebih Buruk dari Taliban

Thanuraj Selvarasa, yang juga sebelumnya ditahan di Pulau Manus, mengatakan proses penahanan adalah kebijakan berbahaya dan tidak perlu yang seharusnya dihapus saja.

"Pemerintahan Morrison seharusnya menghentikan perdagangan manusia di luar negeri. Mereka seharusnya melepaskan dan membantu para pengungsi yang selamat dari kebijakan ini selama 8 tahun yang mengerikan."

Moz Azimitabar, juga mantan tahanan di Papua Nugini, mengatakan "memindahkan pengungsi yang telah disiksa oleh pemerintah Australia selama hampir 9 tahun ke tempat penyiksaan lain jelas-jelas tidak manusiawi".

Sejak 2012, semua pencari suaka yang datang dengan perahu ke Australia telah dikirim ke pusat tahanan untuk penetapan klaim mereka untuk perlindungan, dan ditahan di sana tanpa kepastian.

Baca Juga: PPKM Masih Terus Diperpanjang, Pengungsi Afghanistan Banjiri Jalanan Jakarta Menuntut Ditempatkan di Negara yang Pernah Bantai Ribuan Saudara Mereka Ini

Para tahanan itu sudah ada di sana lebih dari 7 tahun, dengan tidak ada satupun yang dikirim ke luar negeri sejak 2014.

Pencari suaka yang datang dengan pesawat, dengan jumlah besar, tidak menjadi sasaran proses penahanan ini.

Proses ini dikritik PBB, kelompok HAM dan para pengungsi sendiri, dengan PBB mengatakan sistem Australia melanggar konvensi terhadap penyiksaan dan jaksa pengadilan kriminal mengatakan hukuman tidak pasti di luar negeri itu "kejam, tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan" dan tidak berdasarkan hukum.

Setidaknya 12 orang meninggal di tahanan tersebut, termasuk dibunuh oleh penjaga, atau karena pengabaian kondisi medis dan bunuh diri.

Baca Juga: Ribuan Orang di Kamp Pengungsi Terlantar saat Isolasi, Dipaksa Cari Makan Sendiri, Diperparah Dampak Kudeta Militer Myanmar yang Sebabkan Hal Ini

Psikiater yang dikirim bekerja di penahanan tersebut telah menggambarkan kondisinya sebagai "sangat tidak sehat" dan mendekati "penyiksaan".