Intisari-online.com -Saat mendengar tentang salah satu negara tetangga Indonesia, Papua Nugini, yang terlintas di kepala kebanyakan orang adalah praktik kekejaman dan negara yang masih diliputi konflik antar suku.
Tidak dipungkiri, negara di Pasifik itu memang masih terhitung hidup secara primitif.
Namun banyak upaya yang dilakukan Papua Nugini untuk menghapuskan stigma itu.
Dikutip dari Lowy Institute, Papua Nugini berusaha menghapuskan korupsi, sementara menurut dunia tantangan terbesar di negara itu adalah pelanggaran HAM.
Selama 45 tahun kemerdekaannya, Papua Nugini telah melewati tantangan HAM lebih dari yang terukur.
Pelanggaran HAM yang terjadi di sana antara lain kesalahan penanganan ekonomi, kekerasan berdasarkan jenis kelamin, kebrutalan polisi, tuduhan praktik sihir dan kekerasan yang terkait dengan itu, kerusakan lingkungan dari industri, ketimpangan, dan lain sebagainya.
Menurut laporan organisasi internasional seperti Human Rights Watch, Amnesty International dan PBB, Papua Nugini sangat perlu memiliki badan hukum yang bisa menangani masalah itu.
Papua Nugini pertama menawarkan pembentukan "Komisi HAM Nasional" (NHRC) di Konferensi HAM Dunia di Wina tahun 1993.
Ide itu disampaikan secara formal 2 kali oleh Dewan Eksekutif Nasional (Kabinet Papua Nugini), tahun 1997 dan 2007, dan UU-nya dirancang tahun 2008.
Tahun 2011, Papua Nugini merekomendasikan siklus pertama Review Periode Universal melaporkan kepada Dewan HAM PBB jika NHRC akan dibangun, tapi tidak ada indikasi jelas dari pemerintah kapan badan itu dibentuk.
HAM sebenarnya bukan konsep baru di sejarah politik Papua Nugini, dan hadir karena kemerdekaan, menurut direktur Transparency International Papua Nugini Richard Kassmand.
Papua Nugini didirikan oleh 13 pemuda yang marah di Administrative College tahun 1965, mereka mendasarkan konsitusi dengan Prinsip Direktif dan Tujuan Nasional, yang menjadi dasar HAM, kebijakan, dan pembuatan hukum di Papua Nugini.
Lantas mengapa ada kasus pelanggaran HAM di Papua Nugini?
Mengutip laporan dari Amnesty International, hal ini rupanya berkaitan dengan tempat penahanan imigran yang didirikan oleh Australia di Papua Nugini.
Pusat 'pemrosesan' pengungsi di Pulau Manus dilakukan sejak 13 Agustus 2012, dengan pemerintah Australia telah mengirim 4.183 orang ke Nauru atau Papua Nugini.
Proses ini disebut dengan pemrosesan lepas pantai atau hukuman, yang merupakan penghukuman para imigran tempat orang-orang mencari suaka di Australia sampai dengan perahu dipindahkan ke pusat pemrosesan di Papua Nugini.
Mengutip The Guardian, foto-foto yang bocor dari dalam pusat penghukuman imigran di Papua Nugini, Bomana, telah menggemparkan dunia.
Pada artikel bertanggal 14 Januari 2020 lalu, gambar-gambar itu menunjukkan 20 pencari suaka masih ditahan oleh otoritas Papua Nugini padahal kekhawatiran kesehatan, kesejahteraan dan HAM mereka merebak.
Agustus 2019, otoritas Papua Nugini menahan 52 orang yang sebelumnya ditahan di Pulau Manus atas nama pemerintah Australia yang mencari suaka dengan perahu.
Dari 52 tahanan itu, diyakini hanya tinggal 18 di dalam penjara itu, lainnya telah dikeluarkan, dan sudah menandatangani perjanjian untuk secara sukarela kembali ke negara asal mereka.
Mereka diurus oleh badan deportasi Port Moresby, tapi tidak ada yang telah pergi, dan sedikit yang mau bercerita mengenai penjara Bomana karena takut kembali.
Telah melarikan diri dan mencari suaka lantas menghabiskan 7 tahun di sistem penghukuman lepas pantai Australia, banyak sekali mantan tahanan mengatakan Bomana telah menghancurkan mereka.
Dalam bulan-bulan mereka ditahan, sejumlah tahanan sampai melukai diri sendiri atau berupaya membunuh dirinya sendiri.
Beberapa sampai dirawat di rumah sakit.
Salah satu tahanan dari Iran menggambarkan kondisi di Bomana sebagai "rancangan untuk menyiksa orang".
Beberapa gambar yang pertama kali didapatkan dari dalam pusat tahanan itu tunjukkan kondisi hidup untuk yang ditahan dan masih berada di tempat itu.
Menurut foto dan wawancara dengan orang yang sudah tahu isinya, pusat penghukuman imigrasi Bomana terbagi menjadi 5 kamar: Karana dan Diwai di satu sisi pusat, dan Raun Wara, Kunai, Balus di sisi lainnya.
Masing-masing tempat itu dipisahkan dengan pagar.
Di kamar-kamarnya yang hanya memiliki satu AC, pria tidur dengan karpet plastik keras tanpa bantal.
Makanan sangat minimal, menurut mantan tahanan ada pengumuman berkala melalui loudspeaker dan kamar tidak diberi pengumuman yang dicari oleh pengawas, termasuk oleh beberapa pegawai Australia.
Ada klaim jika pemerintah Australia mempertahankan tidak terlibat di dalam Bomana, dan selama ini penanganan di dalamnya dilakukan oleh pemerintah Papua Nugini sendiri.
Hal ini diperparah dengan setelah Bomana ditutup, mereka dipindahkan ke ibukota Papua Nugini, Port Moresby.
Otoritas Papua Nugini mengatakan mereka tidak akan dilepaskan kecuali mereka sepakat kembali ke negara asal, atau menerima tawaran pemerintah untuk tinggal di Papua Nugini.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini