Penulis
Intisari-Online.com - Sekali seseorang terinfeksi, akan lebih mudah untuk menular ke orang lain, kata Tazaung Sayadaw, seorang biksu yang mendukung para pengungsi dengan mengumpulkan sumbangan.
Ribuan orang Myanmar di kamp pengungsi tidak bisa mendapatkan cukup makanan ketika harus menjalani isolasi setelah ditemukannya kasus Covid-19 di sana.
Melansir Aljazeera (30/7/2021), Kamp Sin Bawkaing untuk pengungsi internal (IDP), yang menampung hampir 4.000 orang, adalah kamp terbaru yang terkena dampak pandemi COVID-19 yang semakin cepat menyebar di negara itu.
Kamp tersebut telah dikunci sejak seorang wanita didiagnosis terinfeksi virus pada 14 Juli, dan lebih banyak kasus telah muncul.
Baca Juga: Ini Negara ASEAN yang Memiliki Iklim Subtropis, Tapi Cuma Sebagian Wilayah Negaranya Saja
“Itu benar-benar mengejutkan dan saya tidak tahu bagaimana bertahan hidup,” Win Nu, seorang ibu tiga anak berusia 33 tahun mengatakan kepada Al Jazeera melalui telepon dari kamp.
Kondisi kamp yang sempit memungkinkan penyebaran virus lebih cepat.
Wi NU sendiri tinggal di sana berbagi kamar kecil dengan empat anggota keluarganya.
“Virusnya dapat menyebar dengan mudah ke seluruh kamp," katanya.
Konflik bersenjata antara Tentara Arakan (AA) dan militer Myanmar yang memaksa ribuan orang tersebut meninggalkan desa mereka mulai tahun 2018.
AA didirikan pada 2009, ini adalah salah satu dari banyak kelompok etnis bersenjata Myanmar.
Kelompok trsebut ,enginginkan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Rakhine State, dan telah memerangi militer Myanmar selama hampir dua tahun terakhir.
Kini, kekhawatiran tumbuh atas kesejahteraan ribuan orang terlantar di Negara Bagian Rakhine barat Myanmar yang dikurung setelah ditemukannya COVID-19 di kamp-kamp tersebut.
Negara ini telah menjadi lokasi kekerasan antaretnis berdarah pada tahun 2012 ketika lebih dari 130.000 sebagian besar Muslim Rohingya dipaksa masuk ke kamp-kamp di dalam negara.
Mereka ditolak kewarganegaraan dan hak-hak seperti pendidikan, kebebasan bergerak, dan perawatan kesehatan di bawah kebijakan pemerintah.
Pada tahun 2017, militer melancarkan tindakan keras brutal yang memaksa ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Sekarang, hal itu menjadi subjek tuntutan internasional atas genosida di Mahkamah Internasional di Den Haag di Belanda.
Kasus Covid-19 di pengungsian diperparah dengan situasi politik Myanmar belakangan ini.
Pasalnya, sejak kudeta 1 Februari, hanya sedikit atau bahkan tidak ada bantuan makanan atau bantuan kemanusiaan yang mencapai kamp-kamp tersebut.
Tanpa bantuan tersebut, sebagian besar pengungsi hanya memiliki sedikit cara untuk mendapatkan penghasilan.
Untuk sekedar memberi makan diri sendiri dan keluarga saja mereka kesulitan, apalagi untuk masker dan hand sanitiser.
“Karena kudeta militer di Myanmar, bantuan kemanusiaan dari organisasi nasional atau internasional tertunda karena militer membatasi akses organisasi internasional ke kamp-kamp pengungsi,” Aung Hla, seorang pekerja sosial dari Kotapraja Kyauktaw yang telah mendukung para pengungsi sejak 2018 , kepada Al Jazeera.
“Karena itu, menjadi lebih sulit untuk meningkatkan kesadaran akan virus COVID-19, dan barang-barang yang diperlukan [seperti masker, sabun, dan sanitiser] untuk pencegahan di kamp," ungkapnya.
Enam bulan setelah militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Myanmar dalam kudeta yang memicu krisis politik dan ekonomi, Myanmar kini menghadapi gelombang baru COVID-19 yang mematikan.
Pada hari Rabu, Kementerian Kesehatan melaporkan 4.980 kasus baru dan 365 kematian tetapi mengatakan hanya melakukan 13.763 tes secara nasional, menunjukkan wabah itu jauh lebih besar daripada yang dilaporkan secara resmi.
(*)