Intisari-Online.com - Puluhan rekrutan anggota bersenjata merangkak sepanjang jalan berdebu, melakukan simulasi penyergapan di sebuah desa kecil di hutan.
Namun, simulasi itu untuk bekal pertahanan dari ancaman nyata junta militer Myanmar.
Banyak masyarakat sipil yang melarikan diri ke hutan adalah anggota Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), seperti yang dilansir dari CNN pada Rabu (5/5/2021).
Mereka terdiri dari ribuan orang dari beragam profesi, mulai dari petugas medis, guru, insinyur, serta pekerja pabrik, yang meninggalkan pekerjaan untuk melawan kudeta Myanmar sejak 1 Februari 2021.
Mereka berusaha mencari cara untuk dapat mempertahankan diri dari militer Myanmar atau disebut juga Tatmadaw, yang seringkali melakukan kekerasan dan telah membunuh ratusan pemberontak kudeta.
Jadi mereka telah melakukan perjalanan ke perbatasan, ke daerah yang dikuasai oleh kelompok etnis bersenjata yang memerangi militer, pemerintah pusat, untuk mendapatkan hak dan otonomi yang lebih besar, sejak 70 tahun yang lalu.
Di sana para masyarakat sipil diajari cara menembakan senjata.
Mayor Jenderal Nerdah Bo Mya adalah kepala staf Organisasi Pertahanan Nasional Karen (KNDO), salah satu dari dua sayap bersenjata dari Serikat Nasional Karen (KNU).
KNDO adalah kelompok pemberontak tertua di Myanmar yang mengklaim melindungi etnis minoritas suku Karen dan wilayah mereka di negara bagian Karen tenggara.
Dia mengatakan program pelatihan dasar pertahanan itu gratis.
"Ini adalah tanggung jawab untuk melindungi hidup," kata Bo Mya.
"Jika kita tidak melatih mereka, siapa yang akan membantu mereka?" ungkapnya.
Taktik kekerasan junta militer yang semakin meningkat digunakan terhadap pengunjuk rasa dan pengamat, menyebabkan lebih dari 760 kematian, menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Namun, AAPP mengatakan bahwa jumlah kematian sebenarnya di lapangan bisa jadi lebih tinggi.
Nerdah Bo Mya mengatakan tidak satu pun dari 200 pengunjuk rasa anti-kudeta yang dia latih, pernah memegang senjata sebelumnya. Bahkan banyak dari mereka adalah para pelajar.
"Mereka sangat muda, usia mereka sekitar 24-25 tahun, serta beberapa adalah perawat, dokter, dan staf medis," ujarnya.
Selain diberitahu cara memegang senjata, mereka juga disiapkan untuk menghadapi luka fisik dalam pertempuran.
Lalu, diperlihatkan teknik pertolongan pertama dan diajarkan keahlian menembak dasar.
KNDO bukan satu-satunya kelompok etnis bersenjata yang menawarkan pelatihan anggota CDM.
Rekaman dari sejumlah daerah etnis menunjukkan rekrutan meneriakkan slogan, seperti "untuk rakyat," "untuk kebebasan kita" dan "untuk kemerdekaan kita."
Junta militer belum menanggapi gerakan masyarakat sipil dan etnis bersenjata Myanmar di kamp-kamp pelatihan tersebut.
Namun pada 4 Mei, pimpinan militer menerbitkan pernyataan di New Light of Myanmar yang dikelola negara, bahwa menyerukan mereka yang telah melakukan perjalanan ke daerah etnis bersenjata atau luar negeri, untuk kembali ke rumah masing-masing.
Sebelumnya, pada Senin (29/3/2021), Brotherhood Alliance mengutuk junta militer Myanmar saat korban tewas Myanmar mencapai 510 orang di seluruh negeri.
Ketiga kelompok etnis bersenjata di negeri para jenderal, Myanmar, menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dalam perjuangan antara semua kelompok etnis dan pemerintah militer.
Tiga kelompok etnis bersenjata itu adalah Tentara Arakan (AA), Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA).
(*)