Intisari-online.com -Dalam sedikit upaya menyelesaikan krisis politik Myanmar sejak Feburari lalu, Indonesia akan menjadi tuan rumah untuk pertemuan pemimpin negara ASEAN.
Pertemuan diadakan di Jakarta 24 April 2021 besok, hanya beberapa hari lagi dari sekarang.
Pemimpin junta militer, Min Aung Hlaing, diundang dan diharapkan hadir, bersama 9 pemimpin ASEAN lainnya.
Melansir artikel tulisan Johannes Nugroho di The Interpreter, ada optimisme besar dari administrasi Jokowi mengenai acara itu.
Media Indonesia tentu saja juga antusias.
Jakarta Post menuliskan "berita diplomatik untuk Jokowi yang sebelumnya tidak terlalu berminat pada urusan luar negeri".
Namun kegembiraan ringan ini bukanlah resep untuk pertemuan yang sukses, tentu ada risiko jika pertemuan akan gagal total.
Memang usulan pertemuan ASEAN dengan junta militer sebuah ide bagus dan menjadi ciri khas diplomasi tidak langsung dan informal ASEAN.
Namun tahun 2014 lalu saat militer Thailand melaksanakan kudeta kepada pemerintahannya, Indonesia hanya diam saja.
Padahal saat itu Indonesia memegang posisi pemimpin ASEAN yang bagaikan piala bergilir.
Lantas apa bedanya kudeta militer Myanmar dengan kudeta militer Thailand dan dampaknya untuk Indonesia?
Kudeta Myanmar telah melumpuhkan demokrasi yang berusaha dibangun di negara itu.
Ketika upaya dibuat negara-negara ASEAN untuk mendukung reformasi di dalam Myanmar tahun 2010, rupanya ada campur tangan mantan presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan menlu saat itu, Marty Natalegawa.
Keduanya dilaporkan oleh media Indonesia membantu militer Myanmar, Tatmadaw, untuk meniru contoh Indonesia.
Indonesia sendiri juga pernah melalui kudeta di bawah Presiden Soeharto.
Dengan Soeharto, militer tetap berkuasa sampai 1998, yang kemudian barulah mengalami reformasi lagi.
Sebelum pemilu pertama Myanmar tahun 2015, SBY mengadakan pertemuan dengan mantan presiden Thein Sein.
Saat pertemuan itu, SBY meyakinkan Thein Sein keuntungan reformasi.
Kemudian dilaporkan oleh mantan duta besar Indonesia untuk Myanmar Ito Sumardi, antara 2013-2018, Tatmadaw telah mengirim personilnya untuk "mempelajari reformasi militer" di Indonesia.
Sehingga peran penting yang dimainkan SBY dan nilai sejarah yang dikandungnya menjadi motif utama Jokowi mengundang Min Aung Hlaing ke Indonesia.
Lagipula, hal ini dianggap pakar sebagai warisan yang sia-sia untuk ditinggalkan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, yaitu jika demokrasi Myanmar di era SBY malah jatuh di era Jokowi.
Meski begitu, menyetujui mengadakan pertemuan tetap berisiko bagi Jokowi.
Nugroho mengatakan jika Indonesia gagal membuat penyelesaian konkrit, Jokowi akan menghancurkan kredibilitas dan wibawanya.
Ini mungkin menjelaskan mengapa meski tampuk kepemimpinan ASEAN dipegang Brunei Darussalam, kesultanan Brunei bahagia pertemuan ASEAN diadakan di Indonesia.
Sudah ada kritik jika dengan gagal menyertakan perwakilan dari pemerintah paralel Myanmar, yaitu Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), ASEAN telah meniadakan hasil pemilu November.
Tapi risikonya mengundang lawan politik Tatmadaw mungkin akan mengasingkan junta sepenuhnya.
Kini dengan ASEAN mengakui Dewan Administrasi Negara sebagai pemerintah de fakto Myanmar yang ditunjuk militer, harapan kembali ke negara sebelum kudeta pupus sudah.
ASEAN hanya bisa menekan Tatmadawa setuju membentuk kekuatan bersama dengan partai politik musuhnya, NLD.
Pertanyaannya apakah miltier mau atau tidak berbagi kekuasaan dengan Aung San Suu Kyi yang masih didukung warga Myanmar.
Lebih rumit lagi, masing-masing dari 10 negara ASEAN memiliki kepentingan dan agenda sendiri di Myanmar.
Singapura punya investasi besar di sana, terbesar kedua di bawah China, tentunya akan berhati-hati menangani risikonya melihat ekonomi negaranya sendiri.
Namun Vietnam, contohnya, diuntungkan dengan ketidakstabilan kudeta, karena investor akan lebih memilih Vietnam daripada Myanmar.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini