Intisari-online.com -Tumpang tindih kepentingan China dan negara yang terlibat di Laut China Selatan telah menjadi masalah serius.
Dilaporkan dari South China Morning Post, Beijing mengatakan mereka hanya ingin memancing di perairan tempat mereka punya hak sejarah.
Masalahnya, salah satu tempatnya adalah wilayah yang diklaim Indonesia sebagai Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Bagi Jakarta sendiri, serangan China adalah ancaman bagi kedaulatan dan mungkin menjadi penyebab Indonesia harus meminta bantuan AS sebagai bagian ketahanan militer.
Menurut mantan diplomat Singapura Kishore Mahbubani, Beijing harus berhati-hati mengenai Pulau Natuna, wilayah milik Indonesia yang menjadi batas dari perairan Laut China Selatan, rute perdagangan global yang kaya akan stok ikan dan sumber daya energi.
Pandangan Mahbubani tersebut adalah satu-satunya yang ia ungkapkan ketika ditanya mengenai adanya potensi ketegangan antara China dan 10 anggota ASEAN.
Mahbubani menjelaskan, tidak ada dari 10 negara yang berniat bergabung dengan kelompok 4 negara Quad yang terdiri dari AS, Jepang, Australia dan India yang terbentuk untuk meredam liarnya pertumbuhan militer China di Indo-Pasifik.
Namun keadaan itu bisa berubah, dan kuncinya adalah Indonesia.
Jika China tetap ingin damai dengan 10 negara ASEAN, maka Mahbubani menekankan China tidak boleh sekali-kali mengusik Natuna, serta memahami "titik sensitivitas".
Mahbubani, yang kini menjadi rekan peneliti di Institut Penelitian Asia di Universitas Nasional Singapura, mengatakan Pulau Natuna semakin menjadi sumber ketegangan dalam hubungan Indonesia dengan China.
Sampai saat ini hubungan Indonesia-China terbilang masih positif.
Pasukan maritim sipil Indonesia, Bakamla, telah menuduh kapal China dan Vietnam memasuki Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil sekitar kepulauan tersebut.
Bukan sekali dua kali juga Bakamla telah menghadang kapal coastguard China yang menuntun perahu penangkap ikan yang masuk ke Natuna.
Desember 2019 lalu, China menyebabkan konfrontasi maritim besar dengan Indonesia saat lusinan kapal ikan China dengan kapal coastguardnya memasuki perairan Natuna.
Indonesia meresponnya dengan memanggil duta besar China dan mengirimkan kapal perang serta jet tempur F-16 untuk berpatroli di wilayah itu.
Bulan berikutnya, Presiden Joko Widodo mendeklarasikan tidak akan ada kompromi mengenai kedaulatan teritori Indonesia, dan mendemonstrasikan maksudnya dua hari kemudian dengan mengunjungi pulau tersebut.
Namun serangan terus berlanjut.
September tahun lalu, kapal coastguard China menghabiskan dua hari di lepas pantai Pulau Riau, melanggar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Hal itu membuat Jakarta mengirimkan protes kepada Beijing, dan Bakamla mengatakan "setelah berargumen lewat radio" kapal China didesak keluar oleh perahu patroli Indonesia.
Sementara Januari tahun ini, kapal peneliti China dikenali di perairan Indonesia dengan sistem pelacakannya dimatikan.
Bakamla mengatakan kapal itu kemungkinan melakukan aktivitas tidak dikenali di Selat Sunda setelah sistem identifikasi otomatisnya dimatikan 3 kali.
Xiang Yang Hong 03 mengatakan kepada otoritas Indonesia lewat radio jika sistem identifikasi otomatisnya telah mengalami malfungsi.
Hanya mengenai ikan?
Tidak seperti kontes kedaulatan di Laut China Selatan, di mana China memang berebut kepemilikan wilayah dengan negara ASEAN lain, Beijing mempertahankan klaim mereka tidak memiliki sengketa serupa dengan Indonesia.
Meski begitu, Beijing mengklaim jika wilayah yang jadi ZEE Indonesia adalah bagian dari 'lahan memancing bersejarah China', meskipun mereka sudah meredakan ketegangan dengan mengatakan bisa diselesaikan dengan pembicaraan bilateral.
Lei Xiaolu, rekan profesor di China Institute of Boundary and Ocean Studies di Universitas Wuhan, menuliskan di The Jakarta Post tahun lalu, mengatakan isu itu tentang "hak memancing" karena aktivitas memancing China "berada dalam area yang belum masuk pembatasan aktivitas maritim".
"China dan Indonesia belum memulai pembatasan aktivitas maritim. Hal ini adalah fakta," ujar Lei, menambahkan jika tidak seperti eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas, aktivitas memancing tidak dikeluarkan oleh undang-undang dari pembatasan aktivitas maritim untuk pihak yang terlibat dalam sengketa itu.
Indonesia sudah menyatakan dengan jelas jika mereka tidak akan mengenali legitimasi klaim apapun berdasarkan sembilan garis putus-putus karena klaim itu tidak sesuai dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).
Dua kekhawatiran Indonesia atas Beijing adalah pembangunan pangkalan militer di atas lahan reklamasi di Laut China Selatan dan undang-undang China yang pertama kalinya perbolehkan kapal coastguardnya menembaki kapal asing dan menghancurkan bangunan di perairan sengketa.
Meskipun Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan UU itu tidak akan melanggar hukum internasional, pejabat pertahanan sudah mewanti-wanti Jakarta risiko konflik antara kapal China dan Indonesia.
Bahkan di skenario terburuk, Indonesia harus siap untuk serangan China ke Natuna.
Sementara waktu Indonesia telah mengirimkan kapal perang, jet tempur dan aset mata-mata ke wilayah itu.
Ristian Atriandi Supriyanto, sarjana PhD Indonesia di Pusat Studi Strategi dan Pertahanan di Australian National University, sepakat jika ketegangan maritim tanpa senjata antara Indonesia, China dan Vietnam adalah "trend baru yang akan hidup dengan Indonesia."
"Aku khawatir Indonesia punya batasan. Indonesia pastinya akan baik cepat atau lambat, melihat kerjasama militer dengan AS itu penting, sebagai bagian strategi atau pertahanan terhadap China," tutupnya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini