Penulis
Intisari-online.com -Semenjak menggulingkan pemerintahan resmi awal Februari lalu, junta militer Myanmar sudah mendapat kecaman dari banyak negara.
Tidak hanya menahan para pejabat pemerintah resmi, junta militer juga menewaskan ratusan warga Myanmar yang berani melawan mereka.
Amerika Serikat (AS) di bawah pimpinan Joe Biden telah memberi sanksi kepada junta militer.
Tidak hanya kepada pelaku kudeta, sanksi juga diterapkan kepada perusahaan militer Myanmar yang terlibat dalam junta militer.
Kini, junta militer dihadapkan lagi pada sanksi dari negara lain.
Dilansir dari Reuters, Uni Eropa Senin kemarin memberikan hukuman kepada para anggota junta militer yang terlibat dalam kudeta tanggal 1 Februari.
Selain para anggota junta, menteri informasi dan dua perusahaan yang dikelola oleh militer juga dihukum berat.
Dalam tanggapan paling tegas kepada pemerintahan Aung San Suu Kyi, Uni Eropa mengatakan 9 anggota junta Dewan Administrasi Negara (SAC), yang dibentuk sehari setelah kudeta, ditarget dengan seberondong hukuman.
Mereka mendapatkan larangan bepergian dan asetnya pun dibekukan.
Hal ini juga berlaku kepada U Chit Naing, menteri informasi.
Keputusan itu pertama kali dilaporkan pada 8 Maret dan 15 April lalu.
Sementara itu kepala militer Myanmar Min Aung Hlaing dan Myint Swe, yang menjadi presiden sejak kudeta, dimasukkan daftar hitam oleh Uni Eropa bulan lalu.
Dewan Administrasi Negara Myanmar "bertanggungjawab atas hancurnya demokrasi danundang-undang," seperti dikatakan Uni Eropa dalam Jurnal Resmi mereka.
"Pasukan militer dan otoritas yang beroperasi di bawah kelola SAC telah melanggar HAM dengan serius sejak 1 Februari 2021, membunuh warga sipil dan pengunjuk rasa tidak bersenjata," lanjut mereka.
Sementara itu dua perusahaan yang juga dikenai hukuman adalah perusahaan yang mengumpulkan uang bagi junta militer.
Uni Eropa juga menerapkan embargo senjata di Myanmar.
Dua perusahaan itu antara lain Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC).
Investor dan bank Uni Eropa tidak diperbolehkan berbisnis dengan mereka.
Sebelumnya, kelompok HAM telah meminta mereka untuk dikenai hukuman.
"MEHL dan anak perusahaannya mengumpulkan keuntungan (untuk militer), sehingga berkontribusi dengan kemampuannya merusak demokrasi dan undang-undang dan pelanggaran HAM serius di Myanmar," ujar Uni Eropa.
Tuntutan yang sama juga diberikan ke MEC.
Dua perusahaaan itu menguasai seluruh ekonomi dari tambang dan manufaktur sampai makanan dan minuman serta hotel, komunikasi dan perbankan.
Mereka menjadi pembayar pajak terbesar Myanmar dan mencari kemitraan dengan perusahaan asing ketika Myanmar membuka diri saat pembebasan demokrasinya.
Seperti negara barat lain, Uni Eropa juga menuntut dikembalikannya kepemimpinan sipil.
Kudeta itu telah menyebabkan Myanmar memasuki krisis setelah 10 tahun langkah mereka memasuki demokrasi.
Tambahan lagi dengan protes setiap hari, mogok kerja oleh para buruh di berbagai sektor sudah melumpuhkan ekonomi negara itu.
Sebuah kelompok aktivis Assistance Association for Political Prisoners, mengatakan pasukan keamanan telah membunuh 715 pengunjuk rasa sejak penggulingan pemerintahan Suu Kyi.