Intisari-online.com - Pada 1 Februari, militer Myanmar melakukan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan sipil yang berkuasa.
Menurut laporan, misi itu berhasil dan kini negara itu sudah dalam gengaman militer.
Namun, sejak kudeta itu peristiwa kerusuhan terus terjadi, banyak warga melakukan protes keras terhadap kekuasaan militer.
Reuters pada Jumat (26/3/21),mengatakan anti-kudeta Myanmar melakukan lebih banyak protes pada 26 Maret.
Tindakan itu terjadi, setelah tentara diyakini melakukan pembunuhan, dan penembakan 9 orang dalam sehari.
Protes cahaya lilin juga dilakukan pasca kerusuhan yang terjadi pada 25 Maret, di wilayah Mandalay dan Sagaing.
Situs Mizzima melaporkan bahwa para pengunjuk rasa melakukan protes pada 26 Maret pagi di Kota Mandalay.
Assosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) melaporkan sedikitnya ada 320 orang tewas dalam tindakan keras, oleh pasukan keamanan sejak kudeta 1 Februari.
Selain itu hampir 3.000 orang di Myanmar ditangkap, didakwa dan dihukum.
Sementara itu, seorang juru bicara militer mengatakan 164 pengunjuk rasa dan sembilan personel keamanan telah tewas pada 23 Maret.
Pemerintah militer menyangkal penggunaan kekuatan yang berlebihan.
Juga menegaskan tindakannya sejalan dengan standar internasional terhadap ancaman terhadap keamanan nasional.
Menurut Reuters, hampir 90% kematian dalam protes itu adalah laki-laki.
Sekitar 36% berusia 24 tahun atau lebih muda.
AAPP mengatakan militer berusaha menahan protes sebelum 27 Maret Hari Angkatan Bersenjata.
Ini adalah perayaan tanggal dimulainya perang perlawanan terhadap penjajahan Jepang tahun 1945, sering diadakan parade militer melalui ibukota Naypyitaw.
Militer Myanmar tidak berkomentar saat dihubungi oleh Reuters.
Situasi genting ini membuat Myanmar mendapat sorotan dari Bank Dunia baru-baru ini.
Menurut, Bank Dunia pada 26 Maret memperkirakan ekonomi Myanmar akan turun 10% pada tahun 2021 dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan yang diharapkan sebelumnya.
Alasannya adalah bahwa negara itu "sangat terpengaruh oleh protes pekerja, pemogokan dan aksi militer; gangguan layanan publik penting di luar perbankan, logistik dan internet".