Penulis
Intisari-Online.com - Telah terjadi kudeta militer besar-besaran di Myanmar.
Ini karena pemimpin National League for Democracy (NLD) MyanmarAung San Suu Kyi ditangkap pihak militer.
Kini, rakyat Myanmar tengah berusaha melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri untuk melawan.
Masalahnya justru nyawa rakyat Myanmar sendiri yang satu per satu berjatuhan.
Di tengah polemik dalam negeri dan kecaman negara-negara asing, Rusia mendadak ingin memperkuat hubungan militer dengan Myanmar.
Dilansir darireuters.com pada Sabtu (27/3/2021),Rusia ingin memperkuat hubungan militer dengan Myanmar.
Hal itu disampaikan media pemerintah pada hari Jumat kemarin, setelah pertemuan antara pejabat tinggi pertahanan Rusia dan junta militer yang dikutuk oleh negara-negara Barat karena membunuh ratusan pengunjuk rasa sipil.
DiketahuiWakil Menteri Pertahanan Rusia, Alexander Fomin, memang bertemu dengan pemimpin junta militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing di ibu kota Naypyitaw pada hari Jumat kemarin.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing sendiri adalah aktor di balik kudeta militer.
Di mana dia merebutkekuasaansejak 1 Februari 2021 yang memicu protes nasional selama berminggu-minggu.
Walau begitu, Rusia tetap mau bekerja sama dengan Myanmar.
MenurutFomin, ini karena Myanmar adalah sekutu yang dapat diandalkan dan mitra strategis Rusia di Asia,.
Apalagi kedatangan Fomin memang dilakukan sehari sebelum parade besar untuk menandai Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, acara militer paling bergengsi.
Dalam video yang ditayangkan di TV Zvezda Kementerian Pertahanan Rusia, Fomin terlihat berjabat tangan dan menerima medali serta pedang seremonial dari Min Aung Hlaing.
Kejadian itu terjadi di ruang pertemuan yang penuh dengan perwira militer berseragam hijau.
“Anda, Jenderal Senior yang terhormat," kata Fomin kepada pemimpin junta militer.
Memicu kemarahan
Kunjungan serta dukungan Rusia untuk penguasa militer baru di Myanmar itu lantas memicukemarahan di Barat dan keprihatinan yang mendalam bagi negara tetangga Asia lainnya.
Sebab, banyak dari negara-negara itutelah mengutuk kekerasan terhadap warga sipil dan mendesak pembebasanAung San Suu Kyi.
Di antaranya ada negaraAmerika Serikat (AS), Inggris, Australia, dan Uni Eropa.
Bahkan mereka telah menjatuhkan sanksi kepada dewan militer yang berkuasa dan jaringan bisnis militer yang luas.
“Rusia terlibat dalam kampanye teror militer terhadap rakyat,” kata Yadanar Maung, perwakilan kelompok kampanye Justice for Myanmar,
"Kami terkejut bahwa para pejabat Rusia melakukan perjalanan ke Myanmar untuk mendukung junta militer ilegal."
Diketahui, hubungan pertahanan antara Rusia dan Myanmar telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir.
Ini dikarenakan Moskow memberikan pelatihan militer dan beasiswa universitas, serta menjual senjata ke militer yang masuk daftar hitam oleh beberapa negara Barat atas tuduhan kekejaman terhadap warga sipil.
Setidaknya, Rusiamenjadi negara yang menyumbang 16%persenjataan yang diperoleh Myanmar dari 2014-2019.
Hal itu menurut sebuah studi tahun 2020 oleh Stockholm International Peace Research Institute.