Penulis
Intisari-Online.com- Jumlah pengunjuk rasa yang tewas dibunuh pasukan keamanan Myanmar dalam semakin bertambah.
Media dan saksi setempat melaporkansetidaknya belasan pengunjuk rasa tewas oleh pasukan keamanan di seluruh Myanmar saat junta merayakan perayaan tahunan Hari Angkatan Bersenjata pada Sabtu (27/3/2021).
Faksi etnis bersenjata Myanmar menyatakan tidak akan berdiam diri jika pasukan junta militer terus membunuh pengunjuk rasa.
"Hari Angkatan Bersenjata Myanmar bukanlah hari angkatan bersenjata, ini lebih seperti hari mereka membunuh orang," kata Jenderal Yawd Serk, ketua Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan / Tentara Negara Bagian Shan - Selatan (RCSS), kepada Reuters.
Serk menafikan pernyataan junta yang mengklaim akan melindungi demokrasi.
Sebaliknya dia menilai militer justru menunjukkan bagaimana mereka merusak demokrasi.
“Jika mereka terus menembaki pengunjuk rasa dan menindas orang, saya pikir semua kelompok etnis tidak akan hanya diam dan tidak melakukan apa-apa," tegasnya.
Jatuhnya korbankemarin membuat total korban tewas menjadi lebih dari 340, karena upaya tentara membasmi perlawanan luas masyarakat sipil Myanmar terhadap kudeta.
Banyak pengunjuk rasa menyerukan pembentukan tentara federal dan Yawd Serk mengatakan dia mendukung itu.
Serk mengatakan, "Kelompok etnis bersenjata sekarang memiliki musuh yang sama dan kami perlu bergandengan tangan dan melukai mereka yang menyakiti rakyat. Kami perlu bergabung bersama."
RCSS, yang beroperasi di dekat perbatasan Thailand, adalah salah satu dari beberapa kelompok etnis bersenjata yang mengecam kudeta tersebut.
RCSS berjanji untuk berdiri bersama para pengunjuk rasa.
Ada dua lusin atau lebih faksi etnis bersenjata menguasai sebagian besar negara itu.
Berbicara pada parade militer sebelumnya, pemimpin junta Min Aung Hlaing mengatakan tugas tentara adalah melindungi rakyat dan mempromosikan demokrasi.
Dia pun mengulangi janjinya akan pemilihan baru, yang dilakukan setelah tentara mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari.
Junta mengklaim pemungutan suara 8 November, yang dimenangkan secara telak oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi, dicurangi.
Akibatnya pihak militer terpaksa untuk mengambil kendali.