Intisari-Online.com - Aksi demonstrasi menentang kudeta militer Myanmar terus tumbuh dan berlangsung hampir setiap hari.
Pasukan keamanan Myanmar pun tak segan menggunakan kekerasan dan bahkan membunuh demonstran untuk membubarkan aksi mereka.
Hingga kini, pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah membunuh lebih dari 300 orang dalam aksi demonstrasi anti-kudeta tersebut.
Ironisnya, di saat dunia mengutuk aksi militer Myanmar tersebut, Rusia justru menunjukkan semakin dekatnya hubungan mereka dengan Myanmar.
Rusia ingin memperkuat hubungan militer dengan Myanmar, setelah pertemuan antara pejabat tinggi pertahanan dan junta yang dikutuk oleh negara-negara Barat karena membunuh ratusan pengunjuk rasa sipil.
Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin bertemu di ibu kota Myanmar, Naypyidaw pada Jumat (26/3) dengan pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang merebut kekuasaan dalam kudeta 1 Februari.
Fomin mengatakan, Myanmar adalah sekutu yang dapat diandalkan dan mitra strategis Rusia di Asia, selama kunjungan yang dilakukan sehari sebelum parade besar untuk menandai Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, acara militer paling bergengsi.
Dalam video yang ditayangkan di Zvezda TV milik Kementerian Pertahanan Rusia, Fomin terlihat berjabat tangan dan menerima medali serta pedang seremonial dari Min Aung Hlaing di ruang pertemuan yang penuh dengan perwira militer berseragam hijau.
"Anda, Jenderal Senior yang terhormat, ambil bagian dalam parade kami tahun lalu, parade kami memperingati 75 tahun kemenangan dalam Perang Patriotik Hebat," kata Fomin kepada pemimpin junta, mengacu pada Perang Dunia Kedua.
"Dan, kunjungan kami ini adalah balasan untuk Anda," ujar Fomin, seperti dikutip TASS dan dilansir Reuters.
Kunjungan tersebut merupakan tanda terkuat dari dukungan Rusia untuk penguasa militer baru di Myanmar, di tengah kemarahan di Barat dan keprihatinan yang mendalam di antara tetangga Asia-nya.
Beberapa di antaranya telah mengutuk kekerasan terhadap warga sipil dan mendesak pemulihan pemerintah terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi.
Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi kepada dewan militer Myanmar yang berkuasa dan jaringan bisnis militer yang luas.
Hubungan pertahanan antara Rusia dan Myanmar telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir, dengan Moskow memberikan pelatihan militer dan beasiswa universitas.
Tidak hanya itu, Rusia menjual senjata ke militer Myanmar yang masuk daftar hitam oleh beberapa negara Barat atas tuduhan kekejaman terhadap warga sipil.
Rusia adalah sumber setidaknya 16% persenjataan yang Myanmar peroleh dari 2014 hingga 2019, menurut sebuah studi tahun 2020 oleh Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm.
Yadanar Maung, perwakilan kelompok kampanye Justice for Myanmar, mengatakan, Rusia melegitimasi junta dan menyerukan masyarakat internasional untuk memberlakukan embargo senjata global.
"Rusia terlibat dalam kampanye teror militer terhadap rakyat," sebut Yadanar Maung kepada Reuters. "Kami terkejut, para pejabat Rusia melakukan perjalanan ke Myanmar untuk melegitimasi junta militer ilegal".
Pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing bahkan menyebut Rusia sebagai teman sejatinya.
Hal itu diungkapkan Jenderal Min Aung Hlaing dalam parade militer Myanmar yang digelar untuk memperingat Hari Angkatan Bersenjata pada Sabtu (27/3/2021).
Melansir Reuters, Jenderal Min Aung Hlaing menyambut kehadiran pasukan Rusia yang menghadiri acara yang digelar di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, tersebut.