Intisari-Online.com -Ketiga kelompok etnis bersenjata di negeri para jenderal, Myanmar, menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dalam perjuangan antara semua kelompok etnis dan pemerintah militer.
Tiga kelompok etnis bersenjata itu adalah Tentara Arakan (AA), Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA).
Menurut laporan Irrawaddy, Selasa (30/3/2021), ketiganya membentuk aliansi yang disebut Brotherhood Alliance atau disebut juga "Liga Persaudaraan".
Brotherhood Alliance menyatakan, pihaknya siap bergabung dengan seluruh kelompok etnik jika pembunuhan brutal terhadap demonstran anti-kudeta terus berlanjut.
Pada Senin (29/3/2021), Brotherhood Alliance mengutuk junta militer Myanmar saat korban tewas Myanmar mencapai 510 orang di seluruh negeri.
AA sendiri merupakan kelompok etnik bersenjata yang memperjuangkan otonomi yang lebih besar di Negara Bagian Rakhine.
AA telah menjadi salah satu kekuatan paling tangguh yang menghadapi militer Myanmar, alias Tatmadaw, selama dua tahun terakhir.
Pertempuran antara AA dengan Tatmadaw terus meningkat sejak November 2018 hingga awal November 2020.
Konflik tersebut menimbulkan ratusan korban dari warga sipil dan menyebabkan lebih dari 200.000 orang mengungsi.
Baru-baru ini, junta militer mencabut AA dari daftar kelompok teroris setelah pertempuran antara kedua belah pihak dihentikan pada November.
Juru bicara AA Khaing Thukha mengatakan kepada The Irrawaddy bahwa sudah saatnya keompok etnik bergandengan tangan untuk melindungi warga sipil yang ditindas junta militer.
“Kita harus melakukan yang terbaik untuk melindungi nyawa dan harta benda orang-orang yang tertindas,” kata Khaing.
Dia menambahkan, pasukan keamanan Myanmar memperlakukan warga sipil dengan sangat kejam.
“Warga sipil yang tidak bersalah ditembak secara brutal dan dibunuh oleh militer setiap hari,” sambung Khaing.
Khaing bertutur, AA mengutuk keras tindakan tidak manusiawi yang dilakukan polisi dan tentara Myanmar terhadap warga sipil.
Sebelum kudeta Myanmar, Brotherhood Alliance telah merundingkan perjanjian antara setiap anggotanya dan militer untuk menghentikan pertempuran.
Mereka mengumumkan gencatan senjata sepihak untuk mendukung negosiasi.
Setelah kudeta militer, mereka memperpanjang gencatan senjata sepihak hingga 31 Maret.
Namun kini, Juru bicara TNLA Mayor Mai Aik Kyaw menyatakan bahwa Brotherhood Alliance sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri gencatan senjata sepihak.
“Kami mengutuk tindakan keras (yang dilakukan junta militer Myanmar). Kami juga berduka bersama dengan keluarga para pengunjuk rasa yang tewas," sambung Mai.
TNLA mengatakan, junta militer bertanggung jawab atas kekerasan terhadap demonstran, termasuk penembakan dan pembunuhan warga sipil.
Mai menambahkan, kelompok tersebut akan terus bekerja dengan anggota aliansi lainnya untuk melindungi warga sipil.
Di sisi lain, kelompok etnik bersenjata Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) terus melancarkan serangan terhadap militer dan polisi di Negara Bagian Kachin dan Negara Bagian Shan sejak 11 Maret.
KIA menyatakan, serangan tersebut dilancarkan demi mendukung rakyat melawan junta militer yang melakukan kudeta pada 1 Februari.
Tindakan itu dilakukan setelah dua warga sipil ditembak mati pasukan keamanan Myanmar di ibu kota Negara Bagian Kachin, Myitkyina, pada 8 Maret.
Baru-baru ini, Brigade Kelima dari Serikat Nasional Karen (KNU) menyerbu pangkalan Tatmadaw di distrik Papun, Negara Bagian Karen.
KNU dan beberapa kelompok etnik bersenjata lainnya juga menolak undangan rezim untuk menghadiri Hari Angkatan Bersenjata pada Sabtu (27/3/2021).
Pemimpin KNU Padoh Saw Mutu Say Poe mengatakan, kelompok itu hanya mau bertemu dengan pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing jika Tatmadaw berhenti membunuh warga sipil dan membebaskan demonstran yang ditahan.
Aksi demonstrasi diketahui awalnya sebagai tanggapan kudeta militer terhadap kekuasaan Aung San Suu Kyi.
Kekuasaan di Myanmar saat ini diserahkan kepada panglima tertinggi Min Aung Hlaing.
(*)