Intisari-Online.com -Setelah etnis Rohingya di Myanmar, etnis Uighur di China, dan pemeluk Islam di India, umat muslim di negara yang terletak di Asia Selatan ini juga kini jadi korban diskriminasi.
Satu per satu tindakan diskriminatif dirasakan oleh para pemeluk Islam di negara tersebut dalam waktu dua tahun terakhir.
Mulai dari proses kremasi paksa terhadap korban Covid-19 hingga rencana pelarangan burkakdan penutupan 1.000 madrasah, membuat Muslim di negara ini semakin merasa terpinggirkan.
Padahal, sebelumnya negara ini termasuk yang memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap umat Islam.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi hingga membuat negara ini berubah total hanya dalam waktu dua tahun?
Mari kita runutkan kembali masalahnya.
Sri Lanka, negara yang dimaksud, pertama kali melakukan kebijakan diskriminatif terhadap umat Islam di negaranya pada 2020.
Pandemi Covid-19 yang menyerang negara tersebut, dan tentunya hampir seluruh negara di muka Bumi, menjadi pemicunya.
Kala itu, seperti dilansir dari AFP,pemerintah Sri Lanka memicu kemarahan usai mengkremasi paksa 15 Muslim termasuk seorang bayi yang meninggal karena Covid-19.
Praktik pemakaman dengan cara kremasi ini tentu saja bertentangan dengan tata cara yang seharusnya dijalani umat Islam.
Otoritas kesehatan Sri Lanka yang mayoritas beragama Buddha bersikeras semua jenazah korban Covid-19 wajib dikremasi.
Hal ini didorong oleh kekhawatiran para biksu Buddha yang menganggap penguburan jenazah akan membuat virus corona menyebar melalui air.
Hingga akhirnya, foto seorang bayi yang sedang tidur yang telah drikemasi secara paksa menarik perhatian dunia.
Banyak kelompok internasional,termasuk Organisasi Kerja Sama Islam, Uni Eropa, Amnesti Internasional, dan PBB pun akhirnya terus meminta Kolombo untuk membatalkan kebijakan yang mewajibkan jenazah korban Covid-19 dikremasi tersebut.
Berutung, pada Jumat (26/2/2021), tekanan tersebut berhasil membuat pemerintah Sri Lanka pada akhirnya mengizinkan penguburan di kuburan yang ditunjuk di bawah pengawasan otoritas kesehatan dan "sesuai dengan arahan yang dikeluarkan oleh direktur jenderal layanan kesehatan."
Umat Islam Sri Lanka pun menyambut gembira keputusan tersebut, termasukseorang ulama terkemuka Syekh M. S. Mohammed Thassim, yang seperti dilansir dari Arab News,menyatakan, “Ini adalah akhir dari penderitaan mental kami dan kami akan dapat memenuhi ritual terakhir kami untuk mereka yang kami kasihi setelah kematian mereka.”
Namun, tidak sampai satu bulan usai pemberian izin umat Muslim untuk menguburkan jenazah Covid-19, pemerintah Sri Lanka kembali melemparkan rencana diskriminatif.
Pada Sabtu (12/3/2021), Melalui Menteri Kemanan PublikSarath Weerasekera, Sri Lanka menyatkaan akan melarang pemakaian burkak dan menutup lebih dari 1.000 madrasah.
Sang Menteri menyatakan bahwa padaJumat (12/3/2021), dirinya telah menandatangani proposal tentang pelarangan burkak bagi wanita Muslim.
“Pada masa-masa awal kami, wanita dan gadis Muslim tidak pernah mengenakan burkak,” kata Weerasekera, seperti dilansir Reuters.
“Itu adalah tanda ekstremisme agama yang muncul baru-baru ini. Kami pasti akan melarangnya," tutur Weerasekera.
Terkait rencana menutup lebih dari 1.000 madrasah,Weerasekera menyatakan bahwa lembaga pendidikan tersebut telah melanggar kebijakan pendidikan nasional.
“Tidak boleh ada pihak yang bisa membuka sekolah dan mengajarkan apa pun sesuka hatinya kepada anak-anak,” katanya.
Padahal, banyak anak-anak Muslim di Sri Lanka memiliki akses yang lebih kecil untuk masuk sekolah negeri dan swasta dibanding teman-temannya yang non-Muslim.
Baca Juga: Tak Hanya Aktif Koarkan Pembantaian Umat Muslim, Kelompok Hindu Ini Juga Gondol Dana Covid-19 di AS
Sebab, kebanyakan dari mereka berasal darikeluarga berpenghasilan rendah yang tinggal di rumah kontrakan, khususnya di perkotaan.
Serangan Paskah
Retorikan anti-Muslim di Sri Lankan ini, jika dirunut akarnya, akan mengarah pada gelombang bom bunuh diri yang melanda Kolombo danBatticaloa pada Minggu Paskah, April 2019.
Para politisi dan elite Sri Lanka kemudian menyalahkankebangkitan gerakan Salafi dan madrasah yang dianggap secara terbukamengajarkan ekstremisme Islam.
Beberapa bulan usai serangan di Minggu Paskah tersebut, tepatnya pada November 2019,Gotabaya Rajapaksa terpilih menjadi Presiden Sri Lanka.
Sang Presiden, dalam kampanyenyamenjanjikan tindakan keras terhadap ekstremisme.
Dengan latar belakang karier yang pelanggaran hak asasi manusia juga berdarah-darah, Rajapaksa pun akhirnya menjalankan janji politisnya.
Umat Islam di Sri Lanka pun pada akhirnya masuk daftar kelompok minoritas Muslim yang menjadi korban diskrimatif berikutnya.