Intisari-online.com -Penyelidikan media internasional menemukan jika banyak umat Muslim Uighur yang sudah berhasil melarikan diri dari kamp konsentrasi di China dideportasi kembali ke China.
Dilansir dari CNN, ada tuduhan hukuman dan deportasi warga Uighur mengikuti permintaan China ke tiga negara Arab: Mesir, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.
China, UEA dan Arab Saudi belum memberikan pernyataan resmi mereka.
Sementara itu di Mesir, kelompok sayap kanan telah mendokumentasikan ratusan hukuman dan setidaknya 20 deportasi dari warga Uighur tahun 2017 lalu.
Sebagian besar adalah murid di universitas Islam Al-Azhar.
Di Arab Saudi antara 2018 dan 2020, setidaknya satu warga Muslim Uighur dikabarkan ditahan dan dideportasi setelah melaksanakan ibadah Umrah.
Lainnya ditahan setelah Umrah dan menghadapi deportasi.
Keluarga warga yang dideportasi takut orang yang mereka sayangi berakhir di antara 2 juta warga Uighur yang dikirim ke kamp konsentrasi di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan pengaruh global Beijing meluas, aktivis HAM takut bahkan walaupun negara Barat mengecam aksi Uighur, negara di Timur Tengah dan negara Muslim lain akan mau menyetujui kekerasan yang dilakukan China kepada warga Uighur.
Laporan HAM yang dirilis April mengatakan China telah melacak ratusan warga Uighur di seluruh dunia, memaksa mereka kembali dan menghadapi 'hukuman' mereka.
Banyak kasus menyebutkan 'tidak mungkin menemukan apa yang telah terjadi' kepada mereka, tulis laporan tersebut.
Bagi beberapa Uighur, ekstradisi dari negara Muslim akan sangat menyakitkan, mengkhianati solidaritas Islam dan memperburuk perasaan isolasi di panggung dunia di mana kekuatan China telah tumbuh dengan pesat.
Banyak dokumen yang diisukan oleh jaksa penuntut umum yang mengkonfirmasi permintaan ekstradisi dari China untuk nama-nama warga Uighur dengan kemudian disebutkan nama Chinanya.
Xinjiang adalah satu dari wilayah dengan etnis paling beragam di China, rumah bagi berbagai kelompok etnis Muslim.
Muslim Uighur menjadi kelompok Muslim terbesar di sana dengan budaya dan bahasa mereka sendiri.
Banyak warga Uighur telah lama merasakan terpinggirkan di kampung halaman mereka sendiri.
Ketegangan antar etnis telah lama merebak terkait dengan tuduhan kebijakan ekonomi tidak adil dan larangan beribadah, makanan halal dan pakaian Muslim yang didukung penuh oleh pemerintah China.
Dalam beberapa tahun terakhir di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping, kebijakan Beijing ke kelompok minoritas di China telah mengeras.
Sejak 2016, bukti telah merebak menunjukkan pemerintah China telah mengoperasikan pusat kamp besar untuk menahan warga Uighur di Xinjiang.
Sudah ada 2 juta orang dibawa ke kamp tersebut menurut Departemen Luar Negeri AS.
Mantan tahanan dan aktivis menyebutnya "kamp konsentrasi" tempat di mana tahanan mendapat indoktrinasi kuat bertujuan melepas keislaman mereka, dipaksa mempelajari Mandarin dan mengikuti propaganda Partai Komunis.
China terus-terusan menampik tuduhan pelanggaran HAM, bersikeras jika kamp Xinjiang adalah "pusat latihan vokasi" sementara yang dirancang menghapuskan ekstrimisme agama dan terorisme.
Namun kesaksian yang selama ini terkumpul tunjukkan kerja paksa, penyiksaan, pelecehan seksual bahkan kematian beberapa tahanan.
Bertahun-tahun lamanya, Uighur di luar negeri takut berbicara mengenai kerabat yang hilang di Xinjiang.
Keluarga telah terpisah dan banyak anak kecil tumbuh sebagai yatim piatu tanpa kontak dari orang tua mereka di rumah.
Abduweli Ayup, aktivis Uighur di Oslo, mengatakan ia telah mendokumentasikan dan mengkonfirmasi setidaknya 8 deportasi Uighur dari tiga negara mayoritas Muslim antara 2017 dan 2019: 21 dari Mesir, 5 dari Arab Saudi, dan dua dari UEA.
Namun ia takut jika ini hanyalah ujung dari gunung es.
Terlalu sering anggota keluarga takut menceritakan tentang deportasi karena bisa menghanguskan keamanan keluarga mereka yang telah hilang dan anggota keluarga lain di Xinjiang.
Di Timur Tengah, kekuatan China memang tumbuh.
Negara Timur Tengah yang kesulitan dalam hal keuangan seperti Lebanon mungkin temukan bantuan China sulit diabaikan.
Negara Teluk Arab kaya minyak yang bisnisnya anjlok karena pandemi pun juga tergiur melihat bantuan China.
Tahun 2019 dalam sebuah surat terbuka, lebih dari selusin negara Muslim termasuk UEA, Iran, Mesir dan Arab Saudi dengan terbuka mendukung kebijakan China di Xinjiang.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini