Penulis
Intisari-Online.com -Meski menjadi salah satu negara tujuan utama para pengungsi di dunia, Australia berulang kali menolak kehadiran para pencari suaka tersebut.
Para pengungsi yang kebanyakan terjebak di Indonesia tersebut dibiarkan terlunta-lunta, tanpa kejelasan status.
Di Indonesia saja, sampai berita ini diturunkan, tercatat ada lebih dari 13.000 pengungsi dengan tujuan Australia, masih terjebak.
Kalaupun mereka sampai melakukan aksi nekat dengan menggunakan jasa penyelundupan menuju Australia, tidak jarang mereka harus berhadapan dengan kondisi mengerikan.
Pada 2015 misalnya, Australia pernah mengirim balik sebuah kapal penuh pengungsi yang akan menuju negaranya.
Tepat di tengah laut, dengan ketidakjelasan cadangan makanan atau bahan bakar, kapal tersebut dihalau dan dipaksa untuk kembali ke negara asalnya olehpetugas keamanan Australia.
Bahkan, di tahun yang sama, Jusuf Kalla yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia sampai dibuat berang.
Pasalnya, saat itu pihak Australia diketahui membayar kapten dan kru kapal agar membawa kembali imigran asal Banglades, Sri Lanka, dan Myanmar untuk kembali ke wilayah Indonesia.
Mereka seolah-olah mengambil segala kebijakan terkait para pengungsi ini tanpa menggunakan hati nurani.
Bahkan, kebijakan yang dianggap kejam ini tetap tidak berubah sedikit pun meski beberapa sektor industri mereka mengalami krisis sumber daya manusia.
Padahal, seiring terjadinya pandemi Covid-19 di seluruh dunia, Australia telah sangat kekurangan tenaga kerja.
Sektor-sektor industri mereka diketahui tidak mampu beroperasi karena kekurangan SDM.
Menteri Pertanian Australia David Littleproud bahkan secara blak-blakan menyebut negaranya kekurangan 30.000 pekerja.
Sementara di sektor peternakan, Littleproud mengungkapkan negaranya tidak bisa beroperasi 100 persen.
Begitu pula dengan industri pengolahan daging yang, melansirTatoli.com, kini hanya mampu menjalankan 60 persen dari total kapasitasnya.
Terbaru, SBS TV melaporkan bahwa hampir setengah hasil stroberi tahunan Australia senilai 430 juta dollar Australia dibiarkan membusuk.
Hal ini dipicu oleh musim panen yang tiba tepat saat negara ini sedang sangat kekurangan tenaga kerja.
Sebuah kondisi yang tentu saja terasa sangat janggal mengingat ada belasan hingga puluhan ribu pengungsi yang 'menganggur'.
Namun, sebagai sahabat Amerika Serikat, Australia pun lebih memilih sebuah sistem yang lebih kapitalis untuk mengatasi kebutuhan SDM.
Mereka membuat sebuah program kerja musiman untuk orang-orang yang berasal dari negara Pasifik.
Timor Leste, meski bukan temasuk negara pasifik, menjadi salah satu sumber terbanyak dari para pekerja tersebut.
Dengan iming-iming gaji yang jauh lebih besar dibanding mereka bekerja di negara sendiri, para pekerja ini rela hanya bekerja jika sedang diperlukan.
Di sektor pertanian misalnya, para pekerja ini hanya akan datang dan bekerja saat musim panen tiba.
Tanpa adanya perlindungan yang berarti, para pekerja tersebut akan kembali 'ditendang balik' ke negaranya saat musim panen usai.
Terdengan tidak asing dengan sistem kerja tersebut bukan? Ya, sistem kerja tersebut mirip sekali dengan sistem kerja outsourcingyang banyak dipraktikan industri kapitalis.
Kini, Australia disebut-sebut sedang memperbaiki sistem program kerja musiman tersebut.
Mereka berdalih, dengan sistem baru tersebut, maka para pekerja musiman akan lebih terlindungi.
Faktanya, banyak yang menilai sistem baru hanya akan membuat Australia bisa menarik lebih banyak pekerja musiman saat mereka sedang membutuhkan.