Pantesan China Ngamuk Gara-gara Australia Dipastikan Memiliki Kapal Selam Nuklir, Indonesia yang Dekat Australia Ternyata Juga Dipastikan Akan Menerima Dampak Ini

Tatik Ariyani

Editor

Kapal Selam Kelas Seawolf, AS. (ilustrasi)
Kapal Selam Kelas Seawolf, AS. (ilustrasi)

Intisari-Online.com - Beberapa waktu lalu, AS, Inggris, dan Australia mengumumkan bahwa mereka bakal membangun kemitraan keamanan untuk Indo-Pasifik.

Dalam kemitraan yang dinamakan AUKUS tersebut, mereka juga bakal membantu Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir.

Kemitraan tersebut diumumkan secara virtual oleh Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison, Rabu (15/9/2021).

Banyak kalangan menganggap, keputusan AS dan Inggris mentransfer teknologi demi menangkal pengaruh Beijing di Laut China Selatan.

Baca Juga: Pantas Saja Indonesia dan Sekitarnya Panik, Inilah Dampak Kapal Selam Nuklir yang Dibicarakan Australia dengan AS dan Inggris Guna Gempur China Terhadap Asia dan Indo-Pasifik, Perang di Depan Mata?

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian menyatakan, aliansi ketiganya berpotensi merusak stabilitas regional dan memulai perlombaan senjata.

Zhao mengkritik ketiganya menerapkan "mentalitas Perang Dingin usang", dan memeringatkan mereka bisa merusak kepentingan sendiri.

Media "Negeri Panda" seperti Global Times juga mengunggah editorial, yang menyatakan Australia kini menjadi musuh mereka.

Sementara itu, Indonesia menyampaikan keprihatinan atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan, menyusul pengumuman Australia untuk memiliki kapal selam bertenaga nuklir.

Baca Juga: 'Jangan Bertempur Atas Nama Kami', Taiwan Tolak Tegas Bantuan Inggris untuk Melawan China, Lebih Pilih Hal Ini Sebagai Gantinya

"Indonesia menekankan pentingnya komitmen Australia untuk terus memenuhi kewajibannya mengenai non-proliferasi nuklir," kata Kemenlu RI dalam keterangan resmi yang dirilis Jumat (17/9/2021), seperti dikutipKompas.com.

Indonesia mendorong Australia untuk terus memenuhi kewajibannya menjaga perdamaian, stabilitas, dan keamanan di kawasan sesuai dengan Treaty of Amity and Cooperation.

Indonesia mendorong Australia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk terus mengedepankan dialog dalam menyelesaikan perbedaan secara damai.

Kemenlu RI menyebutkan, terkait ini, Indonesia menekankan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional termasuk The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 dalam menjaga perdamaian dan keamanan di Kawasan.

Sebagai tetangga dekat Australia, kehadiran kapal selam nuklir tersebut juga berdampak pada Indonesia.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, kehadiran kapal selam nuklir Australia tentu akan berdampak signifikan pada arah kebijakan pertahanan Indonesia.

Menurut dia, peta dan skenario ancaman bisa berubah, yang diikuti oleh penyesuaian-penyesuaian dalam pembangunan postur pertahanan.

Saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (18/9/2021) pagi, Fahmi mengatakan, "Kehadiran kapal selam nuklir itu jelas merupakan potensi ancaman langsung bagi kedaulatan Indonesia."

Baca Juga: Sama-Sama Berlandaskan Komunis, Terkuak Inilah Pembicaraan Petinggi PKI dengan Presiden China Mau Zedong, Ribuan Senapan hingga Bom Nuklir Ditawarkan China ke Indonesia

Selama ini, kata dia, Indonesia dihadapkan pada banyak tantangan dan gangguan di perairan yang sangat luas, baik di atas maupun di bawah permukaan.

"Ke depan, sulit membayangkan pergerakan armada itu (kapal selam nuklir), nantinya tidak akan mengganggu dan merepotkan," kata Fahmi.

Menurut Fahmi, rencana Australia membangun armada kapal selam nuklir itu bukan hanya menjadi ancaman bagi Indonesia, tetapi juga bagi kawasan Asia Pasifik.

"Terutama terhadap masa depan zona bebas nuklir Asia Tenggara, serta meningkatkan ketegangan," kata dia.

Menurut Fahmi, langkah Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI agar Australia mempertimbangkan kembali rencananya, sejauh ini sudah tepat.

Perairan Indonesia, kata Fahmi, merupakan bagian dari zona damai dan bebas nuklir Asia Tenggara, sehingga negara tidak mungkin tinggal diam.

"Antisipasi yang harus dilakukan pemerintah ya dengan reorientasi kebijakan pertahanan, penyesuaian dalam pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan pengawasan dan penegakan kedaulatan," ujar Fahmi.

Artikel Terkait