Penulis
Intisari-Online.com -Keputusan Australia bergabung dengan kelompok eksklusif negara-negara yang mengoperasikan salah satu senjata militer paling mematikan sangatlah berdampak bagi seluruh dunia.
Kapal selam nuklir bukanlah senjata militer yang sepele, memilikinya saja berarti persekutuan suatu negara akan berubah.
Hal ini disampaikan oleh Sam Roggeveen dalam tulisannya di The Interpreter.
Menurutnya ada beberapa dampak dari kepemilikan kapal selam nuklir bagi Australia.
Pertama, saat ini hanya ada 6 negara yang mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir (SSNs).
Keenam negara ini memiliki industri energi nuklir dan program senjata nuklir.
Dengan Australia bergabung dengan kelompok ini menandai dilanggarnya norma bersejarah yang memperbolehkan negara-negara tertentu saja untuk memiliki senjata nuklir.
Tidak dipungkiri juga langkah Australia ini berkaitan dengan kebangkitan China, serta sikap AS berkomitmen melawan tantangan tersebut.
AS sebelumnya hanya pernah membagi teknologi SSNs ini dengan Inggris saja.
Jika kini AS rela melanggar norma dan kode etik nuklir sampai memasukkan Australia sebagai sekutu nuklir mereka, maka AS sudah siap mengambil beberapa langkah signifikan dan melanggar norma-norma lama demi mengalahkan China.
Roggeveen skeptis AS mau memasuki Perang Dingin dengan China, tapi dengan pengumuman persekutuan ini justru menunjukkan jika mereka memang siap mengambil langkah tersebut.
Bijak untuk berasumsi skala kesepakatan ini ditambah dengan strategis dan kaitan operasional yang muncul akan menciptakan harapan dari Washington.
Australia tentu tidak bisa memenuhi harapan ini jika tidak punya kemampuan yang diharapkan dari Washington untuk ikut melawan China.
Ini menjadi signifikansi kesepakatan jangka yang panjang melebihi kesepakatan pangkalan Marinir di Darwin yang membuat Australia dan AS sebagai mitra jangka panjang di wilayah itu ketika tekanan China meningkat.
Australia bertaruh bahwa, selama masa pakai kapal selam ini yang berpuluh-puluh tahun lamanya, AS akan tetap berkomitmen melindungi Australia.
Australia juga bertaruh AS akan tetap hadir di Pasifik menghadapi tantangan ekonomi dan strategi terbesar sepanjang sejarah AS.
Sisi positifnya dari pengumuman ini adalah Australia akan membatalkan program kapal selam kelas Penyerang dengan Angkatan Laut Perancis.
Hal ini menjadi hal bagus karena proyek tersebut disebut para pakar akan memberikan kapal selam terlalu lama dan dengan biaya yang tidak masuk akal.
Pengumuman kemitraan tiga negara AUKUS Kamis lalu oleh Perdana Menteri Scott Morrison dan Boris Johnson serta Presiden Joe Biden perlu dicatat untuk titik penekanan yang berbeda-beda.
Morrison dan Biden secara eksplisit menyebut kesepakatan ini sebagai keamanan Indo-Pasifik.
Namun Johnson tidak menyebut demikian, tapi menekankan keuntungan industri pertahanan bagi Inggris dan kaitan bersejarah dengan Australia.
Inggris telah membuat beberapa upaya di beberapa tahun terakhir ini untuk mengembangkan kehadiran angkatan laut mereka di Asia.
Namun itu bukanlah cara Johnson memilih melihat kesepakatan baru ini.
Selanjutnya, terhitung luar biasa keputusan momentum ini bisa dibuat tanpa kekhawatiran publik atau parlemen.
Konsultasi kesepakatan ini sudah dibuat selama 18 bulan terkait bagaimana keputusan kapal selam ini akan dilaksanakan, bukan mengenai apakah hal ini merupakan ide yang bagus.
Kini banyak yang mulai mempertimbangkan dampak kesepakatan ini untuk wilayah lebih besar, lebih dari bagaimana China akan merespon.
Korea Selatan sudah mencapai batas akan membuat senjata nuklir dan tidak mengejutkan jika Jepang akan membuat senjata nuklir sendiri.
Jika semua negara di sekitar Pasifik memiliki senjata nuklir, bagaimana nasib negara-negara di Indo-Pasifik yaitu Indonesia dan sekitarnya?